Oleh Herman RN
Selain itu, harus diakui bahwa teater telah menjadi komponen terlengkap pada sebuah seni dan kreativitas. Dalam sebuah pementasan teater terdapat seni gerak (tari), seni suara (vokal), seni rupa (rias), seni kostum (busana), dan seni sukma (jiwa). Artinya, hasil cipta kesenian yang komplit terdapat pada seni pertunjukkan atau teater.
Sekadar napak tilas sejarah, teater mulanya lebih populer dengan sebutan “drama” yang berasal dari bahasa Yunani draomai (Harymawan, 1993:1). Maksudnya adalah ‘berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sejenis itu. Berawal pada upacara-upacara penghormatan pada para dewa kemudian drama menjadi konvensional yang lebih luas sebagai sebuah pertunjukkan sehingga digolongkan ke dalam salah satu cabang seni. Dari sini pula ditegaskan bahwa drama juga berawal dari sebuah kebudayaan masa lampau sehingga masuknya drama atau teater ke dalam cabang seni semakin berterima.
Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa “drama” dan “teater” itu berbeda. Tatkala masih berupa kisah (naskah), ia boleh disebut drama. Namun, ketika sudah dipanggungkan, ada unsur pentas, aktor, ditambah lagi sutradara, ia baru dikatakan teater.
Di Tanah Air, teater konvensional menjadi populer sejak tahun 1920-an—sebelumnya masih berbentuk pemujaan (klasik/tradisi). Dikatakan konvensional, dapat dipertunjukkan.
Masuk Kampus
Tulisan ini dibatasi pada teater masuk kampus di Aceh, lebih sepesifik lagi, kampus-kampus di Banda Aceh. Diakui atau tidak, masuknya teater ke kampus bermula juga pada masuknya “drama” sebagai salah satu kajian di lembaga pendidikan. Kendati mulanya drama hanya dimasukkan menjadi singgungan kecil pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, pada tingkat kampus, sudah ada mata kuliah tersendiri yang membahas masalah ini.
Di kampus-kampus yang sudah memiliki fakultas sastra, mata kuliah drama tentunya menjadi disiplin besar yang melahirkan berbagai cabang. Akan tetapi, pada beberapa kampus yang kajian sastranya masih numpang pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), mata kuliah drama ‘dititipkan’ dalam Program Studi (Prodi) atau Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (dan Daerah).
Oleh karena itu, lahirnya sanggar-sanggar yang mengelola teater di sekolah maupun kampus tidak dapat dinegasikan sebagai bagian suksesnya pembelajaran drama di sekolah atau kampus tersebut. Boleh jadi, kehadiran sanggar-sanggar sastra/seni itu digawangi beberapa orang (siswa/mahasiswa) yang aktif di sanggar luar kampus/sekolah, kemudian membawanya ke sanggar kampus/sekolah mereka.
Hal ini seperti di Banda Aceh. Masuknya seni teater ke sanggar-sanggar kampus di Universitas Jantông Haté rakyat Aceh—Unsyiah dan IAIN—tidak terlepas dari aktivitas mahasiswa di kedua perhuruan tinggi tersebut di luar kampus mereka.
Sebut saja, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Nol di Universitas Syiah Kuala. UKM Teater Nol mesti diakui sebagai pelopor teater kampus di Aceh, karena merekalah yang pertama sekali berani memunculkan nama sebagai teater kampus di Aceh. Sebenarnya ada kelompok teater sebelum Teater Nol, tetapi tidak produktif bahkan sudah mati.
UKM Teater Nol mulai muncul sejak awal-awal 1990-an. Namun, baru memperolah SK Rektor Unsyiah pada tahun 1995. Sejak itu, mereka terus aktif dan produktif mengkampanyekan gerakan teater kampus. Karenanya, mereka layak dianggap sebagai pelopor teater kampus untuk Aceh.
Sebelumnya, di FKIP Unsyiah ada sanggar teater “Cempala Karya” binaan Sulaiman Juned. Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, Sumatera Barat, ini mendirikan sanggar Cempala Karya pada tahun 1987, yang didalamnya terdapat cabang seni teater. Mereka sempat eksis hingga awal tahun ’90-an, tetapi hilang seiring ‘hilangnya’ Juned dari Unsyiah. Juned ketika itu meneruskan studinya ke Padangpanjang. Bersambung….