Ada banyak orang yang beranggapan, bahwa peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa merupakan kegagalan rancangan Allah. Jika hal ini benar, tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh Ayub ketika menjawab Allah: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayb 42:2). Mereka menyebut ini sebagai suatu kegagalan, apalagi hal tersebut dihubungkan dengan apa yang ditulis dalam Mazmur 135:6: “TUHAN melakukan apa yang dikehendaki-Nya, di langit dan di bumi, di laut dan di segenap samudera raya.”
Demikianlah, hal ini menjadi suatu persoalan yang rumit untuk dijelaskan, karena bisa ditafsirkan bahwa segala hal di langit dan di bumi dan di samudera raya, Tuhanlah yang menentukan. Perlu untuk melihat kembali uraian mengenai manusia, setelah mereka jatuh ke dalam dosa.
Berfirmanlah TUHAN Allah: "Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; maka sekarang jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya”( Kej 3:22 ).
Manusia itu sudah menjadi seperti Allah karena memiliki pengetahuan dan kehendak. Ia dapat merencanakan, merancang, dan kemampuan untuk melaksanakan kehendaknya itu. Manusia sudah bisa digerakkan oleh kehendaknya sendiri, dan tidak lagi harus digerakkan oleh kehendak dari luar dirinya, sebagaimana sebelumnya.
Dengan demikian, manusia itu juga merupakan subyek dengan kehendak yang sudah ada padanya, dan tentunya itu ikut bertalian dengan berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya. Hal ini kembali dijelaskan melalui Kejadian 11:6, bagaimana manusia itu telah memiliki daya yang menggerakkannya, dan itulah yang akan dilakukannya. "Dan Ia berfirman: "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana.”
Demikianlah hendaknya harus dipahami, bahwa berbagai peristiwa setelahnya harus menempatkan manusia itu sebagai subyek dari berbagai hal yang terjadi. Dan sangat tidak fair, bila Allah digugat dan disalahkan, dan manusia dibebaskan dari konsekuensi yang merupakan ganjaran atas apa yang dilakukannya, yakni melanggar tatanan yang ada.
Demikianlah, kegagalan melihat persoalan dengan perspektif yang benar, membuat kita bisa salah dalam menilai dan gagal mengenal Allah. Dan sudah barang tentu kita tidak akan bisa mengenal-Nya, sekalipun alam dan semua ciptaan memberi kesaksian tentang Allah. Allah hanya memberi diri-Nya ditemukan oleh orang-orang yang sungguh-sungguh mencari-Nya, yakni mereka yang haus dan lapar akan Dia.
Dan akibat kegagalan mereka, Allah digugat atas segala kekacauan yang terjadi. Apa yang terjadi di Taman Eden bukanlah kegagalan rancangan Allah, melainkan pelanggaran terhadap tatanan yang sudah dibuat-NYA.
Adapun segala sesuatu, baik di bumi maupun di langit berjalan menurut tatanan yang ada, yang telah dibuat Allah, ketika dengan firman-Nya Dia mencipta. Tatanan ini ditopang oleh firman-Nya, sehingga segala sesuatu berjalan dan bergerak menurut tatanan yang mengaturnya.
Misalnya gravitasi; Pelanggaran terhadap tatanan ini akan menyebabkan orang yang melompat dari ketinggian akan jatuh. Begitu juga dengan pesawat terbang, jika gaya yang mendorongnya tidak cukup, atau lebih kecil dibandingkan dengan beratnya, maka dapat dipastikan pesawat itu akan jatuh.
Begitulah Allah membuat tatanan untuk mengaturnya. Tatanan itu terus menerus ditopang oleh Firman-Nya, sehingga segala sesuatu boleh berjalan di jalurnya, sekalipun sepertinya tidak ada yang mengatur dan menjaga. Semua itu bekerja berdasarkan tatanan yang sangat baik, yang dibuat oleh Allah.
Dengan demikian Allah tidak pernah merencanakan kejatuhan manusia. Allah menciptakan manusia, dan membuat tatanan untuk mengatur segala sesuatu yang didalamnya, termasuk konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan terhadap tatanan itu.
Demikian juga, Allah tidak serta merta membiarkan segala hal berlangsung tanpa mempedulikan apa yang terjadi. Dia senantiasa mengikuti sejarah ciptaan-Nya, dengan memelihara mereka dengan tindakan-Nya, yang juga seringkali gagal dipahami oleh manusia.
Tindakan Allah mendatangkan air bah pada zaman Nuh, merupakan salah satu bukti pemeliharaan Allah. Sehingga manusia itu tidak segera binasa, sebagai akibat dari sedemikian besarnya kejahatan yang telah mereka lakukan. Dan kesemuanya itu menuntut konsekuensi berdasarkan tatanan yang ada, yakni tuntutan hukum dosa. Dan puncak dari tindakan Allah adalah ketika Tuhan Yesus datang ke dalam dunia, dan kemudian Roh Kudus dicurahkan kepada orang percaya.
Demikian juga, banyak orang seringkali salah dalam memahami kemahatahuan Allah. Tentu Allah mengetahui segala hal. Dengan kemahatahuan-Nya, Allah berfirman dan para nabi bernubuat tentang apa yang dilihat Allah, kejadian atau peristiwa yang akan terjadi jauh di depan. Namun, apakah Allah selalu menggunakan kemahatahuan-Nya, ketika berurusan dengan manusia?
Alkitab tidak mengatakan demikian, bahkan dalam banyak hal, Allah memilih tidak menggunakan kemahatahuan-Nya dalam relasi-NYA dengan manusia. Itulah sebabnya dalam banyak peristiwa, Allah memberi pilihan kepada manusia untuk taat atau tidak. Ia memilih mengesampingkan kemahatahuan-Nya.
Ketika Alkitab mengatakan supaya genaplah apa yang tertulis, maka perlu dipahami apa yang dimaksudkan oleh Alkitab mengatakan demikian. Kegenapan dari apa yang tertulis, atau apa yang telah dinubuatkan adalah menyangkut kemahatahuan Allah, yang telah melihat peristiwa yang akan terjadi. Allah dengan kemahatahuan-Nya menyampaikannya untuk disuarakan oleh para nabi, seperti ada tertulis di dalam Alkitab.
Jadi, nubuatan itu bukanlah penentuan Allah yang sudah menetapkan skenario untuk segala hal yang akan terjadi. Tetapi kedaulatan Allah, yang dengan kemahatahuan-Nya melihat peristiwa-peristiwa di depan, dan menyampaikannya baik secara langsung, atau melalui perantaraan para nabi untuk menjadi pertanda atau petunjuk bagi manusia, dan merupakan konfirmasi bagi mereka yang mencari pimpinan atau tuntunan Allah.
Dengan demikian, Yudas Iskariot mengkhianati Yesus bukan karena telah diskenariokan demikian. Alkitab menuliskannya karena Allah sudah melihat peristiwa itu terjadi jauh sebelumnya. Lalu dituliskan oleh penulis Alkitab yang menerima pewahyuan dari Allah.
Adalah tidak pada tempatnya, bila manusia dengan perspektifnya yang keliru selalu menyoal kedaulatan Allah dalam menggunakan kemahatahuan-Nya. Apalagi dengan menuduh Allah telah membuat skenario di depan, sehingga apapun yang terjadi atas ciptaan, maka semua itu merupakan skenario Allah. Dan dengan demikian hendak melemparkan tanggung jawab atas segala kekacauan yang terjadi kepada Allah.
Ketika tatanan itu dilanggar, timbullah akibat dari pelanggaran terhadap tatanan itu. Demikian juga, setelah manusia memiliki perspektif sendiri dan melaksanakan apa yang timbul dari dalam dirinya; maka segala sesuatu yang sebelumnya ditata dengan perspektif Allah mengalami perubahan. Lalu kemudian menimbulkan masalah, dan tidak hanya berdampak kepada manusia saja, tetapi ciptaan lain juga ikut menerima akibatnya.
Akan tetapi, seringkali manusia memilih mempersalahkan Allah untuk segala penderitaan dan kekacauan yang terjadi. Allah digugat untuk sesuatu yang merupakan konsekuensi dari ulah manusia sendiri. Manusia mempertanyakan diamnya Allah atas apa yang sedang terjadi, seakan-akan Allah membiarkan dan tidak peduli atas penderitaan manusia.
Manusia, bahkan bisa menuduh Allah tidak benar dalam mengatur dan mengelola ciptaan dengan tatanan yang dibuat-Nya. Rancangan Allah terus digugat, karena tidak lebih baik dari apa yang ada di dalam benak mereka. Muncullah kemudian gagasan untuk meniadakan Allah, dengan lahirnya teori-teori spekulatif tentang berbagai peristiwa yang berkaitan dengan keberadaan bumi, benda benda angkasa, dan mahluk hidup.
Mereka menempatkan apa yang dinamai dengan kebetulan dan kemungkinan, sebagai unsur yang dapat mendukung terwujudnya keberadaan dari segala sesuatu yang ada. Demikianlah manusia itu, semakin menjauhi Allah dengan perspektifnya sendiri. Mereka pun kemudian mencari allah baru yang lebih baik dan lebih masuk di akal; karena Allah yang satunya begitu sulit dimengerti dan sudah tidak lagi mempedulikan apa yang terjadi dengan ciptaan-Nya.
Ada juga sebagian dari mereka berusaha meniadakan Allah, dan menyangkal segala hal yang mengandung unsur Allah. Mereka menafikan konsistensi Allah melalui waktu dan sejarah sebagai satu garis yang tidak terputus, dan menyederhanakan segala hal dengan melihat dan memahaminya sebatas waktu dan sejarah hidupnya semata melintasi bumi.