Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

(Bedah Cerpen Kompas) Kamboja di Atas Nisan

12 Januari 2014   22:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53 597 3

(Bedah Cerpen Kompas) Kamboja di Atas Nisan

Kali ini Cerpen Kompas di Tahun 2014 “dibuka” oleh Cerpen karya Herman RN berjudul “Kamboja di Atas Nisan” yang dipublish di Minggu Pertama medio, 06 Januari 2014.Dan saya di sini sebagai pembedah Cerpen Kompas Minggu maka sudah sepantasnya merunutkan kelebihan dan kelemahan Cerpen ini. Karena tidak semua karya bisa dibilang bagus semua. Pun ada pula karya yang memiliki kelemahan atau kekurangan. Halnya dalam Cerpen kali ini yang akan saya bedah.

Ya, pertama kali saya baca Cerpen ini saya sempat “dikelabui” oleh judulnya. Saya kira “Kamboja” di sini adalah kembang bungur. Atau, kembang yang banyak ditanam di areal pemakaman, kembang Kamboja. Tetapi dalam Cerpen ini Kamboja di sini djadikan “tokoh utama”—yang bernama Kamboja.

Bagi saya itu awal point yang baik untuk seorang pengarang yang sudah membuat pembacanya “terkecoh” oleh judulnya. Bukan hanya itu saja saya sebagai pembedah Cerpen berjudul “Kamboja di Atas Nisan” ini juga seakan-akan ikut merasakan dalam cerita ini.

Apalagi ketika saya baca Cerpen ini bersettingkan/dengan latar yang sangat terasa sekali dan mendukung dengan tema yang dibawakan. Tentang konflik di sebuah perkampungan. Atau, persengketaan tanah ber-konflik. Saya menangkap setting/latar ini berada di Aceh. Ini menurut saya! Entahlah. Tetapi setidaknya cukup membuat saya takjub dengan setting/latar yang “dilukiskan” dalam cerpen ini.

Selain itu dalam Cerpen ini narasinya sangat saya rasakan sungguh enak dibaca. Mengalir. Hingga saya membacanya dari awal dan akhir tidak terasa. Tahu-tahu sudah habis. Narasi yang dituliskan pengarang ini sungguh membuat saya jatuh hati.

Sayangnya karena kesalahan kecil Cerpen ini jadi membuat tidak nyaman. Pengarang tidak teliti, tidak konsisten terhadap POV yang digunakan dalam cerpen ini. Ini terlihat pada narasi pada paragraf ke dua puluh dua (22).

Mustahil memang bagiku untuk mempertahankan Ibu sendiri, sedangkan keluarga korban lainnya sudah menerima uang pembebasan tanah ini. Mereka telah menjual ayah ibunya yang dimakamkan di sini. Mereka lebih memilih setumpuk uang dari pemerintah tanpa menyadari orangtuanya di sini akan dipijak-pijak, akan diluluhlantakkan dengan mesin penggiling.” (Paragraf ke dua puluh dua)

Dari awal saya sudah membaca Cerpen ini hingga akhir. Pengarang selalu menggunakan POV (sudut pandang) menggunakan orang ketiga dengan “memakai” nama tokoh utama “Kamboja” sampai akhir dalam cerita ini. Tetapi kenapa ketika saya membaca di paragraf kedua puluh dua saya melihat Cerpen ini tidak “stabil”. Karena apa?

Jika memang ini adalah sebuah gumaman seharusnya pengarung harus memiringkan tulisan tersebut atau memberi tanda kutip. Bahwa di paragraf itu adalah sebuah gumaman. Tapi ini tidak. Walau hanya kesalahan kecil tetapi tetap saja menganggu “kestabilan” dalam memnggunakan POV (sudut pandang) dalam cerita ini.

Dan saya pun melihat konflik dalam cerpen ini tidak begitu kuat. Hanya lebih banyak menggunakan konflik batin seorang Kamboja, tokoh utama dalam Cerpen ini. Walaupun ending dalam Cerpen cukup memberikan klimaks yang membuat saya acungin jempol untuk pengarang Cerpen ini.

Selamat menikmati bedahan Cerpen Kompas Minggu kali ini. Tetap semangat. Dan tetap menulis.[]diruangtanpatelingadanmata,12012014

INGIN MENGETAHUI TULISAN SEBELUMNYA KLIK DI SINI :

http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2014/01/01/bedah-cerpen-kompas-aku-pembunuh-munir-621383.html

===============================================================================

KAMBOJA DI ATAS NISAN

Oleh Herman RN

Tubuhnya gemetar. Perlahan tangan perempuan itu bergerak, menyusuri lekuk-lekuk batu tanah gundukan di hadapannya.

Tangannya yang sebelah lagi meremas-remas tanah. Badannya kian bergetar hebat tatkala ia berusaha menahan air yang nyaris melabrak kelopak matanya.

”Ibu, apa karena kita perempuan?” lirihnya.

Gadis itu menghela napas. Kamboja, demikian namanya. Ia anak tunggal. ”Ibu, kau sudah melahirkanku dalam keadaan susah payah. Saat itu kita harus mengungsi karena kampung kita didatangi kelompok bersenjata. Orang-orang kampung kita pun diklaim sebagai pemberontak. Ibu lari terbirit-birit sambil membawaku dalam perut ibu. Begitu cerita yang kudengar dari Nek Mah, bidan kampung kita,” ucapnya sambil menahan tangis.

Kamboja dilahirkan dalam hutan di pinggir kampungnya. Saat itu, mereka mengungsi hingga empat puluh hari. Ia lahir pada hari kelima di pengungsian. Saat itu, ibu Kamboja ditolong oleh Nek Mah, seorang perempuan setengah baya yang sebenarnya bukan bidan, pun bukan dokter. Kebetulan Nek Mah pernah diajarkan sebuah isim* oleh orangtuanya. Isim itu disebut seulusoh* dalam bahasa mereka. Dengan keahlian seulusoh itulah, Nek Mah membantu ibu Kamboja melahirkan. Kamboja lahir sungsang. Kakinya lebih dahulu menonjol, baru kemudian kepala.

”Ibu, kata Nekmah, ibu sangat kesakitan ketika melahirkan aku. Perut ibu serasa dililit akar. Perih. Nek Mah pula yang mengatakan kalau perih ibu ditolong dengan daunmariam. Ibu, bisa kubayangkan menderitanya ibu saat itu. Aku yang lahir sungsang, ibu yang kesakitan. Sedangkan ayah? Ibu....”

Kamboja masih berusaha menahan tangis. Tubuhnya bergetar semakin kencang. Tangan kanannya terus menelusuri lekuk batu nisan di tanah gundukan di hadapannya. Tangan kirinya semakin kuat mencengkeram tanah di sampingnya.

”Aku tak bisa menyalahkan ayah, Ibu. Ayah memang meninggalkan ibu, meninggalkan kita. Tapi, ayah terpaksa. Kaum laki tak boleh hidup di kampung kita waktu itu. Semua lelaki lari dan bersembunyi. Makanya banyak yang memilih bergabung dengan kelompok pemberontak. Perempuan diminta untuk di rumah, jika tak mau mengungsi ke hutan. Aku tahu itu, Ibu. Hanya saja, mengapa kita tidak boleh ikut melawan, Ibu? Apa karena kita perempuan?”

Kamboja akhirnya tidak dapat menahan air matanya. Ia sesenggukan. Bening yang telah lama mengambang itu pecah juga dari balik kelopak matanya yang berbulu lentik. Satu per satu bening itu jatuh menimpa pinggiran nisan ibu Kamboja.

”Ayah mati terkena peluru nyasar. Tepat sehari sebelum perjanjian damai antara pemberontak dan pemerintah. Apa salah ayah? Ah, terlalu sulit memberi alasan antara salah dan benar di kampung ini, Ibu. Mengapa terlalu cepat ibu tinggalkan aku?

Kamboja menjatuhkan kepalanya di batu nisan tersebut. Beberapa kali ia benturkan kepalanya ke batu itu. Ia bisikkan sesuatu di sana. Suaranya pelan. Hampir tak terdengar di antara angin siang yang sedikit kencang.

”Ibu, jika setelah berbaring pun ketenanganmu mesti terusik, katakan pada Tuhan, biarkan aku yang menggantikan kau di sini,” lirihnya.

Lama Kamboja diam setelah mengucapkan kata-kata itu. Tubuhnya masih bergetar, kendati matahari sudah di puncak kepala. Kamboja mandi keringat. Namun, sedikit pun ia tak menyeka keringat itu. Ia bahkan nyaris melupakan letak kerudungnya yang melorot ke pundak. Rambutnya yang biasa tersimpan rapi di balik kerudung itu mulai tampak. Angin pun membelai rambut hitam keriting itu.

”Ibu, bagaimana lagi caranya mengatakan kepada mereka tentang penderitaanmu, penderitaan kaum perempuan? Lihat, Ibu! Kau besarkan aku tanpa ayah. Kau bekerja upahan untuk memberiku makan. Kau sekolahkan aku hingga tingkat menengah. Kau pula yang mengajarkan aku agar hidup tak mudah menyerah.

Kamboja berhenti sejenak. Ia tengadah ke langit. Sinar matahari tepat menghunjam retina mata Kamboja. Ia tak berkedip. Hanya memicingkan mata sedikit.

”Tuhan...,” suara Kamboja setengah menjerit. ”Apalagi yang akan kau timpakan kepada kami? Tidak cukupkah derita masa hidupnya? Setelah ia berbaring di tanah-Mu, apakah harus diusik juga? Jawab, Tuhan? Bukankah kau Maha Mendengar?! Mengapa Kau diam? Nanti atau besok, tanah ini akan diratakan, di mana aku harus menempatkan ibuku? Tak cukupkah masa perang tanah air kami dirampas? Di mana Kau Tuhan saat kampung kami dalam perang? Di mana pula Kau saat sudah damai?”

Kamboja sesenggukan. Ia bersimpuh di hadapan nisan ibunya. Lehernya menekuk. Kepalanya nyaris menyentuh lutut. Tubuhnya masih terus bergetar. Isaknya pun mulai deras.

”Ibu, bagaimana caranya aku mempertahankanmu? Besok pagi, tempat peristirahatanmu ini akan diratakan. Kau ingat dulu waktu kampung kita berkecamuk? Orang-orang kampung berperang dengan tentara pemerintah. Kini, tentara pemerintah pula yang akan menjarah rumahmu ini, Ibu.”

Dua pekan lalu, rombongan dari kabupaten mendatangi kepala kampung tempat Kamboja tinggal. Mereka membicarakan soal pembangunan hotel berbintang yang akan didirikan di kampung itu. Menurut berita, hotel itu akan dibangun dengan standar internasional. Ada mal juga nantinya di dalam hotel tersebut.

Untuk itu, akan terjadi pembebasan tanah. Salah satu lokasi yang mendapat imbas pembebasan tanah adalah kompleks pemakaman umum korban konflik. Di sanalah ibu Kamboja dan sejumlah janda konflik dimakamkan. Menurut investor, lahan pekuburan massal itu sangat strategis untuk dibangun hotel mahamegah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun