Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Ketakutan Barat Akibat Kurang Memahami Ajaran Islam

12 Januari 2015   03:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:20 63 0
Ketakutan bangsa Barat, Eropa khususnya terhadap Islam, disebabkan kekurangtahuan bangsa Barat terhadap ajaran Islam. Ditambah lagi pengambilan 'potret salah' beberapa media masa atas tragedi kemanusiaan/kekejian yang dilakukan ISIS, yakni kelompok yang mengambil klaim sebagai pelaksana ajaran Islam yang murni, hal ini semakin menambah kekalutan mereka. Belum lagi image buruk yang dimunculkan sendiri oleh kempok maupun individu yang membawa-bawa Islam.

Demikian dikatakan Meinung Gedanken, Kompasianer yang mukim di Jerman, menanggapi tulisan saya Soal Kebebasan Beragama, Belajarlah ke Jerman yang ditayangkan di Kompasiana, Sabtu 10 Januari 2015. Sedangkan Cahaya Hati, Kompasianer yang juga tinggal di Jerman mengatakan, untuk belajar bagaimana kebebasan beragama di jalankan tidak semata-mata harus mencontoh Jerman. Amerika Serikat, menurut dia, juga bisa dijadikan contoh bagaimana kebebasan beragama dijalankan. "Di Amerika kebebasan beragama juga dijamin. Agama-agama besar diajarkan juga di sekolah-sekolah sekedar untuk pengenalan bagi murid-murid," katanya.

Meinung Gedanken mengungkapkan, beberapa waktu yang lalu sempat terjadi kehebohan di Jerman akibat munculnya satuan polisi Syariah yang didirikan oleh pengikut Salafi di kota Wuppertal. Satuan ini sempat melakukan patroli dan melakukan kontrol pengawasan. Tindakan itu menurut Meinung merupakan bagian awal dari ideologi keras yang bertujuan untuk mendirikan negara Syariah di Jerman. "Jelas berbenturan dengan Undang-undang Dasar Jerman yang berlandaskan sekularisme sehingga tak heran bermunculan kritik, kecaman dan kemarahan warga Jerman," katanya.

Menurut Meinung, persoalan itu bertambah pelik dengan banyaknya imigran yang datang dari negara-negara Timur Tengah (Arab) yang masuk ke Eropa tanpa kesiapan dan kecakapan yang cukup, baik mental, pendidikan, ketrampilan maupun materi. Meinung menceritakan, tiga tahun lalu saat dirinya masih mengerjakan suatu proyek sosial di Jerman, tepatnya di kota Duesseldorf, terdapat suatu cerita. Sepasang suami-istri dari negara Arab berimigrasi ke Jerman lengkap dengan dua belas anak-anaknya dengan rentang usia 6 bulan sampai 17 tahun. Menurutnya, tidak ada dari mereka yang bisa berbahasa Jerman, bahasa Inggris pun sangat sangat minim. Pasangan tersebut juga tidak memiliki pendidikan dan ketrampilan sehingga tidak bisa disalurkan ke bursa kerja dan akhirnya mereka pun dimasukkan ke dalam program tunjangan sosial.

Sampai di sini, kata Meinung, masih ok, namun mulailah muncul tuntutan-tuntutan dari mereka kepada pemerintah kota yang seringkali mengatasnamakan ajaran agama. Mulai dari tuntutan penyediaan rumah yang cukup besar untuk bisa menampung 14 orang termasuk harus adanya ruang ibadah untuk sholat bersama-sama, ketidakmauan mereka untuk memasukkan beberapa anaknya ke TK (sekuler) karena metodanya yang bagi mereka 'tidak islami', larangan bagi anak-anak perempuan ke sekolah karena 'di Islam tidak penting bagi wanita untuk memiliki pendidikan'. Kalaupun sekolah anak-anak tersebut harus dimasukkan ke sekolah khusus perempuan. Dan di sekolah khusus tersebut pengajarnya harus perempuan dan harus muslimah pula. Dan berbagai tuntutan lainnya.

"Saya dengan kewenangan kerja yang tidak bersentuhan langsung dengan keluarga ini saja mulai geregetan. Sempat terlintas di benak; seandainya keluarga ini imigrasi ke Indonesia, sanggupkah pemerintah maupun masyarakat melayani dan menghadapi tuntutan-tuntutan mereka? Dan keluarga seperti ini tidak hanya didapati di kota Duesseldorf, namun juga di kota-kota lain seperti Duisburg, Dortmund, Berlin, Hannover, Bremen, Hamburg dan lainnya," kata Meinung seraya menambahkan, kejadian-kejadian di atas turut memberikan andil semakin 'miringnya' image Islam pada sebagian kecil masyarakat Eropa. "Untungnya, sebagian besar sudah bisa memahami dan membedakan.

Meinung menyatakan salut kepada Jerman untuk masalah toleransi ini, yakni kebebasan bagi seorang individu untuk memeluk maupun menjalankan ibadah agama di Jerman yang memang dijamin dan dilindungi sepenuhnya oleh konstitusi Jerman. Berbagai agama termasuk sub-ordinatenya (baca: pecahan atau sekte) maupun aliran kepercayaan menurut Meinung  bisa ditemukan di Jerman dan pengikut-pengikutnya bisa melaksanakan kegiatan keagamaan/kepercayaan tersebut dengan bebas. "Apakah kita (Indonesia) perlu belajar pelaksanaan dan penerapan 'kebebasan' tersebut dari Jerman. Karena dalam konteks real, negara tercinta kita ini belum bisa memberikan rasa aman bagi para pemeluk untuk menjalankan kegiatan agama/kepercayaan meskipun Undang-undang Dasar kita, sama seperti di Jerman, yakni menjamin kebebasan tersebut," katanya.

Tentang kebebasan beragama di Amerika Serikat Cahaya Hati lebih jauh menjelaskan, kalau seorang warga negara mendapatkan diskriminasi dalam pekerjaan, pendidikan, pelayanan public service, dan sebagainya, karena agama yang ia anut, ada Undang-undang yang melindungi. Di sekolah sejak dini juga diajarkan anti-discrimination, anti-hate dan sebagainya. "Walau tentu ada saja kelompok 'Islamophobia' yang tidak kenal lelah menyudutkan Islam tapi pengikutnya tidak banyak dan biasanya malu-malu. Kebijakan Luar Negeri Amerika memang mengerikan, tapi di dalam negeri semua pemeluk agama terlindungi dan bebas beribadah," katanya.

Bagi dirinya yang non Jerman lain yang tinggal di Jerman, isi konstitusi Jerman "Die Freiheit des Glaubens (kebebasan memiliki kepercayaan), des Gewissens (nurani)und die Freiheit desreligiosen (dan kebebasan beragama) und weltanschaulichen Bekenntnisses (dan pengakuan/kepercayaan'keduniawian'/ideologis) sind unverletzlich (dijunjungtinggi)" diakui Cahaya Hati memang meneduhkan dan menenangkan, karena artinya dalam institusi pemerintahan resmi setiap warga negara dilindungi dan bisa menuntut perlakuan sama dengan warga negara Jerman.

Bahkan Kanselir Merkel dalam pidato awal tahunnya beberapa hari yang lalu menurut Cahaya Hati mengkritik tajam aksi PEGIDA Jerman (gerakan anti Islamisasi) berdasar atas konstitusi ini. "Anti Islamisasi ini saya kira lahir karena ulah para Salafist Jerman di beberapa tempat cukup demonstratif ditambah adanya juga aliran anggota ISIS datang dari Jerman, sementara ada orang Jerman merasa terganggu karena banyak di Jerman tidak lagi menganggap agama penting atau bahkan tidak beragama atau karena memang penganut Neonazis masih kuat melekat atau juga karena terutama di Jerman bagian Timur, kondisi perekonomiannya tidak segemilang di Jerman bagian Barat," paparnya.

"Prakteknya, saya sendiri dalam bersosialisasi sehari-hari baik itu dengan orang Jerman dan non Jerman tentu seringkali menangkap kekhawatiran akan 'Islam', karena mereka juga membaca dan mendengar berita dunia. Kekhawatiran karena prasangka, seperti Einstein katakan menghancurkannya lebih sulit dari memecah atom, bisa jadi terbentuk karena berita atau ketakutan berlebihan sehingga timbullah istilah 'Islamophobie' ini sering diberitakan," lanjut Cahaya Hati.

"Dan harus saya sebutkan di sini, para pelarian dari Syria, Irak dan Afrika yangnotabene banyaknya memeluk Islam, tidak selalu memudahkan Pemerintah Jerman yang membuka pintunya untuk menerima para pelarian ini. Sehingga, seringkali orang hanya memasukkan pemeluk Islam dalam satu panci, padahal tidak sedikit diantara pelarian ini pun orang baik-baik dan lari karena politik bukan karena ekonomi. Demikian juga tidak sedikit muslim di Jerman yang sudah berintegrasi penuh, dihormati dan diterima pula oleh non muslim di Jerman. Kembali ke konstitusi Jerman, bagi saya pribadi sangat mendasar dan menjamin kebebasan saya untuk beragama," pungkas Cahaya Hati.

Minim Perhatian

Sementara menanggapi pendapat Karen Armstrong dalam buku Holy War: The Crusades and their Impact on Today's World yang saya kutip di dalam tulisan saya tersbut, Kompasianer lainnya, Nararya berpendapat, buku tersebut sangat minim mendapat perhatian para sejarahwan. "Dari sedikit pengamatan online saja, kalau kita ketik review para historians terhadap buku ini, saya sudahlakukan, dan tidak menemukan satu pun," katanya.

Nararya kemudian merujuk kepada sejumlah artikel journal maupun buku yang merujuk kepada rekonstruksi Armstrong, tetapi menurutnya umumnya negatif. Nararya mencontohkan penyebab utama Perang Salib. Dalam tingkat tertentu Armstrong menurutnya berasersi bahwa fanatisme agama merupakan pemicunya. Tetapi, James M. Powell ("Rereading the Crusades", 663-664) mengomentari asersi Armstrong tersebut sebagai sebuah pandangan yang disebutnya sebagai merely the late-twentieth century version, post-modern and a bit Gnostic.

"Powell merujuk kepada sejumlah tulisan dari para historians yang sangat meragukan bahwa fanatisme agama merupakan pemicu dari Perang Salib. Asersi bahwa fanatisme agama merupakan pemicunya, sebenarnya merupakan buah dari 'paralelomania' antara kondisi era kontemporer (yang kerap sarat dengan nuansa ini) kemudian dipakai sebagai lensa untuk membaca Perang Salib," kata Nararya. Masih dalam rangka mengomentari asersi di atas, Nararya menambahkan, Powel yang merupakan seorang ilmuwan yang ahli dalam bidang sejarah Eropa pada Abad Pertengahan, mengutipChritopher Dawson (pakar dalam bidang cultural history) yang menyatakan, "this way of writing history is unhistorical, since it involves the subordination of the past to the present." (Making of Europe, 16).

Sementara Bhayu, Kompasianer lainnya, menyatakan kesetujuannya terhadap aliena terakhir tulisan saya, di mana ia juga pernah menuliskan bahwa penggiat Charlie Hebdo adalah orang-orang atheis-sekuler-hedonis. Menurut Bhayu, mereka menyerang organized religion terutama Abrahamic religion, bukan hanya Islam.

"Saya pikir, Perang Salib sebenarnya menimbulkan luka dalam di Eropa justru karena mereka sadar ada budaya yang lebih beradab dan maju daripada mereka. Saat itu, memang Eropa dalam abad kegelapan. Sayangnya, kekhalifahan Islam sendiri juga tidak amanah. Setelah penaklukkan Eropa yang gilang-gemilang, mereka gemar berpesta-pora. Tak heran begitu mudahnya tentara Mongol yang barbar (bukan tentara Salib) menghancurkan ibukota Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad," kata Bhayu.

Bhayu berkesimpulan, memang kita (bangsa Indonesia) harus membangun kembali budaya saling percaya itu. Bhayu menilai kasus Jerman agak beda. Alasannya, "Saya pernah punya pacar orang Jerman yang S-2, dia bilang orang Jerman lebih terluka pada Hitler dan Nazi daripada Islam. Makanya mereka lebih toleran terhadap Islam daripada Prancis dan negara Uni Eropa lain."

***

Catatan:

Artikel ini merupakan hasil rekapitulasi sejumlah komentar yang saya jadikan konten utama penyusunan artikel, sebagai contoh praktis atas postingan saya sebelumnya Coba Menghidupkan Kembali Gelar Komentar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun