Mohon tunggu...
KOMENTAR
Drama Artikel Utama

Ling-Lung, Gerakan Feminisme Rasional

13 April 2015   13:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:10 83 1

Disadari atau tidak, pementasan teater Ling-Lung oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Nol Universitas Syiah Kuala di gedung tertutup Taman Budaya Aceh, 27-28 Maret 2015, kemarin, adalah pertunjukan untuk mempertegas gerakan feminisme liberal. Pertunjukan yang digelar selama lebih kurang 90 menit itu mengusung kisah seorang perempuan bernama Hayati, pemulung yang ketahuan mencuri televisi. Secara tafsir bebas, berarti perempuan juga bisa mencuri, perempuan juga bisa menjadi pemulung, bahkan perempuan juga bisa melawan petugas keamanan yang notabene adalah laki-laki.


Sebagai tokoh yang jadi fokus cerita, Hayati binti Mudakir ditamsilkan sebagai satu di antara sekian perempuan di dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ia bersama para tetangganya tinggal di sebuah pemukiman kumuh. Setting panggung menunjukkan tempat mereka tinggal adalah komplek pemulung. Hal ini diperkuat dengan dialog para tokoh. “Saya ini hanya seorang pemulung. Keluarga kami sudah tujuh turunan hidup sebagai pemulung. Saya ini pemulung sejati…” petikan dialog Hayati saat diinterogasi petugas polisi.

Hayati, pemulung yang ketahuan mencuri televisi Madam Sulas mencoba membela diri. Pembelaan rasional dari seorang perempuan sekaligus rakyat kecil, disisipi beberapa dialog satir yang menyindir realita sosial masyarakat Aceh atau Indonesia umumnya. Kata Hayati, ia mencuri karena tidak ada uang, sedangkan ia ingin sekali punya televisi. Ia mencuri televisi bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tapi juga untuk para tetangganya agar bisa menonton bareng semisal nonton bola, nonton berita, bahkan nonton sinetron.

Mencuri dan peduli sesama yang diperankan oleh Hayati merupakan citra perjuangan kaum feminisme. Sederhananya, perempuan juga bisa mencuri televisi, perempuan juga punya rasa simpati. Sisi lain perjuangan feminisme pada sosok Hayati tampak dalam kelihaian dan kepintarannya menyusun kalimat saat diinterogasi. Tentu saja hal itu tidak lazim didapati pada pemulung secara umum. Namun, itulah Hayati. Sosok ini hendak mengatakan bahwa perempuan berhak memiliki pengetahuan umum, politik, bahkan untuk membalikkan logika berpikir lelaki (polisi), meskipun secara sosial hidup di bawah garis kemiskinan. Walhasil, polisi “ling-lung” dibuat Hayati.

Realis dan Realita

Sebagai cerita yang mengangkat realita sosial, Ling-lung menyatir realisme sekeliling kita. Kehidupan ekonomi, politik, sosial dalam dunia nyata berhasil diangkat ke atas panggung menjadi kenyataan fiksional. Tentu saja diperlukan kepekaan teater, di samping kreativitas penalaran terhadap naskah, dalam mempertunjukan cerita realis murni di atas pangung. Teater Nol mengambil tantangan itu dengan sedikit memasukkan pengertian teater saat membuka cerita. Hal itu dilakukan oleh sejumlah tokoh dalam adegan latihan teater.

Harus diakui, Teater Nol lumayan berhasil memindakuasai realisme sosial ke atas realisme panggung. Semua properti, setting panggung, akting, dan dialog ditata realis, bukan sekadar pajangan. Koran tua, kain lusuh, botol bekas, semua dihadirkan apa adanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun