Memang tidak ada yang salah dalam hal ini karena mereka berdua adalah publik figur dan sudah menjadi kelaziman apa pun aktivitas yang dilakukan pesohor di negeri ini akan menjadi berita yang memiliki nilai jual tinggi.
Melongok pernikahan kedua insan yang tentu saja amat berbahagia itu membuat kita menyadari telah terjadi komersialisasi hal- hal yang bersifat privasi oleh televisi. Pertanyaan yang muncul kemudian pantaskah pernikahan selebritis yang menghabiskan biaya miliaran rupiah itu harus disiarkan berhari-hari bahkan secara penuh ? Apa manfaat tayangan ini bagi masyarakat ?
Bukankah ada orang-orang di negeri ini yang saat menonton televisi ingin mendapatkan inspirasi dan nilai-nilai kemaslahatan. Tentu saja bagi yang bernada sinis akan mengatakan "kalau tidak suka jangan ditonton, gitu aja kok repot". Nada sinis seperti itu sah sah saja, namun tayangan itu berada diruang publik dan menggunakan saluran publik dimana setiap orang punya hak mengkritisinya.
Fenomena ini menunjukan betapa frekuensi siaran milik publik yang sangat berharga kini telah digunakan oleh pengelola televisi untuk menyebarkan berbagai kesia-siaan. Bukankah izin yang diberikan kepada pengelola stasiun televisi menggunakan gelombang udara milik publik, menjadikan pemiliknya bertanggung jawab terhadap 235 juta rakyat Indonesia.
Pada sisi lain betapa banyak pihak yang dengan semangat dan idealisme yang dimiliki antre ingin mendirikan stasiun televisi namun karena terbatasnya saluran akhirnya memendam niat tersebut.
Akankah hal ini terus terjadi, televisi kita menayangkan hal- hal yang kurang mendidik demi mengejar rating. Siaran televisi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi budaya dalam skala jauh lebih luas daripada media lainnya. Siaran televisi masuk ke ruang keluarga, bisa lebih dari 20 jam sehari, dan bisa dinikmati oleh siapapun tanpa peduli tingkat pendidikan dan usia.