Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tentang Senyum yang Terpaksa

31 Mei 2012   05:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:34 130 0
Lalu disuguhinyalah kita arak

kita lalu mabuk

lalu dicekiknyalah leher kita

kita lalu tersenyum

lalu ditikamnyalah perut kita

kita lalu tersungkur

lalu terburailah usus kita

darah lalu menyerbu pintu-pintu luka

lalu meringislah kita

nafas kita tersengal

lalu matilah kita

Kawan, kali ini aku ingin berbicara kepadamu tentang kisahku. Kisah dari seorang wanita yang menjadi korban. Dari kegigihan hati yang buta.

Sungguh tak elok melihat seseorang hanya dari tampang dan tampilan. Hari itu, aku belum cukup paham. Kuturuti begitu saja permintaan Bara. Padahal aku mengenalnya baru tiga hari.  JAZZ merah mudanya adalah salah satu alasanku. Pun wajah yang tak jauh beda dengan Tom Cruise. Alasan ketigaku, sebab aku memang belum pernah berkeliling di kota yang kudatangi sejak seminggu yang lalu.

Katanya dia mau mengajakku untuk refreshing. Mengelilingi kota Makassar. Ah, tak  mungkin aku tolak. Sudah lama aku ingin duduk bersantai di Anjungan Losari. Kata orang-orang, Anjungan di sana selalu menyenangkan. Namun, Bara bilang bahwa pengamen di sana banyak. Akan lebih asyik jika datang selepas subuh. Menanti matahari terbit. Aku mengiyakan.

Sejak siang hingga malam, kami telah mendatangi beberapa tempat. Rotterdam, Trans Studio, dan Tanjung Bayang telah kusaksikan langsung. Indah memang. Bara lalu mengajakku ke rumahnya. Katanya untuk beristirahat menunggu subuh. Lelaki yang baik, kataku dalam hati waktu itu. Kuturuti ajakannya.

Sesampai di rumahnya, disuguhinyalah aku minuman. Orange juice. Aku masih ingat. Aku mengantuk setelah menenggaknya. Lalu diajaknyalah aku tidur di kamar tamunya.

Tak pernah kusangka. Ia mencopoti pakaianku. Aku ingin meronta. Tak bisa. Tubuhku terlanjur lemas. Dan, setelahnya aku tak tahu lagi.

Itu terakhir kali aku melihatnya. Sebab menjelang subuh, kudapati tubuhku telah tergeletak di teras rumah.

Sebenarnya kejadian malam itu tak akan begitu menyakitkan andai saja dokter tak mengevonisku hamil. Sepulang dari rumah sakit, aku pergi. Tak pernah kembali lagi. Ke kota itu. Apalagi sampai berani pulang ke rumah menemui ibu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun