Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Globalisasi dan Masyarakat Budiman

20 April 2010   12:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:41 336 0
Semakin kuat identitas global, semakin kuat pula pencarian jati-diri lokal. Solusi terhadap dominasi dan hegemoni globalisasi bukan lagi sosialisme, agama, atau anti globalisasi, melainkan glokalitas.

Gejala penemuan (kembali) identitas lokal yang selama ini tercerabut dari akarnya sekarang muncul dalam bentuk yang unik, khas dan menjanjikan perubahan daripasa aksi politik herois di jalanan. Wujud gerakan itu bermula dari gerbong komunalisme yang bergerak menuju stasiun lokal komunitarianisme.

Pada tataran sekup yang lebih kecil, para aktor komunitarianisme adalah individu-individu yang bebas merdeka dan berjuang dengan jalannya sendiri; tak terikat aturan ideologi atau konsensus politik konvensional. Mereka yang berada di dalam gerbong komunitarianisme itu adalah kaum anarkis.

Anarkis dalam konteks era pasca ideologi ini, sebagaimana dipahami Goenawan Mohamad (1994), bukanlah "anarkis" seperti dalam teori politik kaum anarkis, melainkan suatu "permainan" dari sesuatu yang mengalir, "tanpa stabilisasi."

Lebih jauh mari kita tafsirkan, anarki dalam hal ini bukanlah sebuah gerakan dari sebuah perkumpulan atau kelompok yang anti negara, melainkan berupa gerakan individu yang menyatu dengan atau tanpa ikatan yang bebas (anarkis) dari dominasi negara atau pasar.

Kekacauan dan kearifan

Ruang publik internet yang tak mengenal "aturan" itulah yang merangsang gairah anarkisme. Sebagian memang mendorong berbagai bentuk kejahatan (cyber crime), namun sebagian—bahkan mungkin lebih besar jumlahnya—mereka menjadi makhluk-makhluk mulia.

Harus diakui, internet juga memiliki prestasi dalam hal menegakkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini terpendam oleh lumpur modernitas. Di Indonesia, wacana liyaning liyan (lain dari yang lain) akhir-akhir ini bergerak di wilayah kultural yang kadang dilupakan kaum cerdik cendekia.

Pada mulanya, liyaning liyan adalah bentuk perlawanan individu/kelompok berhaluan ekstrimis yang bertindak dan berlagak waton suloyo (asal berbeda) dari mainstream produk pasar yang milik kaum dominan kapitalis. Gerak liyaning liyan ini sangat radikal. Ada dua bentuk bisa kita rujuk dari dua fakta ini. Pertama, gerakan agama ekstrimis.

Mereka melihat globalisasi sebagai ancaman dan perlu dibabat tanpa kompromi dengan idealisasi mengganti masyarakat setan dengan masyarakat Tuhan. Fenomena ini mirip idealisasi kaum marxis ortodhok yang ingin mengganti masyarakat berkelas menjadi tak berkelas yang sekarang sudah mati kutu ditelan waktu.

Sedangkan radikalisasi kedua bentuknya cukup unik. Dalam batas tertentu ia tak mengenal isme melainkan hanya mengenal bahwa 'yang dominan' adalah penindas. Ide dasar perlawanan terhadap 'yang dominan' ini adalah dekonstruksi. Melalui faham postmodernisme, ontologi pengetahuan dijungkir-balikkan tanpa merasa punya kewajiban bertanggungjawab menyusun konsep baru (rekonstruksi). Prinsipnya, 'yang dominan' terjungkal dan 'yang terdominasi' bebas menghirup udara segar dari penjara-penjara ontologi modern yang nota-bene adalah reproduksi dari kepentingan pemegang modal.

Untuk radikalisasi pertama tentu tak usah dilihat sebagi potensi kebaikan, sedangkan untuk jenis radikalisasi yang kedua barangkali kita perlu menggelar karpet merah untuk menyambut kehadirannya.

Kalaupun rujukan pada berbagai kamus bahasa Indonesia anarki disebut sebagai chaos (kekacauan), tidak berpegang pada undang-undang dan ketertiban, maka kita pun bisa memaknai lebih detail dari kekacauan sebagai pengacau yang menindas, yakni kapitalisme global atau pemerintahan yang korup.

Kekacauan yang diperlukan di sini adalah gerak meruntuhkan dominasi dan hegemoni pasar yang setiap detik saat setiap waktu dikhotbahkan melalui media massa. Perlawanan jalur kekacauan ini diyakini oleh para kaum anarkis sebagai upaya melawan khotbah-khotbah sesat kapitalis, termasuk khotbahnya para politisi yang gemar beriklan di media massa.

Semut Budiman

Anarkisme yang muncul akhir-akhir ini barangkali memang masih terlalu dini untuk diharapkan sebagai sebuah gerakan emansipasi mengingat tingkat kematangannya baru memasuki babak kreasi.

Namun, bagi sebagian orang yang memiliki kesadaran maju dalam hal pemanfaatan internet, buah geraknya sudah bisa kita lihat sebagai penghasil komunitas-komunitas sosial positif yang banyak memberikan kontribusi kepada masyarakat.

Beberapa komunitas kaum migran asal daerah-daerah yang berada di Jakarta misalnya, mampu berbuat banyak berupa kontribusi sosial maupun karikatif di masing-masing kampung halamannya.

Derap gerakan anarkis memiliki potensi untuk diarahkan sebagai kekuatan sipil berbentuk komunitarianisme. Sebagaimana yang jamak dipahami, komunitarianisme adalah gerakan individu yang berhimpun terbatas yang memiliki perhatian untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama. Model gerakan yang nyaris tidak memiliki watak birokratisme ini memiliki dua keunggulan, yakni efektifitas gerak dan tahan dari godaan kooptasi organisasi mainstream, negara maupun kapital.

Potensi komunitarianisme itu bisa dilihat dari munculnya nilai-nilai lama yang selama ini terbenam, bahkan mati tergusur badai globalisasi. Dengan menguatkan identitas dan semangat primordialnya, masing-masing kelompok justru mampu menunjukkan nilai-nilai positif seperti gotong-royong, guyub kebajikan, kreasi lokal dengan kemasan global dan berbagai solidaritas sosial lain yang pada era sebelumnya tidak kita temukan.

Cepat atau lambat, gerak-gerak tersebut akan menguat dan menjadi peta politik, bahkan peta ekonomi yang lepas dari patok geografis. Ini adalah potensi yang kelak bisa mengarah pada kemajuan berupa gugus masyarakat yang memiliki idealitas untuk menjadikan masyarakat menjadi lebih baik.

Ide asli nusantara berupa "Masyarakat Budiman" misalnya, penting dihadirkan dalam rangka proses penguatan masyarakat sipil berbasis komunitarianisme. Tentu saja, "Masyarakat Budiman" yang saya maksud di sini bukan merujuk pada komunitas tertentu,-apalagi sosok tertentu seperti Budiman Sudjatmiko atau Dr Arief Budiman,- melainkan substansi dari kemajuan kelompok-kelompok anarkis liyaning liyan yang sedang saya sebut di atas.

Kelak, komunitas yang matang oleh pengalaman bergerak dan mengorganisir diri tersebut akan meningkat menjadi sebuah gerakan bersama yang melampaui solidaritas karikatif ke arah solidaritas kesadaran "struktural" dalam rangka membentuk "Masyarakat Budiman" di masing-masing komunitas.

Jika diibaratkan, gerakan "Masyarakat Budiman" ini menyerupai gerakan makhluk anarkis bernama semut. Semut, kata Widi Yarmanto, "bekerja secara serius, terpola pada sistem dan disiplin dalam bertindak, serta punya rasa setia kawan yang tinggi. Jika hak dan kebebasannya dipasung, mereka melawan dan berteriak. (Gatra, 29 Juni 2001)

"Masyarakat Budiman", adalah sebuah perumpamaan dalam kebangkitan masyarakat sipil berbasis komunitarianisme. Ia mempercayai bahwa nilai-nilai lama yang sudah ada dalam masyarakat setempat yang kemudian bisa diusung ke pentas global,-sebagai tonggak kematangan dari apa yang sering disebut sebagai glokalitas.

Sebagaimana pendapat Anand Krishna, glokalitas berarti, "melokalkan globalisasi tidak sekedar menerjemahkan setiap hal yang masuk namun menciptakan sendiri sesuai dengan budaya setempat sehingga mampu memperkuat integrasi nasional." (Republika, 24 September 2006).

Kita bisa berandai, ajaran-ajaran produk asli lokal (baca; nasional) yang memiliki bobot intelektual tinggi semisal ajaran Trisakti-nya Bung Karno (Berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya) sebentar lagi akan menguak kembali dalam pentas nasional di era global sekarang ini.

So, glokalisasi dengan "Masyarakat Budiman" (misalnya) bisa jadi diharapkan menjadi dewa penolong bagi negara gagal seperti Indonesia.

Faiz Manshur, pegiat gerakan lokal. Pemimpin Redaksi Stanplat dan Pengurus Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan (PIKATAN).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun