Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Lampu Wasiat

21 September 2012   12:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:03 101 0
Terberkati jiwa si penyendiri yang piatu itu
Dan perkasa seperti karang di lautan
Tegar walau diamuk ganasnya kemalangan
Kala bualan pemimpin tak mampu mengganjal perut-perut lapar di jalan
Rasa iba telah memeluk nuraninya, meninggalkan bulat tekad

Takdir membawanya ke dalam gua
Rasanya semakin dekat dengan kemuliaan

Karena keluhan yang papa telah mendesak hatinya

meninggalkan sengal napas walau dalam tidur

Keajaiban,

Tak gentar pada sihir-sihir yang membelenggu kakinya
Ia membuang hasrat dan napsu-napsu sesat
Karena tangis kelaparan di jalan kotanya itu begitu memukul dada

Keajaiban,

"Wujudkan mimpiku, berikanlah kemuliaan pada diriku"

Aku mendengar titahmu, Tuan yang agung, yang hatinya semurni telaga di Surga

Keajaiban!

Aku membayar persetujuan dari dalam lampu itu

merasakan lembutnya asap putih yang membumbung, menyelimutiku

Beranjak dari mimpi ke dunia nyataku, mencubit-mencubit pipi
"Ini benar-benar terjadi!"

Di sinilah aku berdiri,

Di bawah kilauan cahaya dan tumpukkan permata

Akan ku pemenuhi panggilan nasibku, "Katakanlah keinginanmu, Tuanku"

Keajaiban,

Dan biarkan pintanya menghidupkan bunga-bunga di dada para pejalan lelah

yang merangkak padaku dari lembah-lembah

"Sebutkanlah!"
"Karena tak ada yang akan kukabulkan selain dirimu."

Napsu telah melarutkan jiwa pada keserakahan

Walau Surga telah menjanjikan cahaya paling terang yang akan menaungimu, Selamanya

Tuanku,

Surga telah menantimu beserta para bidadarinya

Istana emas membentang di sepanjang gunung

Dihembus napas perjanjian, mewujudkan mimpi yang tergenggam dalam telapak

Keajaiban,

Para peminta harus puas menyulam mimpi pada jari jemari
Raga mereka memulas senyum dan keiklasan padanya, untuk memberi

Keajaiban,

Penyihir tamak nyata mengharap permata juga Permaisuri

Walau tebing curam telah melukai lututnya, menggerogoti jiwanya

Matanya nyalang, mulutnya tak berhenti merutuk

karena dililit kemurkaan dan napsu yang tak mampu mampus

Dia melemparkan tubuh-tubuh perawan ke api unggun sebagai persembahan kepada jin-jin yang menakutkan dan sesat

Keajaiban

Roh-roh dari masa lalu berkeliaran di gua-gua yang tak terjangkau, tak berpenghuni

Jiwa para pemimpi melintasi terjal bukit
Fikirannya yang bermahkota duri kemuliaan menyingkap dan menghancurkan kegelapan

Kemegahan Istana di tengah-tengah kenestapaan
Panggilan pencuri yang lebih mulia dari Raja

Tongkat sihir dari ular berbisa menjalar pada dinding-dinding Istana
Dan kehilangan itu datanglah, rasa yang lebih pedih dari kematian
Sumpah sepanjang usia, tekad untuk merebut kembali kebahagiaan dan mimpi

Kebaikan menyingkap tabir kejahatan dari rupanya dan nampaklah dosa yang menjijikkan
Lonceng berdentang-dentang, peperangan melawan bathil dimulai

Keajaiban,

Dan desah angin berpadu dengan gemericik sungai di sisian lembah
Ayat-ayat perjanjian

Penari perut yang gemulai dan lagu padang pasir mengalir dengan lembut dan syahdu
Jiwa yang menggelepar, lapar menunggu untuk disuapi pencerahan

Ibunya tengadah di sela derai air mata, di atas permadani tua
Dan gelap memudar dari langit
Keraguan hanya hadir pada hati yang lemah

O Tuan, Aku mendengarnya memanggilmu dari dalam lampu, lirih dan pedih
Semerbak melati mengisi udara, seiring dengan kepak sayap sekelompok burung
Terbawa angin hingga di penjara tempat Permaisuri berduka
Harum cintanya itu mengisi hati yang meletup-letup dan menimbulkan kerinduan

untuk kembali bersama

Tetapi mantera dan sihir dari kegelapan hutan telah berkelana mengepung dirinya, bagai penyakit mematikan
Seperti panah pemburu yang melumpuhkan

Nyanyian kebebasan telah berkumandang di udara
Matahari mengangguk kuat menyemangatinya

Keajaiban,

Dan mata-mata polos terus memandang dengan bodoh
Cahaya menyilaukan itu memaksa mereka untuk membuka mata dan bangkit untuk melawan

Permaisuriku, Istanaku

Yang pada benakku nampak tertidur dalam gelisah dinginnya Istana

Buka matamu,

Betapa daun-daun dapat jatuh sebagai jawaban doa
Dari seberang, gunung mulai bergetar
Gema agung terus berdengung Tumbuh-tumbuhan dan sekawanan hewan ikut merunduk dan berdoa
Kupu-kupu telah bangkit dari persembunyiannya
Kelopak bunga berebut embun dan cahaya

Sementara mata itu terus memanah penuh amarah

Ketegaran terpancar dari matanya yang kering, dan dadanya yang diperisai keyakinan
Jalan telah terbentang dan gerbang itu telah terbuka

Mata segelap arang para penyihir itu makin awas kini, nyalang bagai elang

Mereka menyangkal kuasa-Nya dan melewati batas nurani
Air muka beringas, berebut memamerkan taring-taring menakutkan
Di lorong-lorong berbau Neraka penuh jiwa yang tamak dan cemburu

Di mana terdengar terpaan besi, dan panasnya memburu
Bongkahan bara dan lahar yang menggelegak

Dinding istana menjadi saksi di mana pertempuran si pembela cinta melawan yang salah, demi hak dan kebenaran
Betapa damai terasa bagai lantunan puisi para penyair

Keajaiban,

Sungguh hati sekeras karangpun dapat luluh pada kemurnian cinta
Dan betapa pongahnya pesaingmu

Permaisuriku,

Jangan takut, karena debaran ini akan membimbingmu padaku, pada kebenaran

(insprasi dari dongeng Aladin dan Lampu Wasiat)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun