Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Psikologi Kematian

15 September 2014   16:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:39 1046 0
Topik psikologi kematian sebenarnya merupakan topik yang cukup luas. Ia mencakup isu seperti reaksi terhadap kematian, bunuh diri sebagai fenomena ganjil, tahapan berduka, isu eksistensialis, dan lain lain. Beberapa tahun belakangan ini mulai muncul penelitian-penelitian Mengenai peran kecemasan akan kematian terhadap kehidupan kita. Mulai dari penelitian penelitian behavioral economics sampai pada penelitian mengenai psychology of religion.

Isu yang akan dibahas disini adalah betapa sentralnya kematian dalam kehidupan manusia. Rasa takut dan cemas bahwa suatu saat nanti kita akan mati membuat kita melakukan proses pencarian makna hidup. Kematian adalah puncak dari segala peristiwa paling mengancam. Karena itu, kematian adalah isu sentral dalam kehidupan kita semua tanpa terkecuali. Untungnya, kita biasa hidup dalam masyarakat dan budaya. Mereka memberikan kita makna hidup. Dari mereka, kita belajar tentang alasan mengapa kita tetap bertahan meskipun suatu saat nanti kita akan mati. Nah, salah satu contoh paling familiar adalah agama. Sejak kecil, kita dididik bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan pintu menuju kehidupan selanjutnya. Selain agama, ada uang, hubungan cinta, kasih sayang, dan prestasi yang biasanya dijadikan tujuan hidup seseorang. Contoh-contoh ini membuat seseorang lupa akan kematian, karena ia paham bahwa keberadaannya di dunia ini pasti memiliki arti.

Kontras dengan arti-arti hidup yang seperti itu, filsafat eksistensialisme menekankan bahwa individu perlu menemukan makna hidup yang bukan hanya ditentukan budaya atau orang lain. Agama, uang, prestasi. Bagi eksistensialis, itu semua bukanlah makna hidup yang tepat, karena setiap orang perlu menemukan makna hidupnya sendiri yang unik. Agama, uang, prestasi dianggap sebagai pelarian dari makna hidup yang sebenarnya. Karena kita biasanya dicekoki oleh doktrin, dogma, dan nilai-nilai yang kaku (misalnya: hidup itu harus punya banyak uang), maka makna hidup kita itu bisa dibilang makna hidup yang superfisial. Makna hidup yang sebenarnya adalah saat seseorang mencari sendiri apa tujuannya untuk hidup.

Sekarang, apakah kita bersedia untuk hidup terus menerus dengan ingatan akan kematian? Atau apakah lebih baik kita fokus dengan tujuan hidup kita, sehingga saat ingatan akan kematian muncul, kita bisa menanganinya dengan makna-makna hidup kita. Misalnya: kalau dalam agama,

saat kita ingat kematian, kita ingat bahwa ada Tuhan Yang Maha Melindungi orang-orang beriman dari siksa kubur. Jadi, kita semakin termotivasi menjalankan perintah agama (arti hidup kita dalam agama, biasanya untuk berbuat kebaikan – sebagai contoh dalam Islam, manusia adalah khalifah)

Kebanyakan orang akan memilih ingatan kematian yang bisa dikurangi dengan tujuan hidup kita. Namun, tidak semuanya sependapat. Sebagaimana yang yang telah disebutkan, gerakan eksistensialis memilih untuk terus mengingat kematian sebagai jalan untuk menyadarkan bahwa hidup harus dijalani sepenuh hati. Tanpa adanya kematian, untuk apa menjalani kehidupan sepenuh hati?

Bagi mereka yang tidak menganut agama biasanya mencari makna hidup seperti prestasi, cinta dengan pasangan hidup, dan lain-lain. Jika dalam agama makna hidupnya adalah kehidupan setelah kematian, orang tanpa agama makna hidupnya adalah keabadian yang bisa dicapai lewat karya-karya. Misalnya: buku, penelitian, berhasil menyekolahkan anak cucu. Tentu saja, prestasi, cinta, dan lain-lain pun juga bisa jadi makna hidup bagi orang beragama sehigga tidak bisa kita mengkotak-kotakkan makna hidup.

Memang, ingatan akan kematian biasa dimunculkan lewat peristiwa konkrit, misalnya: melihat orang wafat. Namun, manusia adalah makhluk yang memiliki pikiran dan sadar akan keberadaannya. Ia juga sadar bahwa kehidupannya suatu saat akan berakhir. Jadi, sangat dimungkinkan kalau rasa takut akan kematian muncul hanya karena berpikir mengenai kematian tanpa adanya peristiwa konkrit, seperti terancam ditabrak mobil. maka, hal yang perlu dilakukan untuk mengatur rasa cemas kita akan kematian adalah dengan mengajak diri kita sendiri untuk berpikir, apa yang ingin benar-benar dikakukan oleh kita, sebelum mati? Hal apa yang bisa membuat kita berjuang hidup meski kematian di depan mata? Dan jawabannya akan unik bagi setiap individu.

Menurut teori, secara natural manusia sebetulnya akan cemas menghadapi kematiannya sendiri. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang tidak takut mati? Pertanyaan tersebut sebenarnya terkait dengan fenomena orang-orang yang melakukan bunuh diri. Bagaimana bisa mereka 'seberani' itu? Apa tidak takut?

Bunuh diri, menghilangkan keberadaan kita di dunia. Mereka yang melakukan tindakan ini cenderung mengalami depresi dan biasanya kehilangan makna hidupnya. Disinilah mengapa makna hidup adalah sesuatu yang penting. Ia menjadi alasan seseorang untuk bertahan hidup

meski hidup penuh penderitaan. Jadi, untuk orang-orang yang tidak takut mati kita perlu membantu mereka untuk memulihkan makna hidupnya. Ada yang ingin bunuh diri bukan karena tidak takut mati, tapi karena ia lebih takut lagi menghadapi apa yang harus ia hadapi saat hidup itu. Menarik, lagi-lagi kalau kita kaitkan pada makna hidup, orang yang bunuh diri dengan alasan sudah merasa bahwa hidup tidak patut diperjuangkan. Ia bahkan sudah tidak lagi ingin menghadapi apa yang ada di hadapannya. Berdasarkan penelitian ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri, yaitu:

1. Penilaian bahwa diri sendiri itu tidak berharga

2. Depresi

3. Gangguan psikologis lain (mereka dengan Gangguan psikologis jauh lebih rentan bunuh diri karena perlakuan orang sekitar)

4. Genetik ( pernah nonton the virgin suicide? Ini merefleksikan bahaya dari faktor gen)

5. Faktor ekonomi seperti kemiskinan

6. Status pernikahan orangtua

Seringkali kita melihat fenomena bunuh diri, mungkin setiap hari, setiap jam atau menit atau detik ada seseorang yang melakukan bunuh diri mulai dari masyarakat biasa, hingga kalangan pejabat atau artis. Seperti yang terjadi pada artis Kurt Cobain yang meninggal saat karirnya sedang di puncak, meskipun penulis tidak terlalu tahu apakah penyebab kematiannya, tetapi bila kita mengaitkan bunuh diri karena takut namanya turun, ini mungkin terkait makna hidup prestasi. Tujuan hidup adalah memperoleh ketenaran, penghargaan, dan status sosial. Saat status itu sudah tercapai, makna hidup terealisasi. Tapi, ada ancaman di masa depan yang berpotensi meruntuhkan pencapaian itu. Demi melanggengkan keabadian dari status sosial itu, maka bunuh diri bisa jadi solusi. Dengan bunuh diri, pencapaian yang diraih (makna hidup) akan tetap abadi.

Memang pelik jika kita membahas tentang kematian yang sudah pasti akan dialami oleh setiap makhluk hidup. Namun, yang harus kita pegang teguh adalah keyakinan bahwa makna penciptaan ini hanyalah sia-sia adalah nol besar. Tidak ada sesuatupun yang diciptakan tanpa sebuah alasan, semua memiliki peran masing-masing dalam kehidupan ini. Begitupun dengan kita. Kita menjadi suatu sebab dan akibat bagi yang lain sehingga yang perlu kita lakukan adalah memaknai hidup kita sebaik-baiknya, selurus-lurusnya untuk menjalankan misi penciptaan kita sebenar-benarnya.

Kutipan:

Camus, “dalam arti tertentu bunuh diri seperti melodrama, bunuh diri semacam membuat pengakuan, salah satunya bahwa ia tidak mengerti kehidupan.”

Kurt Cobain, “It's better to burn out than to fade away”

Link: http://m.kaskus.co.id/thread/5409c17e0e8b463f5700000b http://ruangpsikologi.com/keluarga/peran-kematian-dalam-kehidupan/

Sumber: Notulensi Diskusi Grup Liberal Art

Narasumber: Joevarian

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun