"Bang, beli mobil, ya?" rengek Leni tiba-tiba, selepas memasukkan baju yang telah dilipat ke dalam lemari.
"Abang belum ada cukup uang, Dek." Irwan tetap fokus pada laptopnya.
"Kredit gimana, Bang?" tanya Leni penuh harap sambil memeluk Irwan dari belakang.
"Janganlah, Dek. Nggak bagus ngutang," tolak Irwan, tegas.
"Tapi, Bang ... Anak kita sudah tiga. Aku benar-benar kerepotan kalau Abang ajak ke mana-mana naik motor." Dilepaskan Leni pelukan ke Irwan, beranjak duduk di tepi ranjang. Kesal.
"Ya ... sabar dulu, Dek. Gimana lagi, Abang bisanya baru seperti ini. Masih beruntung, loh, ada motor yang setia menemani." Irwan menoleh pada Leni. Tersenyum.
"Kalau aku kerja lagi, gimana?"
"Terus yang ngurus anak-anak di rumah siapa?" Irwan balik bertanya.
"Cari pengasuh, Bang. Atau titipkan di Day Care."
Irwan mendekat, duduk di samping Leni yang tampak merengut. Diraihnya kedua pipi sang istri dengan dua telapak tangannya yang besar. Netranya lurus menatap netra Leni dengan penuh kelembutan.
"Istriku Sayang ... Bukannya Abang hendak melarangmu begini dan begitu. Tapi, segala sesuatu itu butuh pertimbangan yang matang. Coba pikir, gimana kalau anak-anak di bawah pengasuhan orang lain yang belum kamu tahu sepak terjangnya. Apa Adek tega?"
Leni diam sejenak, bibirnya mendadak manyun tiga senti. "Teman-temanku yang bekerja pada gitu, loh, Bang. Nggak ada masalah, tuh, mereka. Justru waktu bersama anak-anak bisa lebih berkualitas setelah seharian ditinggal kerja."
"Itu mereka, Dek. Belum tentu cocok untuk kita," sanggah Irwan.
"Nah, itu ... Abang sendiri, loh, yang bilang belum tentu. Masih ada kemungkinan cocok, kan?" Leni ngeyel. "Harus coba, Bang, biar tahu!"
"Buat anak, kok, coba-coba, Dek!" Irwan terpancing, kesal. Lalu, melepaskan sentuhannya pada Leni.
"Duh, Abang nggak ngerti, sih!" Leni menarik badannya dari tepi ranjang, lalu merebahkan diri membelakangi Irwan yang juga beranjak dari duduknya, melangkah ke meja mematikan laptop yang tadi masih menyala.
"Abang yang justru nggak ngerti, maksud adek nggak ngerti itu nggak ngerti apanya?" tanya Irwan sejurus kemudian. Mendekati Leni kembali di pembaringan yang kini diam saja. Ngambek.
"Lagian, anak-anak itu butuh pengasuh yang hebat, kan? Dan Adek satu-satunya yang memenuhi kriteria itu untuk mereka," lanjut Irwan yang kini ikut berbaring di samping Leni, meletakkan kedua telapak tangan di tengkuk dan memandang langit-langit kamar.
Tak ada sahutan, Irwan justru semangat melanjutkan perkataannya. "Adek itu ibu terbaik bagi anak-anak, loh. Sarjana, pinter mengaji, masakannya enak, pandai bercerita, bawel dalam ...."
"Abang nyebelin!" seru Leni demi mendengar kata "bawel" dari suaminya. Diambilnya bantal untuk menutup wajah yang rautnya semakin memerah. Tambah kesal.
"Abang belum selesai ngomong, Dek ...." Irwan memindah posisi badannya menyamping, menghadap punggung Leni yang masih tetap membelakangi. "Maksud Abang, bawel dalam kebaikan. Rajin ngingetin anak-anak kalau ada hal kurang tepat yang mereka lakukan. Dan itu, belum tentu mereka dapat dari orang lain selain ibunya sendiri."
Leni kembali diam. Sebenarnya, dia membenarkan perkataan Irwan. Selama ini, ketiga anak mereka memang paling nyaman dalam asuhannya. Mereka tidak kerasan jika harus berjauhan dengan ibunya. Meskipun, yah ... kebawelan Leni terkadang membawa keributan tersendiri antara Leni dan ketiga anaknya itu, terutama si sulung yang mulai pandai berargumentasi.
Leni juga teringat setahun yang lalu ketika anak-anak harus dititipkan di bibi mereka saat Irwan dan Leni pergi umroh selama sepekan. Saat senggang dan bisa bertelepon ria, si bungsu dan nomor dua selalu menangis meminta ibunya pulang. Wajar, mereka berdua masih balita berusia satu tahun dan tiga tahun saat itu. Si sulung yang berusia enam tahun dan sudah mengerti saja juga menyuruhnya segera pulang, hanya karena kangen cerita dan pelukan ibunya.
"Hemm ... benar, anak-anak memang sangat lebih nyaman berada di dekat ibunya," batin Leni.
"Duh, istriku kalau ngambek jadi diam gini. Abang butuh pelukan, nih!" goda Irwan menjawil lengan Leni.
Leni masih bergeming. Gengsi jika langsung luluh meladeni godaan Irwan.
Irwan pun lebih mendekatkan tubuhnya dan merengkuh Leni dengan tangan kirinya.
"Abang sayang Adek. Abang ingin kita dan anak-anak hidup tenang dan penuh keberkahan meskipun dalam kondisi sederhana. Adek bantu doa, ya, untuk kelancaran setiap cita-cita kita."
Leni tetap diam, tak menolak rengkuhan Irwan. Dia hanya mengaminkan dalam hati. Baginya, posisi dan suasana seperti ini adalah hal ternyaman yang membuat hatinya aman.
***
Tiga tahun kemudian.
Irwan menyodorkan ponsel pintarnya pada Leni. Terpampang dengan nyata aplikasi mobile banking di sana. Leni penasaran, meraih ponsel dari tangan suaminya.
"Masyaallah, Bang! Ini beneran segini banyak?" tanya Leni dengan sepasang netra yang terbelalak. Takjub.
"Beneran, Dek. Itu hasil tabungan yang Abang sisihkan khusus. Sebagian juga dapat dari rezeki yang tak terduga. Proyek desain apartemen Abang sama kawan-kawan kemarin deal. Langsung cair, alhamdulillah. Kalau mau, besok kita langsung ke dealer buat milih mobil."
Leni memeluk Irwan. "Terimakasih Abang. Adek terharu ...." Leni malah menangis sesenggukan.
"Sudah-sudah ...." Irwan melingkarkan lengan kirinya di punggung Leni dan mengusap kepala Leni dengan tangan sebelah kanan. "Ini juga berkat kesabaran, ketangguhan, dan doa-doa Adek untuk Abang."
Leni merenggangkan pelukan. "Abang, mobilnya beli yang biasa aja, nggak perlu terlalu bagus. Atau beli second tapi yang oke."
"Hah? Kan uangnya masih cukup buat beli yang gress, Dek."
"Takut biaya perawatan dan pajaknya gedhe, Bang." Leni nyengir. Tawa Irwan pun keluar tak tertahankan.