Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Saya dan Andi Mallarangeng: Sebuah Catatan Jurnalistik (4)

4 Januari 2013   02:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:32 607 7

Dinginnya cuaca Helsinki pagi itu sudah menulang, tetapi suhu di balik jaket tiba-tiba memanas atas peristiwa ini, di mana Andi Mallarangeng masih belum bisa mengelabui rona wajahnya. Raut mukanya yang “smiling face” dan bersahabat tiba-tiba menguap cepat dan belum kembali ke wujud semula. Saya pikir, wajarlah Andi marah sedemikian hebat, yang pasti melupakan persahabatan yang terjalin sedemikian erat. Dia mungkin lupa, sebulan sebelum berangkat ke Finlandia, saya menulis sosoknya di Harian Kompas edisi 15 Februari 1999 dengan judul “Andi Mallarangeng, Terkenal Berkat Mendalami Ilmu Kering”. Setidak-tidaknya kiprah Andi di rubrik Sosok itu telah membuatnya menjadi lebih dikenal. Tentulah pertimbangan ini akan tertutupi amarahnya sendiri. (Sekadar intermezzo, naskah buku “Menulis 36 Sosok” yang saya susun saat ini sedang dalam proses diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, di mana saya memasukkan Andi Mallarangeng sebagai 1 dari 36 sosok inspiratif yang saya tulis di rubrik “Sosok” Harian Kompas. Seluruhnya ada sekitar 60 sosok yang pernah saya tulis). Di Helsinki dengan kemarahan Andi Mallarangeng yang belum jua reda, saya siap dengan segala risiko yang bakal menimpa, dengan segenap argumen yang saya punya. Tidak ada cara lain. Kalau pun dia mulai main fisik, saya takkan pernah membalasnya. Ini risiko sebuah pekerjaan, terlebih lagi risiko kerja jurnalistik. “Kamu tahu, Pak Rudini marah besar atas berita itu dan barusan dia menelepon saya,” Andi mengabarkan sesuatu yang menarik lainnya. Pikiran jurnalistik nakal saya kembali meloncat-loncat di kepala. Ehem... bukankah ini berita asyik lainnya? Bocoran yang tak kalah penting dan menariknya dari yang kemarin: Pak Rudini menelepon Andi Mallarangeng dan marah-marah atas berita yang saya buat. Ini berita! Rudini yang disebut-sebut Andi Mallarangeng adalah Ketua KPU wakil parpol MKGR, sebuah partai yang dibentuknya. Dia mantan Menteri dalam negeri periode 1988-1993 sebelum kemudian digantikan Jogie S Memet. Entah apa pertimbangannya, Presiden Soeharto selalu mengangkat pembantunya sebagai menteri dalam negeri dari kalangan militer, khususnya para pensiunan jenderal. Sebelum Rudini seingat saya ada Jenderal Amir Machmud. Setelah pensiun sebagai menteri dalam negeri, Rudini “turun gunung” ke kancah politik melihat peluang keterbukaan yang ditawarkan Reformasi. Saya ingat, kala itu para jenderal membuat partai baru berkat terbuka lebarnya kran demokrasi pasca reformasi itu. Seperti tidak terbendung. Jenderal Edi Sudradjat, misalnya, dengan sokongan Jenderal Try Sutrisno, mendirikan PKP setelah ia kalah bersaing melawan Akbar Tandjung sebagai Ketua Partai Golkar. Sedangkan Rudini bergabung bersama Mien Sugandhi, mantan menteri di era Soeharto, yang sudah berada di MKGR sebelumnya sebagai sebuah Ormas yang kemudian bermetamorfosa menjadi parpol. Itulah ingatan saya yang tercecer tentang sosok Jenderal Rudini yang konon menurut Andi marah kepadanya gara-gara berita yang saya tulis.

(Bersambung)

Catatan: tulisan bisa diikuti di Nulis bareng Pepih

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun