Paulus menyadari adanya dilema moral dalam hal ini. Dalam menghadapi dilema moral yang tidak sederhana ini, secara sangat bijak, Paulus mendesak Jemaat Kristen Korintus untuk 'tidak hanya memikirkan diri mereka sendiri' alias individualistis, tetapi mengambil pandangan 'komunitarian', memikirkan dampaknya bagi Komunitas Saudara dan Saudari Seiman. Bisa saja mereka menganggap bahwa berbagai keputusan yang mereka ambil, menurut pengetahuan mereka, hanya menyangkut 'hubungan pribadi dengan Tuhan', "Tentang daging persembahan berhala kita tahu: 'kita semua mempunyai pengetahuan.' Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun. Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu 'pengetahuan', maka ia belum juga mencapai pengetahuan, sebagaimana yang harus dicapainya. Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah" (1 Kor 8:1-3).
Paulus mengakui, di Korintus ada Saudara-saudari Kristen yang sangat mengerti ajaran tentang Keesaan Allah dan mereka tidak percaya lagi terhadap segala macam berhala, "Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: 'tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa.' Sebab sungguhpun ada apa yang disebut 'allah', baik di sorga, maupun di bumi--dan memang benar ada banyak 'allah' dan banyak 'tuhan' yang demikian-- namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari padaNya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang olehNya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup" (1 Kor 8:4-6).
Namun, Santo Paulus mengingatkan, sesungguhnya masih ada di antara anggota jemaat yang 'masih goyah' pengetahuannya sehingga keputusan-keputusan pribadi itu memiliki 'konsekuensi sosial', sangat mungkin berdampak pada Umat Tuhan secara komunitas, "Tetapi bukan semua orang yang mempunyai pengetahuan itu. Ada orang, yang karena masih terus terikat pada berhala-berhala, makan daging itu sebagai daging persembahan berhala. Dan oleh karena hati nurani mereka lemah, hati nurani mereka itu dinodai olehnya. 'Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan.' Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah. Karena apabila orang melihat engkau yang mempunyai 'pengetahuan', sedang duduk makan di dalam kuil berhala, bukankah orang yang lemah hati nuraninya itu dikuatkan untuk makan daging persembahan berhala ? Dengan jalan demikian orang yang lemah, yaitu saudaramu, yang untuknya Kristus telah mati, menjadi binasa karena 'pengetahuan'mu. Jika engkau secara demikian berdosa terhadap saudara-saudaramu dan melukai hati nurani mereka yang lemah, engkau pada hakekatnya berdosa terhadap Kristus. Karena itu apabila makanan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku untuk selama-lamanya tidak akan mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku" (1 Kor 8:7-13).