Yang mengesalkan lagi, mereka tidak menjual kreativitas. Mereka cenderung menebar ancaman. Ada unsur-unsur melakukan intimidasi. Selesai gonjrang-gonjreng mereka mendatangi pengendara motor dan mobil dengan wajah garang. Seringkali tercium aroma minuman keras dari mulut mereka. Saat meminta uang sawer terlihat ada kesan memaksa.
Kalau kita memberi isyarat tidak punya uang receh, siap-siap saja menerima gerakan intimidasi. Mereka tetap menggedor-gedor kaca jendela mobil. Seolah mereka tidak mengerti dengan isyarat yang kita berikan. Kemudian jika kita membuka kaca jendela dan berkata dengan sangat sopan dan diawali kata maaf, maka bakal mendapat jawaban kata-kata yang kasar.
Itu pula yang membuat pengamen jalanan sering menjadi salah satu sasaran penertiban di tempat umum. Keberadaan mereka dianggap bisa mengganggu kenyamanan pengendara di jalan. Citra negatif itu tentu saja, merugikan para pengamen yang betul-betul menjajakan kreativitas.
Pengendara pun jadi malas mengeluarkan uang sawer. Mengingat sudah banyak kejadian, para pengamen setelah mendapatkan uang sawer justru dibelanjakan untuk minuman keras. Uang sawer yang didapatnya pun dilakukan dengan cara-cara kasar, seperti halnya preman jalanan.
"Betul Kang, kita juga tidak menampik, kalau banyak pengamen jalanan mirip dengan preman. Sejatinya mereka memang preman, cuma berkedok sebagai pengamen saja untuk mencari uang. Mana bisa mereka membawakan lagu-lagu dengan baik, suara yang jelas, musik yang enak, kalau kondisinya saja sedang dipengaruhi minuman keras," ujar Bram, pengamen yang biasa mangkal di perempatan Jalan Gatot Subroto-Jalan Malabar.