Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Aceh, PKA, dan UU Hamidy

26 Mei 2010   16:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:57 126 0
Kalau ada yang menulis tentang Aceh hingga lebih 50 buah buku, ia adalah UU Hamidy. Lelaki itu lahir Rantau Kuantan, Riau, 17 November 1943. Kendati bukan kelahiran Aceh, ia tahu benar seluk beluk Aceh, terutama bidang sastranya dan terkhusus lagi tentang hikayat-hikayat Aceh. Karena itu, tak salah jika salah seorang ulama sekaligus sastrawan Aceh, Prof. Ali Hasjmy, menggelari Hamidy sebagai "Orang Aceh yang lahir di Pekanbaru. Menariknya lagi, Hamidy mengawali tulisannya dengan Aceh dan tulisan terakhirnya pun tentang Aceh.

"Bung, saya ini sudah sangat tua, sudah uzur," kata lelaki tua itu, saat kutanyakan apakah ia akan hadir ke Aceh dalam rangka perhelatan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-5, karena saya tahu ia seorang sastrawan berpengaruh di dunia Melayu.

"Pertanyaan Bung mengingatkan saya kembali pada masa-masa saya di Aceh, saat saya meneliti hikayat-hikayat Aceh," ujarnya. "Rindu dan keinginan untuk dapat menginjakkan kaki kembali ke daerah bernama Aceh itu pasti ada, Bung," tambahnya.

Hamidy pun mulai berkisah tentang kehidupanya selama di Aceh. "Tahukah Bung," katanya. "Acehlah yang membuat saya mampu melahirkan banyak buku tentang Melayu secara luas. Tak dapat saya pungkiri, dari 60 buah buku yang sudah saya tulis, 50 di antaranya adalah tentang Aceh. Saya sangat terinspirasi dengan hikayat Aceh, Bung. Setelah skripsi saya yang saya gubah menjadi sebuah buku sederhana, saya mulai menulis tentang Aceh. Tulisan pertama saya tentang Anzib Lamnyong, pengumpul hikayat Aceh. Dari situ kemudian lahirlah tulisan-tulisan saya yang lainnya."

Lelaki itu lalu terdiam sesaat. Ia menarik napas sambil meluruskan kakinya. "Saya tidak tahu apakah saya masih dapat menulis. Tulisan saya terakhir, juga tentang Aceh, Bung. Judulnya, Tipologi Orang Aceh dalam Hikayat. Tulisan ini berbentuk artikel pendek yang sudah dimuat di Serambi Indonesia setahun lalu. Mungkin, itu memang tulisan terakhir saya. Maklum, tangan dan pikiran saya sudah sangat lemah saat ini. Sudah setahun saya berhenti menulis."

Selanjutnya, ia mulai berkisah tentang beberapa tokoh Aceh yang ditemuinya saat tinggal di Aceh. Pak Anzib Lamnyong si pengumpul hikayat itu adalah sumber kelahiran pertama kajian saya. Oya, Bung di mana tinggal? Waktu di Aceh, saya bermukim di Darussalam. Saya dengar daerah itu selamat dari tsunami. Alhamdulillah. Di sana, saya bergaul dengan saudara seiman bagai saudara kandung sendiri. Saya jadi ingat wajah Talsya, Syekh Rih, Pak Ali Hasjmy, dan banyak lagi. Orang-orang Aceh sangat peramah, Bung, pemurah hatinya. Saat saya sudah kembali ke Pekanbaru, saya masih dipercayakan menjadi pembantu khusus untuk majalah Sinar Darussalam, hingga majalah itu berhenti terbit. Itu makanya, saya merasa memang sudah seperti orang Aceh.

Terkadang memang lucu mengingat itu semua. Saya terharu dibuatnya. Tahukah Bung, waktu saya meneliti dan tinggal di Aceh, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, melalui Gubernur Muzakkir Walad dan Rektor Unsyiah kala itu, Ibrahim Hasan, menawarkan kepada saya agar saya menjadi tenaga pengajar di Unsyiah. Kata mereka: "Silahkan pindah dari Pekanbaru ke Darussalam." Pak Hasjmy sendiri, kalau ke Riau, selalu mencari saya. Lalu, kepada masyarakat Aceh, ia memperkenalkan saya sebagai warga Aceh yang lahir di Pekanbaru. Hahahaha...

Kudengar lelaki itu tertawa sangat renyah kemudian batuk beberapa kali. "Apakah Tuan tak berkeinginan lagi untuk ke Aceh. Saya dengar, PKA kali ini dihadiri oleh banyak tokoh, dalam dan luar negeri. Apakah Tuan tak dapat undangan? Apakah Tuan tak ingin berbagi kisah hikayat Tuan kepada masyarakat Aceh sekarang?" tanyaku perlahan.

Hamidy tersenyum. "Bung, hikayat Aceh sudah menjadi darah dalam daging saya. Seperti saya katakan tadi, di usia saya yang sudah sangat tua ini, saya masih punya keinginan untuk menapakkan kaki ke tanah Aceh. Namun, untuk pergi ke Aceh, saya tidak bisa lagi sendiri. Saya mungkin bisa datang kalau diperkenankan membawa pendamping, kalau bukan istri, anak saya barangkali. Apakah itu memungkingkan? Terus terang, aya tidak mau menyibukkan panitia PKA dengan masalah saya yang sudah sangat renta ini.

Aku terdiam mendengar kalimatnya yang terakhir. Hingga terjaga dari mimpi malam itu, aku masih berharap Hamidy dapat ke Aceh, entah mengapa. Aku juga tak menyangka akan dapat bertemu dan berbincang dengan beliau hingga terbawa ke alam mimpi seperti ini. Padahal, siang itu, aku hanya membaca beberapa suratnya yang ditulis dengan mesin tik manual. Surat itu kutemukan di sebuah rumah pengumpul hikayat Aceh sekarang, TA. Sakti. Kebetulan Sakti memperlihatkan foto Hamidy sejenak kepadaku. Karena itu mungkin, wajah Hamidy terbawa dalam mimpiku imajinerku.

Namun, kali ini bukan mimpi. Kabar yang kuharapkan akhirnya terjawab pada Minggu (2 Agustus) kemarin. Sebuah pesan singkat (SMS) masuk ke ponselku. "Panitia PKA sudah telepon Ayah. Mereka setuju ayah berangkat dengan ibu. Insya Allah mereka akan hadir ke Aceh Sabtu, 8 Agustus." Itu adalah SMS dari Purni, salah seorang anak UU Hamidy.

Tiba-tiba saja aku melonjak riang. Meski terlambat dari jadwal pembukaan PKA V, kehadiran Hamidy tetaplah dibutuhkan dalam perkembangkan sastra Aceh, terutama bidang hikayat saat ini. Hamidy adalah salah satu sosok pelopor memperkenalkan Aceh kepada dunia Melayu secara luas, tentu saja tanpa menafikan Hamzah Fansyuri dengan syair perahunya. Masalah kehadiran terlambat beberapa hari, saya kira bukan persoalan. Presiden saja datang terlambat dari jadwal pembukaan PKA V yang seharusnya. Maka tak salah, jika beberapa sastrawan pun nanti ada yang datang terlambat. Lucu memang, "kenduri" sudah dimulai, hidangan sudah dicicipi, baru presiden datang mengucapkan salam. Tapi sudahlah, anggap saja ini bagian dari serba-serbi PKA V yang memang sudah kelihatan ‘hangat' dibincangkan sejak tiga bulan lalu. Selamat ber-PKA, selamat datang Bapak Melayu UU Hamidy, rindumu adalah rindu kami.

Herman RN, alumni Gemasastrin FKIP Unsyiah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun