Aku tak tahu sudah berapa tahun ia menghuni kamar pengap ini. Yang aku tahu tiba-tiba saja aku berada dengannya.
Hari itu aku seperti berjalan di ladang ilalang yang luas. Aku dapat merasakan bilah-bilah ilalang menyentuh tubuhku. Aku juga bisa merasakan kakiku yang melangkah ringan. Aku lupa, aku berjalan memijak bumi atau diterbangkan angin. Di ujung ladang ilalang itu mataku menangkap cahaya putih. Aku tersedot ke dalamnya dan tersadar tiba-tiba aku ada di kamar ini bersamanya.
Entah karena berempati pada nasibnya, aku selalu dapat merasakan kepedihannya saat ia menyebut sebuah nama. Sebagian diriku merasa terpanggil oleh raungannya. Kau tahu, seperti yang lainnya, aku pun diberi nama olehnya. Ranu. Sungguh sebetulnya aku tak ingin diberi nama itu. Nama itu yang sering diucapkannya dengan nada lirih. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat aku berjalan di muka jendela yang memisahkan dengan dunia luar, ia memanggilku. Saat aku terbang dibumbungan langit-langit kamar, ia memanggilku. Saat aku bersembunyi di bawah kasurnya yang tengik, ia mencari dan memanggilku.
"Ranuuuu... Ranuuu... Kau di manaaaa?"
Aku tak tahan dengan raungannya. Aku menampakkan diri dan...
Plaaaakk.
Telat. Ia memukulku dengan sendal bakiaknya yang terbuat dari kayu. Tubuhku... Oh... Tubuhku...
Aku baru ingat di suatu waktu aku pernah berjanji padanya akan melamarnya, sayangnya hantaman truk itu membuatku seperti dipukul sendal bakiaknya sekarang.
"Ranuuuu... Dasar kau Kecoak! Pemberi harapan palsu! Ranu di mana kau sekarang Ranuuuu... Aku kangen!"