Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Beda.Is.Me: Jakarta untuk Toleransi

4 Juni 2013   16:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:32 204 2

Bicara tentang tanggal 1 Juni, apa yang pertama kali terngiang dalam benak kita? Yap, Hari Kelahiran Pancasila. Sabtu lalu, tepat tanggal 1 Juni 2013, saya berkunjung ke LBH Jakarta bersama bagian kecil dari Sekolah Kita untuk bersama-sama memperingati Hari Kelahiran Pancasila itu dalam sebuah acara yang bertajuk “Beda.Is.Me : Jakarta Untuk Toleransi”.

Melirik kembali pada teks Pancasila yang tertera di atas, seharusnya Pancasila bisa menjadi sebuah dasar negara yang memersatukan seluruh rakyatnya. Namun kenyataannya yang ada saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. "Sebab, oleh para pendiri bangsa yang merumuskannya, Pancasila diikhtiarkan untuk merajut keberagaman," kata Febionesta, Direktur LBH Jakarta, Sabtu (1/6/2013).

Jakarta sebagai ibukota negara yang merangkum keberagaman dari berbagai pelosok bumi tercinta tentunya harus mempunyai toleransi yang tinggi untuk menerima dan menghargai perbedaan yang ada. Diutamakan untuk para pemuda yang akan menjadi penerus bangsa, acara ini menitipkan pesan yang sangat penting untuk kita yaitu: kita harus mampu menghidupkan kesadaran dengan tindakan yang nyata dalam mengembangkan toleransi dan penghargaan pada keberagaman yang ada.

Acara ini menyuguhkan tentang pesan-pesan kebebasan dalam beragama dengan cara yang menarik. Mengambil unsur seni dari berbagai sisi sehingga materi yang disampaikan menjadi lebih diminati. Sebuah lagu yang sangat menarik perhatian saya, dibawakan oleh Mas Mayong. Lagu ini bercerita tentang seekor anjing yang diberi nama Kucing. Karena anjing dan kucing adalah musuh bebuyutan, maka si anjing tersebut memusuhi dirinya sendiri. Pesan yang disampaikan oleh Mas Mayong seusai lagunya adalah, "Jihad yang sesungguhnya adalah mengalahkan musuh yang ada dalam dirimu sendiri."

Saya mengamini pernyataan tersebut karena memang pada dasarnya saat ini tak sedikit orang yang mengatasnamakan agama untuk berjihad namun ternyata mereka telah mengambil jalan yang salah.  "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu," - UUD 1945 Pasal 29 ayat 1. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya dasar negara kita dibuat, namun sampai detik saya menulis ini semua: itu masih sekadar wacana belaka.

Ini Atika dan Tiara, mewakili Adik Kita menjadi MC untuk penampilan selanjutnya.

Ini mereka, bagian kecil dari korban wacana pemerintah yang tak kunjung terealisasi. Lagu sedehana yang indah diikuti pembacaan puisi bertajuk "Kammi Para Pencari Keadilan" oleh beberapa Adik Kita: Tiara, Tita, Bibah dan Nia.

Kak Lani, Kakak Koordinator Pengajar Tetap dan Pengajar Relawan, menjelaskan sedikit tentang latar belakang terbentuknya Sekolah Kita.

Begitu banyak korban, namun mengapa pemerintah masih saja terdiam? Mereka yang tak dapat beribadah dengan nyaman karena gereja tempatnya menunaikan ibadah selalu ditutup dengan alasan yang masih sulit untuk diterima oleh nalar. Mereka yang seperti pengungsi pada tanah kelahiran sendiri. Mereka yang ada namun seolah telah dilupakan.

Perbedaan seharusnya membuat kita lebih kaya, bukan saling menyerang.

"Siapa kita?"

"INDONESIA!!"

Indonesia bukan satu pulau, tapi banyak pulau. Indonesia bukan satu suku, tapi banyak suku. Indonesia bukan satu bahasa, tapi banyak bahasa. Indonesia bukan satu budaya, tapi banyak budaya. Sedemikian kaya negeri kita, namun lihatlah fakir miskin masih terlantar di mana-mana.

"Gimana Indonesia mau maju kalau kami masih dijajah negara kami sendiri? Tanah kami dirampas." - Tiara, Adik Sekolah Kita.

"Indonesia, kapan merdeka lagi?" - Annisa, Adik Sekolah Kita.

Jeritan-jeritan perih itu, masihkah tidak terdengar?

Di manakah peran pemerintah sesungguhnya?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun