Hal yang menjadi perhatian saya adalah pengunduran diri Andi Malarangeng ini ternyata tidak membuat publik menjadi puas. Tentu masih ada proses penyelidikan lebih lanjut terkait kasus korupsi yang dituduhkan kepadanya. Namun aneh rasanya melihat beberapa orang malah mencela keputusan mundur Andi Malarangeng.
Di Indonesia, bukan hal aneh jika muncul berita seorang pejabat ditetapkan sebagai tersangka, tapi ngotot mempertahankan posisinya. "Gila, udah jadi tersangka masih gak mau mundur juga," begitu komentarnya.
Sekarang, pejabat yang jadi tersangka itu sudah mundur, komentarnya berubah jadi "Kenapa baru mundur sekarang? Harusnya sejak sebelum ditetapkan jadi tersangka dong!"
Saya yakin jika Andi Malarangeng mundur sebelum ditetapkan jadi tersangka, komentar publik pasti "Dih mundur, berarti benar nih dia tersangka korupsi!"
Saya tahu salah satu sifat dasar manusia adalah tidak pernah puas. Tapi fenomena ini kok kesannya negatif ya, seolah bergeser jadi 'tidak pernah puas mencari kesalahan orang lain'.
Saya tidak menyebut mundurnya Andi Malarangeng dari jabatan Menpora sebagai sifat ksatria, saya tahu tindakan tersebut adalah hal yang sewajarnya dan oleh karena itu tidak perlu dipuji. Tapi justru bukankah sifat yang 'sewajarnya' ini sudah menjadi barang langka di Indonesia?
Tampaknya Mendiknas (yang bertanggungjawab atas kurikulum pendidikan Indonesia) perlu mencermati fenomena ini dan menemukan solusi yang tepat. Saya hanya tidak ingin bangsa kita menjadi bangsa apatis dan memandang semua hal dengan negatif.