Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Konversi Bidikmisi, Menjadi Beasiswa Tepat Sasaran

22 Oktober 2013   09:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:11 775 0

Oleh : Ilham Akbar Darmawan Ketua Umum PK IMM Prof. DR HAMKA Unimed

Stratifikasi sosial dalam pendidikan merupakan salah satu permasalah yang selalu saja menjadi soroton di setiap negara berkembang dalam prosesnya menjadi negara maju. Ketimpangan yang muncul kerap menjadi penghambat, dalam penyelenggaraan pendidikan misalnya, tuntutan akan pemenuhan kebutuhan untuk belajar selalu saja menjadi beban yang sangat berat bagi pelajar yang keluarganya berpenghasilan rendah. Tapi sepertinya permasalah-permasalahan tersebut sudah mengalami sedikit peningkatan perhatian dari pemerintah berkat program-program seperi BOS untuk siswa SD dan SMP sejak tahun 2005, peraturan daerah untuk menggratiskan biaya pendidikan hingga jenjang SMA sederajat seperti di kabupaten Serdang Bedagai, beasiswa otorita untuk mahasiswa seperti yang ada di Sumatera Utara, hingga program pemerintah melalui direktorat jendaral perguruan tinggi (ditjen dikti) pada tahun 2010 yaitu peluncuran program bantuan biaya pendidikan BIDIKMISI. Sebagai program teranyar, Bidikmisi kian menjadi bahan pembicaraan terkait kehadirannya yang terkadang tidak tepat sasaran hingga melahirkan pandangan miring terhadap penerima hingga memunculkan pertanyaan, Layakkah mereka menerima Bidik Misi?

Bidikmisi merupakan program 100 hari kerja menteri pendidikan nasional (kini berganti nama menjadi kementrian pendidikan dan kebudayaan) yang mulai di jalankan pada tahun 2010, bantuan ini diberikan kepada lebih dari 20.000 Mahasiswa di perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia dibawah naungan kementrian pendidikan dan kementrian agama pada saat itu dan semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Penerimanya adalah mahasiswa yang tergolong cukup memiliki prestasi atau memiliki kemampuan akademik yang baik tetapi tergolong kurang mampu secara ekonomi, sesuai dengan nama beasiswa yang diberikan, BIDIKMISI (biaya pendidikan, miskin berprestasi). Bidikmisi mempunyai tujuan antara lain untuk menghidupkan harapan bagi masyarakat kurang mampu dan mempunyai potensi akademik untuk menempuh pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi, selain itu juga program ini diharapkan dapat menghasilkan sumber daya insani yang mampu berperan dalam memutus mata rantai kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Misi di atas menunjukkan begitu besarnya harapan pemerintah untuk meretas permasalahan kemiskinan dalam penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi, beasiswa ini justru dijadikan sebagai batu loncatan bagi sebagian orang yang sebenarnya tak layak menerimanya. Karena kemudahan mendapatkannya, orang-orang yang terbilang cukup kaya rela berpura-pura menjadi miskin untuk ikut menikmati besiswa ini. Inilah yang kemudian melahirkan stigma negatif penulis terhadap cara pemberiannya dan ketidakseriusan dikti terhadap pengelolaan bidikmisiyang secara akumulatif jumlahnya bisa hampir mencapai empat rupiah per semester (jumlah ini telah mengalami penurunan dibanding jumlah yang penah di keluarkan diawal) untuk tiap penerimanya.

Permasalahan dan bukti ketidakseriusan pengelolaan

Beasiswa ini terbilang sangat laris dikalangan siswa SMA sederajat yang ingin malanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi mengingat banyaknya jumlah uang yang akan diterima setiap semester apabila mereka menjadi salah satu penerima bidikmisi. Kesalahan orientasi ini yang membuat gagalnya cita-cita untuk memutus mata rantai kemiskinan, mengapa demikian?, jelas saja, karena sebagian penerimanya bukan orang-orang kurang mampu yang berprestasi, melainkan siswa-siswa yang berpura-pura menjadi “miskin” untuk sekadar mendapatkan uang. Alhasil, setiap kali bantuan diberikan, tak jarang penerima beasiswa tersebut malah menggunakan uang yang didapat untuk membeli barang-barang yang sama sekali tidak berkaitan untuk menunjuang kegiatan akademiknya. Kebanyakan mereka malah manggunakan uang itu untuk membeli gadget-gedget elektronik, perhiasan untuk tampil modis bahkan untuk biaya berbau hedonis dan komsumerisme yang tentunya akan melahirkan pandangan miring terhadap penerima beasiswa itu sendiri. Inilah yang dimaksud sebagai ketidaktepatan penerima bantuan.

Ketidakseriusan lain terlihat pada ketidaktegasan pemberian sanksi. Pada awalnya sesuai dengan kesepakatan, Penerima beasiswa bidikmisi harus mendapatkan indeks prestasi minimal 3.00 sebagai bukti prestasi belajar yang cukup baik selama satu semester. Dan apabila tidak mencapai nilai itu maka penerima akan mendapat teguran dari pengelola beasiswa di lingkungannya. Apabila pada semester berikutnya indeks prestasinya juga tidak mencapai target, maka bantuan terpaksa dicabut. Namun dalam prakteknya, sanksi ini sama sekali tidak berlaku sama sekali dan malah membuat para penerima bantuan itu terkesan tidak memiliki tanggung jawab terhadap pemberi bantuan, yaitu pemerintah melalui dikti. Tentunya masih sangat banyak permasalah-permasalah yang muncul sejak diluncurkannya program ini, akan tetapi hal diataslah yang dianggap sangat mendasar karena kedua hal tersebutlah yang sejatinya menjadi inspirasi kelahiran program ini, “Ketidak mampuan secara ekonomi, dan juga prestasi akademik yang mempuni”.

Perbaikan Pengelolaan dan Konversi fasilitas bantuan

Banyaknya permasalahan terkait pemberian dan pengelolaan bidikmisi tentunya harus diselesaikan sesegera mungkin agar program unggulan untuk penanggulangan kemiskinan dalam pendidikan tersebut bisa tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sekolah sebagai domain calon penerima bantuan dan dikti sebagai pengelola harus melakukan transparansi terhadap penseleksian calon penerima beasiswa. Sejauh ini, ada dua jalur yang diberikan dikti untuk seleksi calon penerima bantuan, yang pertama adalah jalur undangan dan yang kedua adalah jalur SBMPTN. Yang paling banyak muncul “permainan” sebenarnya ada pada jalur Undangan mengingat bisa saja terjadi “kong kalikong” antara siswa dengan sekolah dan juga pihak pemerintah desa atau kelurahan untuk sekadar pengeluaran surat keterangan “tidak mampu” untuk melengkapi berkas. Oleh karena itu, sebaiknya jalur undangan di tiadakan saja untuk menampik segala kemungkinan kecurangan yang akan muncul. Kedepan, calon penerima bidikmisi harus mengikuti ujian tertulis (SBMPTN) seperti calon mahasiswa lain dan setelah lulus baru dapat dipertimbangkan calon mahasiswa tersebut layak atau tidak untuk menerima bantuan sesuai dengan standar “miskin” yang di tetapkan oleh pengelola. Dengan demikian, kalaupun dalam penyeleksian tersebut tetap saja ada calon penerima bantuan yang sebenarnya dalam kategori keluarga mampu (karena memang selalu saja ada cara untuk melakukan manipulasi), paling tidak mereka telah mengalami tahap penseleksian yang ketat yang cukup memberikan predikat “berprestasi” pada diri mereka.

Selanjutnya adalah pada pemberian atau “pencairan” bantuannya, Uang tunai yang mencapai empat juta per semester itu sangat rawan memunculkan tindakan-tindakan korupsi dari pihak-pihak yang juga ingin “menikmati” uang itu. Di Universitas Negeri Medan misalnya, sangat banyak terjadi pemotongan-pemotongan dengan alasan yang beragam, Salah satunya adalah kutipan dengan alasan untuk perlengkapan wisuda. Wajar-wajar saja seandainya kutipan itu dilakukan saat mahasiswa penerima bantuan sudah berada di penghujung kegiatan studinya (misalnya semester 6) tetapi akan sangat “lucu” apabila penerima harus membayar uang itu bahkan pada “pencairan perdana” bantuan tersebut. Tidak terlalu masalah juga apabila potongan itu dipergunakan sebagaimana yang dikatakan diawal, akan tetapi tidak menutup kemungkinan ada penyelewengan mengingat berubah-ubahnya tarif atau biaya perlengkapan dan juga ketidakpaduan pengelolaan administrasi di kampus.

Untuk mengurangi terjadinya praktik-praktik korupsi yang mungkin saja terjadi, sebaiknya bantuan yang tadinya berupa uang tunai di “konversikan” kedalam bentuk fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh pengelola. Misalnya, Semua penerima bidikmisi diberikan tempat tinggal seperti asrama dengan sarana belajar yang memadai dan juga transportasi (bus antar jemput) terjadwal apabila asrama dibuat di luar kampus. Untuk konsumsi tentunya juga berpusat pada asrama sebagai tempat tinggal penerima bantuan tersebut. Selain itu, segala kebutuhan yang berguna untuk menunjang kegiatan belajar seperti komputer dan perpustakaan juga harus dilengkapai. Akan tetapi, Asrama juga harus memberikan waktu luang bagi mahasiswa-mahasiswa yang berkeinginan untuk berorganisasi ataupun kegiatan-kegiatan ekstra kampus yang bermanfaat dengan membuat peraturan-peraturan yang sewajarnya untuk bisa dijalankan bersama. Mungkin banyak orang yang beranggapan bahwa tinggal di asrama itu tidak enak,seperti terpenjara karena tidak bisa bebas dan berlaku semau kita, dan di khawatirkan calon-calon penerima beasiswa malah menjadi enggan untuk mengerjar bantuan tersebut. Orang-orang yang berpikir instan, tentu saja akan dengan cepat menolak gagasan semacam ini, karena setelah dihitung-hitung tentu akan semakin banyak anggaran yang akan dihabiskan untuk pembiayaan hidup penerima beasiswa tersebut. Sangat sulit untuk memungkiri bahwa budaya “berfikir instan” inilah yang sangat tumbuh subur di negara kita, baik oleh para pemangku kebijakan maupun pada seluruh masyarakatnya, itupun kita masih saja bertanya, mengapa bangsa ini sangat sulit untuk maju?.

Kelemahan bangsa ini terletak pada ketidakseriusan pada setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dan juga toleransi berlebihan terhadap sesuatu yang sebenanya tidak bisa di tolerir. Dengan membuatkan asrama dan memusatkan tempat tinggal penerima beasiswa tentu banyak menuai kontra dengan alasan yang beragam, salah satunya adalah jika penerima bantuan harus dipusatkan tempat tinggalnya, maka kebebasan penerima bantuan tersebut akan terenggut. Selain itu, akan banyak pula yang beranggapan ini akan membutuhkan biaya yang sangat besar mengingat banyaknya fasilitas yang harus dipenuhi pemerintah untuk menjalankan program ini. Tetapi, mulai saat ini kita harus menegaskan bahwa bantuan yang diberikan itu memang bukan untuk mendukung kebebasan perilaku setiap penerimanya untuk menggunakan bantuan itu semaunya, melainkan sebagai alat untuk pembinaan orang-orang yang benar-benar memiliki keseriusan dalam hal belajar dan juga memiliki ketekunan dan keteguhan hati juga menjadikan mereka sebagai orang-orang yang bertanggungjawab atas segala sesuatu yang diamanahkan kepada mereka (dalam hal ini beasiswa tersebut) sesuai dengan tujuan awal peluncuran bantuan ini oleh dikti. Untuk masalah biaya, memang terkesan akan sangat banyak biaya yang dikeluarkan, akan tetapi banyaknya biaya hanya akan banyak dihabiskan di awal pemberlakuan kebijakan ini, yaitu untuk mengadakan seluruh fasilitas yang belum ada. Namun jika kita berpikir untuk jangka panjang, tentunya hal tersebut bukan menjadi suatu permasalahan, karena seluruh fasilitas yang disediakan, misalnya tempat tinggal dan komputer tidak akan dibawa oleh penerima bantuan setelah kegiatan belajarnya selesai. Dan kalaupun memang harus menghabiskan lebih banyak uang untuk penyelenggaraannya dibanding dengan yang dilakukan saat ini, tetap saja bukan merupakan sebuah permasalahan karena seluruh anggaran yang dikelurkan benar-benar tepat sasaran, jika memang tidak memungkinkan, bukan merupakan hal yang sulit untuk memperkecil volume penerima bantuan sesuai dengan anggaran yang disediakan. Yang terpenting dalam suatu kebijakan adalah ketercapaian pada cita-cita awal pembuatannya, bukan pada banyaknya penerima bantuan walau tidak bisa memberikannya secara maksimal. Kita berharap semoga program-program bantuan pendidikan kedepan tetap menjaga esensi dari tuajuan keberadaannya secara aksidental dengan ketegasan dan keseriusan pengelolaan. Jika masih ragu dengan kebijakan yang akan dibuat, sebaiknya tidak usah melakukannya karena itu hanya akan menghasilkan kesia-siaan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun