Satu persatu para murid menaiki meja di ruang kelas…Guru muda itupun berkata “Lihatlah dunia dari sudut berbeda, raihlah kesempatanmu..Carpediem !” Di lain waktu guru sastra itu meminta muridnya merobek halaman pengantar puisi di buku teks mereka. Satu persatu muridpun merobeknya, guru itu berseru “Di kelas saya, saya ingin kalian mendefinisikan puisi dengan pemahaman kalian sendiri, bukan belenggu teoritis”.. Ah..alangkah beruntungnya anak-anak muda itu mendapatkan guru muda itu. Guru yang membebaskan, guru yang mencerahkan..
Sayang fragmen di atas hanya senarai kisah dari “Dead Poets Society” (1989) yang disutradarai Peter Weir, dan guru itu tak lain adalah peran yang dimainkan Robin Williams. John Keating, begitu nama guru pencerah itu. Ia membawa nuansa baru bagi anak-anak yang dikekang kebebasan pemikirannya oleh konservatisme keilmuan. Semuda itu anak-anak dibebani beban berat yang sebagian adalah mimpi dari orang tua mereka.
John Keatingpun terdepak dari sekolah, kematian seorang siswa karena bunuh diri dianggap sebagai kesalahan John Keating. Fragmen terkahir sebelum John Keating meninggalkan sekolah adalah saat ia memberesi barang-barang di kelas. Tiba-tiba seorang anak menaiki mejanya sembari berseru “Oh captain my captain..”, aksi ini menuai amarah guru yang menggantikan Keating. Segera saja satu persatu anak-anak itu menghentakkan kaki di atas meja dan berseru “Oh captain my captain”. Airmatapun jatuh di sudut mata anak-anak muda di ruang kelas itu.
Fragmen-fragmen di atas selalu saya ingat sebagai sebuah kisah tak terlupa seorang guru yang memperjuangkan sebuah kebebasan dan pencerahan. Film yang diangkat dari kisah nyata Tom Sculman, sang penulis naskah ketika bersekolah di Montgomery Bell Academy, Tennese. Sayapun menempatkan film ini sebagai tiga besar film terbaik versi sendiri.. (cuplikan film ini bisa dilihat di 1 2 3)
Beribu kilometer dari tempat cerita John Keating berada, di Belitung tepatnya seorang guru muda, Bu Muslimah menjadi lentera bagi anak-anak di Desa Gantung, Belitung Timor. Bersama sang kepala sekolah Bu Muslimah mempertahankan satu-satunya asa tersisa bagi anak-anak itu, sekolah ! Kisah panjang perjuangan Bu Muslimah telah mengantarkan anak-anak didiknya mengecap Eropa. Itulah fragmen “Laskar Pelangi” (2005) yang ditulis Andrea Hirata berbekal kisah nyatanya.
***
Saya yakin di tengah ribuan gedung sekolah yang bergoyang kala angin deras menerpa, yang bocor kala hujan datang bahkan yang atapnya nyaris separuh masih ada ratusan bahkan ribuan Bu Mus-Bu Mus atau John Keating-John Keating lain di pelosok negeri kita.
Mereka yang berketetapan hati memilih jalan bernama guru. Mereka yang kasihnya tak berbatas pada anak didik. Benar, APBN sudah mencapai angka 20% untuk bidang pendidikan. Ini menyenangkan. Hanya masalahnya bagaimana 20% itu dihitung dan digunakan.
Apakah hari ini guru-guru kita sudah bisa melaksanakan tugasnya dengan tenang karena di rumah beras dan kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi ? Ah saya tak yakin.
Terkenang Ibu saya di rumah. Ia seorang guru SD di sudut Palembang sana. Kadang airmata menitik, kalau teringat perjuangan ibu. Pagi sekali ia sudah terjaga, beliau membuat penganan; pisang goreng kadang pempek kadang dadar gulung. Bukan sekedar untuk sarapan kami sekeluarga, tapi untuk dijual di warung-warung.
Sepulang sekolah, usai mempersiapkan kami mengaji dan memasak untuk bapak yang tak lama akan pulang kerja. Ibuku langsung membuat es lilin. Bukan untuk kami tapi untuk dititipkan di warung-warung. Biasanya sembari berangkat sekolah kami membawa termos-termos es itu ke warung-warung dan kala petang kami mengambilnya kembali. Harga esnya ketika itu 25 rupiah saja.
Menangis saya, bukan karena malu ibu berjualan penganan dan es lilin tapi menangis karena haru melihat perjuangan beliau. Bersama bapak yang seorang pegawai rendahan di kantornya, ibu telah menjadi guru kami di sekolah sekaligus guru kami dalam kehidupan.
Ibu memang bukan sosok secemerlang John Keating di Dead Poets Society bukan pula Bu Muslimah di Laskar Pelangi. Tapi bagi saya, ibu adalah guru dalam makna sejatinya.
***
Saya yakin ada puluhan ribu guru baik yang berstatus pegawai negeri maupun yang berstatus guru bantu yang mengalami nasib serupa dengan ibu kami. Menapaki hari dalam keprihatinan dan beratnya beban hidup. Mereka bukan tak berusaha tapi beban memang tak ringan. Kesejahteraan memang bukan segalanya tapi membuat mereka tenang menjalankan tugas adalah sebuah keharusan.
Hari ini 25 November, guru di seluruh nusantara merayakan hari “mereka”, ya hari guru. Di hari yang mulia ini, saya tak yakin mereka semua telah terbebas dari kelapran, terbebas dari kekhawatiran tak bisa menyekolahkan anak mereka. Bahkan saya khawatir bahwa mereka telah terbelit hutang. Karena kebutuhan hidup yang terus meningkat sedang penghasilan tak beranjak banyak.
Nan jauh disana, di sudut-sudut nusantara ribuan guru tengah menyemai benih anak bangsa. Mempersiapkan generasi selanjutnya, generasi yang semoga saja lebih digdaya tinimbang generasi kita sekarang. Generasi yang semoga memiliki kemampuan mengemban amanah tak seperti generasi pemimpin hari ini yang kerap lalai bahkan khianat. Lihat saja uang rakyat yang lenyap…!
Di ruang-ruang kelas, banyak guru yang tetap mengibaskan senyum pada murid-muridnya padahal hati mereka rapuh memikirkan uang kontrakan atau listrik yang tertunggak.
Guru-guruku di seluruh negeri, maaf tak banyak yang bisa kami perbuat untukmu. Budi dan karya anda semua tak akan sanggup kami balas, ketulusan dan kerja keras guru-guru semualah yang membuat kami bisa berkompasianan hari ini. Meniti langkah dalam tulisan-tulisan sederhana…
Dalam temaram ibukota jelang pagi ini aku ingin berseru..selamat hari guru, Ma ! Selamat hari guru bagi guru-guru di nusantara. We Love You Full !!