Pertanyaan yang sama terus diulang setiap tahun. Sampai saya malas untuk menjawabnya dan bosan menjelaskannya.
Padahal saya cuma sekali-kalinya jualan kue kering di kantor pada tahun 2007. Itu juga tanpa sengaja, dalam artian awalnya tidak ada niat jualan kue kering menjelang Lebaran.
Awalnya istri suka membuat kue kering, untuk dibagi-bagikan kepada saudara saat pulang mudik ke Cirebon. Pada tahun 2007 itu, istri ternyata terlalu banyak membeli bahan untuk pembuatan kue kering. Setelah macam-macam kue kering jadi dan dikemas dalam toples pipih, masing-masing saudara di Cirebon mendapatkan alokasi jatah yang proporsional. Namun tetap ada kelebihan 20 toples. Dibawa ke Cirebon juga sudah tidak ada tempat.
Akhirnya saya punya ide. Saya diskusikan ke istri, bagaimana kue kering yang ada 20 toples itu dijual ke teman-teman kantor. Istri setuju, maka saya pun langsung menawarkan ke sejumlah teman. Tidak lebih dari dua hari, 20 toples kue kering itu habis terjual.
Istri saya ketawa. Menurut dia, keruan saja cepat laku, karena satu kemasan toplesnya dijual dengan harga Rp 25.000,00. Sementara teman kantor juga sebenarnya banyak yang jualan kue kering. Namun pada tahun 2007, satu kemasan toples yang sama mereka jual antara Rp 40.000,00 sampai Rp 50.000,00.
Sebenarnya, kalau dihitung-hitung, penjualan dengan harga Rp 25.000,00 per toples tidak rugi-rugi amat. Masih dapat keuntungan Rp 5.000,00, setelah dipotong semua bahan baku yang diperlukan. Penjualan kue kering yang saya lakukan akhirnya mengundang masalah, karena harganya dianggap terlalu murah oleh teman-teman lain yang juga berjualan.
Dari sanalah saya memutuskan, tidak akan sekali-kali lagi berjualan kue kering. Kasihan juga kepada teman-teman yang sedang merintis usaha. Saya juga beritahukan kepada semua teman, cuma sekali saja jualan kue kering, itu juga tidak sengaja. Namun, efeknya sampai sekarang, tiap jelang Bulan Ramadan selalu muncul pertanyaan: "Pak tahun ini jualan kue nastar gak?"