Simpati dan empati mengalir deras kepada korban 'tabrak mabok' Neng Afriyani. Begitupun saya, secara pribadi prihatin dan berduka atas peristiwa tragis ahad lalu itu. Tapi entah mengapa, hasrat hati menulis tentang peristiwa itu tak muncul jua. Mungkin sudah terlalu banyak kisah dan info yang hilir mudik tentang Neng Ani dan Xeni...a itu. Tugu tani tiba-tiba menjadi kata yang populer dua hari belakangan ini. Justru ini yang mencuri hati. Sekian lama patung dua orang petani pejuang itu tak kita pedulikan. Tiba-tiba sebuah tragedy membuat kita ingat kembali. Ah, ternyata di Jakarta itu ada patung Tugu Tani. Cobalah
googling tugu tani, lima belas halaman pertama akan menuntun anda pada tragedi tabrakan maut. Tugu tani tiba-tiba menjadi identik dengan Neng Ani. Semoga saja disebelah tugu tani nantinya tak berdiri patung Neng Ani. 1963, tahun dimana patung itu diresmikan oleh Bung Karno sebagai monumen pahlawan. Simaklah kata-kata yang menempel di monument itu "
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya". Patung ini, bukan patung sembarangan. Dibuatnya saja di negeri nan jauh. Uni Soviet, ya di Soviet patung ini dipahat oleh dua anak beranak. Matvel Manizer dan sang anak Otto Manizer. Konon, patung ini didedikasikan pemimpin Uni Soviet sebagai lambang persahabatan yang berkawan dekat di masa itu. Bung Karno (BK) tentu tak pula sembarangan menjadikan patung itu sebagai "Monumen Pahlawan", pasti ada pertimbangan. Dapatlah kita pahami bahwa BK mencoba menuntun pemahaman kita, anak negeri bahwa sejatinya ruh negeri kita ini ada dalam gerak nadi petani. Jangan langsung kau kira saya ini komunis atheis, hanya karena saya menyebut kata petani sebagai ruh negeri. Tapi, kalau kau masih berpikir begitu, ya terserahlah. Jangan pula karena mengungkap patung tani ini hadiah persahabatan dari Uni Soviet kau tuduh saya anti pancasila...
Santai saja bray. Ini tentang tugu tani bukan tentang Neng Ani..! Jangan sembarangan menyebut nama Neng Ani. Orang nomor satu setengah di negeri ini juga bernama Ani, orang nomor dua di IMF juga namanya Ani dan penabrak dua belas pejalan kaki ahad kemarin, di keluarganya dipanggil Ani pula. Jadi hati-hati menyebut nama Neng Ani. Jangan sampai orang salah persepsi. Begitu pesan seorang kawan yang kebetulan abdi Negara saat kuceritakan tentang judul tulisan ini.
*Ah, perhatian sekali dia... Beda Neng Ani, beda pula nasib petani. Negeri kami ini subur sungguh, bertani adalah kebanggaan pada masanya. Tapi kini, anak-anak muda merasa gak
gaaoool kalo jadi petani. Jadi jangan salahkan kalau jurusan pertanian itu hanya untuk basa basi, karena toh lulusannya berebutan jadi bankir. Pantas saja Neng Ani lebih memilih ekstasi ketimbang menanam padi. Bertani itu gak
gaaoool. Kebetulan pula si Neng Ani ini bekerja di
production house. Lah ini, ini baru
gaaoool. Disinilah tontonan diciptakan, kadang kala tontonan itu menjadi tuntutan. Orang-orang cerdas bilang,
produksi citra. Pastinya petani bukan citra yang tepat untuk dihadirkan di sebuah negeri yang katanya makin modern ini. Jadilah, anak-anak muda merkiblat pada tontonan bukan lagi ke tanah lapang, sembari bermain-main ceria. Ehm, Bung Karno itu visioner juga ya ? Bagaimana tidak visioner. BK seolah menebak apa yang akan terjadi puluhan tahun di depannya. Dia seolah tahu, ada masanya dimana petani dan dunia pertanian itu akan ditinggalkan, dianggap terbelakang dan tradisional. Petani bukan lagi pahlawan, mereka hanya dianggap sebagai alat-alat produksi mesin-mesin pemilik modal. Citra pahlawan hari ini adalah mereka yang berdasi dan bicara penuh narasi di gedung-gedung tinggi dan layar tivi. Petani ?
Bukan zamannya gan !
Apa pula bahasa ku ini..? bikin mumeeeet !!! Tenang-tenang, mumetnya pasti belum semumet pikiran Neng Ani. Pasal berlapis menantinya. Belum lagi perkara mobil pinjaman yang harus diganti. Ah, gak
gaaool emang kalo kemana-mana gak pake
boil. Apalagi kalau mau ke tempat-tempat
happening cuma jalan kaki. Asli hina dina banget, mending tengkurep di kasur aja. Ini lagi, perkara mobil dan kendaraan lainnya. Lagi heboh-hebohnya di negeri tempat tugu tani ini berada. Coba lihat jumlah kendaraan bermotor di negeri kita ini mungkin sebentar lagi akan menyamai populasi penduduknya.
Halah, lebay ! Emang segitunya ? Enggak sih, cuma kalau lihat pejabat-pejabat yang seorangya bisa punya empat sampai lima tunggangan. Satu buat dinas, satu buat anak, satu buat istri, satu buat asisten, satu buat golf dan satu buat selingkuhan..Beuh, tinggal kalikan aja jumlah pejabat di senayan..!
Ah tendensius kau itu ! Bukankah, pengusaha-pengusaha kaya juga kendaraan pribadinya kalau parkir bisa menuhi lapangan banteng ? Ehm, iya juga sih. Sebenarnya gak pengusaha dan pejabat. Semua kita ini sebenarnya berlomba mendapat kenikmatan. Mobil, motor, kapal pesiar bahkan jet pribadi kalau bisa. Jadi gak ada salahnya Neng Ani, pinjam mobil temannya untuk
gaaoool.
Kalau petani naik apa ? Jangan salah bray. Petani sekarang motornya bagus-bagus, bahkan udah pake teknologi injeksi segala. Hahahha...Ya mahal dunk ? wah urusan harga saya gak tahu. Mungkin admin kompasiana tahu...wahahhah. Apa hubungannya coba ? Gimana petani kita tak tergiur, dengan 200 rebu aja motor sudah di tangan. Urusan di cicilan ketiga gak bisa bayar jangan pikirin. Paling-paling motor ditarik ama
debt collector. Pokoknya buat yang berkuasa dan berpunya di negeri tugu tani ini semuanya bisa diatur, asal gak sampe ancuur..! Kalau buat yang papah ? ya semua bisa diangsuuur, sampe ancuur ! Salam tugu tani..!
KEMBALI KE ARTIKEL