Apa arti identitas diri dan status sosial? Apakah identitas diri dan status sosial menjadikan seseorang memiliki martabat lebih tinggi dari orang lain? Menurut Santo Fransiskus Asisi, martabat manusia tidak ditentukan oleh status sosialnya. "Sebab, nilai hidup seseorang adalah nilai orang itu di hadapan Allah, tidak lebih!"
Saat ini, kita melihat bahwa orang memperlakukan sesamanya berdasarkan status sosialnya. Pejabat Negara, para raja, ratu, kaum bangsawan, pengusaha, seakan-akan memiliki kedudukan lebih tinggi ketimbang petani, pedagang, dan kaum marginal lainnya. Padahal, manusia sama di hadapan Allah.
Demikian halnya, pemuka agama merasa lebih terhormat, karena mereka adalah penghubung manusia dan Sang Ilahi. Atas nama Tuhan Allah, para pemuka agama mengedepankan doktrin dan dogma. Segala aturan dalam agama tidak boleh ditafsirkan, apa lagi diubah, karena akan mendatang dosa dan kutuk!
Identitas sosial acap kali mengungkung hidup manusia. Tak ada kebebasan. Hanya ada kebekuan. Dingin! Pada titik ini, manusia perlu berpikir kritis. Apa arti aturan adat, budaya, agama? Apakah segala aturan itu membuat manusia menjadi lebih bebas, leluasa mengekspresikan hidupnya? Atau sebaliknya, membuat manusia melarat, dan terdampar pada tepian egois, tertutup dan merasa diri paling benar?
Kita perlu menyediakan waktu untuk merenungkan makna hidup ini. Kita patut mempertanyakan identitas hidup kita. Di sini, di dunia ini, kita hidup untuk siapa? Apakah kita hidup sebatas mengikuti aturan adat serta doktrin dan dogma agama?
Kita harus melampaui diri kita sendiri. Kita melampaui segala identitas yang melekat pada hidup ini. Hanya pribadi yang telah melampaui dirinya sendiri dan menjadi dirinya sendiri saja yang dapat hidup bebas, tanpa beban.
Jadilah bebas. Tanggalkan identitas sosial yang mengungkung hidup ini. Sebab, hanya orang bebas yang dapat melangkah ke mana pun tanpa beban. Bebas melakukan hal-hal baik dan benar yang dilandasi kasih, tanpa pamrih, tanpa diskriminasi! [Abepura, 22 Juli 2023; 19.42 WIT].