2006, saya diterima salah satu perguruan tinggi negeri di Malang. Menjalani hari-hari sebagai mahasiswa dan sebagai anak kos dalam waktu yang belum ditentukan. Dua bulan pertama di Malang, saya belum memegang yang namanya telepon genggam. Memang ada kesan culun atau ndak gaul belum punya handphone (Hp). Tapi itu tak jadi masalah buat saya. Memang belum punya uang untuk beli Hp. Alasan klise itu didasarkan atas “doktrin” orang tua agar bisa beli Hp dengan uang dari hasil jerih payah sendiri. Itulah sebabnya saya mengekang diri sendiri untuk tak beli Hp.