Tapi kenapa kuliner jenis gorengan ini sampai bernama bala-bala. Kesannya seperti sampah berserakan, karena bala (yang dalam bahasa Sunda berarti kotor). Banyak yang bercerita, bala-bala memang awalnya tidak jauh dari sampah (bala).
Konon dulu ada pedagang sayuran di Pasar Sederhana. Dia menjual kubis (kol), wortel, bawang daun, bawang merah dan bawang putih. Tidak setiap barang dagangannya habis terjual. Selalu saja ada yang tersisa. Lantas busuk dan jadi sampah.
Agar tidak mubazir dan terbuang percuma, pedagang tersebut akhirnya mengeluarkan ide kreatif. Sayuran sisa itu, tidak langsung dibuang tapi dicacag-cacag (dipotong/diiris) hingga dalam bentuk kecil. Potongan kecil dari kol, wortel, dan bawang daun, dia manfaatkan untuk campuran tepung terigu dan dijadikan gorengan. Sebagai penyedap, dia tambahkan pula bawang putih, bawang merah, dan merica.
Dari sanalah muncul isttilah, ketimbang sayuran sisa jadi bala (kotor) lebih baik dimanfaatkan untuk bahan baku campuran tepung terigu dan jadilah gorengan. Ternyata makanan itu cocok jadi cemilian masyarakat sekitar pasar dan stasiun Bandung. Kemudian dengan cepat tersebar dan untuk memudahkan penyebutan gorengan itu, masyarakat memberi nama bala-bala.
Kini bala-bala tidak bisa terpisahkan dengan masyarakat Bandung. Di setiap sudut banyak pedagang gorengan bala-bala. Warung, kantin kantor, kantin sekolah, kafe, restoran, hingga hotel menyiapkan menu bala-bala.