Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Jadikan KOMPAS.com Etalase Reportase Anda secara Gratis!

10 Oktober 2011   10:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:07 750 10
Pada tahun 2009 saya bertemu Chris Anderson di Amsterdam, Belanda. Selain berkesempatan omong-omong, saya dapat mengikuti cermahnya dari penulis buku "Long Tail" dan "The Web is Dead" di Wire ini dengan khidmat. Waktu itu ia membawakan presentasi "FREE" alias gratis. Kata-kata Freemium pun terungkap di sana. Hari ini saya membaca artikel Kimi Raiko The Power of Freemium di Kompasiana yang menurut saya sangat menarik, menggugat, dan memancing diskusi. Beberapa pekan lalu saya membaca buku Anderson, "FREE: the Future of Radical Price". Rupanya apa yang ia presentasikan di Amsterdam itu sudah menjadi buku tiga tahun kemudian. Saya pelajari buku itu dan terus terang saja, buku itu membuka pandangan saya mengenai hal-hal yang gratis itu. Saya tidak menduga kalau konsep gratis adalah konsep ekonomi purba, yang sudah dipraktikkan sejak berabad-abad silam. Saya juga terkesima dengan adanya contoh toko gratis di Jepang, yang benar-benar menyediakan barang gratis buat konsumen, tetapi ternyata juga ada substitusi, karena saking terkenalnya toko tersebut, malah ada beberapa produsen yang justru memberi barang untuk digratiskan dan harus membayar rak di toko itu untuk menyimpan barangnya. Luar biasa! Gratis juga dipraktikkan di ruma-rumah sakit khusus kaum tidak berpunya, tetapi ada subsidi dari orang berpunya di sana. Secara tidak terasa, gratis sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Slogan "Beli dua dapat tiga" atau sampel makanan/minuman, adalah contoh-contoh ekonomi gratis yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Atau amati saat Anda makan di restoran Mc Donald, misalnya, di sana ada mainan perosotan gratis buat anak-anak, ada lahan parkir gratis yang luas, ada tissue gratis, saus atau sambal yang gratis, dan seterusnya. Semua yang digratiskan itu sudah dihitung sebagai ongkos produksi, tetapi konsumen tetap menganggapnya sebagai barang gratisan, bukan? Sesungguhnya kalau mau istilah kasar-kasaran, Kompasiana dimana rekan-rekan Kompasianer menyimpan tulisannya, adalah ruang pamer gratis yang dibaca jutaan orang setiap bulannya. Sebagaimana Facebook, Kompasiana tetap akan digratiskan selamanya. Darimana substitusi gratisnya Kompasiana itu? Jelas ada pemasang iklan di Kompasiana, yang akan menutupi semua ongkos produksi Kompasiana. Facebook juga akan digratiskan selamanya, sebab dia sudah menemukan model bisnisnya yang luar biasa besar: iklan dan kerjasama dengan vendor pihak ketiga seperti penyelenggara games berjamaah. Mengapa kemudian harus ada Hybrid Journalism? Harap dipahami secara cermat. Hybrid adalah "teaser" bagi artikel/laporan di Kompasiana untuk dipajang di Kompas.com sebagai media mainstream. Sekali lagi, hanya "teaser" alias "penggoda". Harapannya, ketika pembaca Kompas.com yang jauh lebih luas dibanding Kompasiana membaca "teaser" itu, mereka dirujuk ke artikel/reportase aslinya di Kompasiana! Di Newsroom sendiri sudah memperketat cara penulisan "teaser" berita yang tidak sampai mengutip utuh seluruh artikel Kompasianer, tetapi menjadikan para penulisnya sebagai sumber berita. Coba cermati "teaser-teaser" yang kemudian menjadi berita di Kompas.com, dipastikan tidak ada yang mengutip 100 persen tulisan Kompasianer. Bahkan kami di newsroom bersepakat untuk membuat lead sendiri, juga bila dimungkinkan judul yang baru. Silakan cermati dan pelajari beberapa sampel berita Kompas.com yang sudah di-"hybrid" ini:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun