Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Anggito Abimanyu Menjiplak Artikel Orang? (OPINI-nya di KOMPAS 10 Feb 2014)

15 Februari 2014   09:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48 23830 123
Hal yang tidak paling saya sukai dari Koran KOMPAS adalah rubrik OPINI.Sebabnya, Kompas sepertinya masih tergila-gila pada gelar, pangkat dan jabatan seseorang. Setiap hari OPINI KOMPAS hanya diisi oleh orang-orang bergelar mentereng dan ciamik dari berbagai perguruan tinggi. KOMPAS sepertinya sudah tidak mengakomodasi penulis umum (di luar kalangan akademisi) untuk mengisi rubrik OPINI-nya. Halaman OPINI KOMPAS beberapa tahun belakangan ini nyaris mirip bahan perkuliahan di perguruan tinggi. Konseptual, njlimet, teoritis dan berjarak dengan masyarakat awam. Mungkin bagi KOMPAS, dengan mengakomodasi tulisan hanya dari kalangan akademisi (dan orang-orang beken) diyakini image "bonafid" akan diraih. Padahal sebaliknya, tulisan para akedemisi bikin pusing, membosankan, kaku dan sering tidak kontekstual dengan kebutuhan dan permasalahan sehari-hari (di masyarakat & negara). Entah apa yang menyebabkan KOMPAS berlaku demikian akhir-akhir ini. Padahal hingga sepuluh tahunan yang lalu, tatkala halaman OPINI KOMPAS masih terbuka untuk umum, terasa sangat berwarna dan menarik. Dahulu penulis OPINI KOMPAS bisa datang dari kalangan mahasiswa, seniman, profesional, wiraswastawan, penulis, ibu rumah tangga dan orang awam lainnya yang memiliki kemampuan menulis dan menyampaikan gagasan dengan baik. "Tergila-gilanya" KOMPAS dengan penulis para akdemisi akhir-akhir ini sangat klop dengan kebutuhan para akademisi untuk mendapatkan kredit poin (KUM) dari menulis artikel di koran. Harap tahu saja, bahwa artikel para akademisi yang dimuat di koran mendapat kredit poin dari Dikbud untuk kenaikan pangkat dan tunjangan. Padahal tidak selamanya tulisan akdemisi (dan bergelar panjang) isinya menarik dan kontekstual dengan permasalahan terkini dan harian yang sedang berkembang. Sudah ratusan (bahkan ribuan) penulis dari kalangan di luar akademisi yang opininya mental di tangan desk opini KOMPAS. Bukan karena tulisannnya jelek melainkan ketiadaan gelar yang panjang, pangkat dan jabatan yang disandang. Baru dikirim langsung disortir masuk kotak sampah di kantor redaksi. Beda dengan kalangan akademisi (bisa jadi redaktur belum membaca judul dan isinya), skedar baca namanya langsung diacc untuk dimuat.  Nah, dari perilaku (yang kemungkinan  seperti itu) sesekali redaktur suatu saat pasti akan kecolongan juga. Misalnya akademisi tenar, dengan jabatan seabrek, gelar luar negeri dan panjang pula, namun tidak berintegritas, contohnya melakukan plagiasi atau menjiplak karya orang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun