Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Uniknya Emosiku Diuji…

12 Januari 2010   06:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:30 177 0
Setelah bersukur pada Ilahi atas diterimanya judul tesisku oleh dosen penguji tadi pagi, kuayunkan kaki menuju sebuah kampung kecilku, KM 33 di perbatasan Bireuen-Takengon. Mulanya, tujuanku adalah kota mungil Bireuen. Menumpang jasa L.300 di Simpang Surabaya, aku tiba di Kota Juang menjelang isya-beranjak dari Kota Kutaraja tepat saat jarum jam menunjukkan angka tiga.

Selepas menikmati sate Bireuen sebagai lahapan malam dengan harga dua kali lipat dari yang pernah kudapat di Kota Banda, aku ke loket L.300 (tak perlu kusebut apa nama loketnya agar tak dinilai promosi). Sudah menjadi kebiasaan, agen sewa L.300 mulai menarik-narik tas ransel Elginiku begitu melihat aku menuju terminal. "Takengon, Pak," ucapnya.

"Tak sampai Takengon, hanya di 33," balasku.

Sahdan, harga tiket sudah dil antara aku dan agen. Kuperoleh selembar kertas dengan nomor bangku tepat di belakang supir. "Setengah jam lagi kita berangkat," kata agen itu menjawab pertanyaanku tentang keberangkatan.

Tiga puluh menit berlalu, kudatangi agen L.300 yang memberiku tiket. "Kok belum berangkat, Bang?"

"Kita tunggu sewa dua orang lagi ya," katanya.

Aku menunggu lagi hingga lima belas menit selanjutnya agen itu kutegur kembali. "Belum ada sewa, Pak. Sabar dulu ya," ujarnya pula.

"Kalau tak ada sewa sampai tengah malam nanti, apa kita tak jadi berangkat?" ketusku lima belas menit berikutnya. Jam saat itu sudah menunjuk angka sembilan.

"Ya, ini mau berangkat," jawab agen tersebut sembari menambahkan "Saya telpon supirnya sekarang." Agen itu pun lalu meninggalkanku sendiri dalam kepulan asap rokok dari kiri kanan milik penjaja tiket lainnya di kawasan terminal Bireuen.

Kulirik jam di dinding loket itu. Kuniatkan dalam hati akan menegur si agen jika sepuluh menit berikutnya mobil belum juga berangkat. Dugaanku tak meleset. Sepuluh menit berlalu, aku dan tiga sewa lainnya masih ‘ditelantarkan'.

"Bang, saya memang turun di KM 33, tapi saya harus masuk ke dalam lagi berjalan kaki. Ini sudah sangat larut. Jadi berangkat tidak?" celetukku dengan suara mulai meninggi. Dua lelaki lebih muda dariku yang juga sewa dengan mobil yang sama mulai mendukungku sekedar mengucapkan kata "Iya, benar."

"Supirnya belum datang," kata agen.

"Tolonglah Bang. Tadi Abang bilang sudah telpon Bang Supir. Sudah lebih satu jam kami menunggu," sanggahku.

"Sabar, Pak. Kalau tidak ada sewa bagaimana mungkin kami berangkat. Untuk minyak saja tidak cukup," kata agen itu mulai kesal juga.

"Ok, Bang. Kutunggu sepuluh menit lagi. Kalau tahu begini, aku naik mobil lain saja tadi," ketusku sembari membelakanginya. Kupasang wajah suntuk.

Agar tak dibilang terlalu egois dan tidak dinilai ingkar janji, lima belas menit kemudian, kudatangi kembali agen itu dan menegurnya. "Bang, Abang ngerti kan maksudku tadi?"

Hanya itu yang kukatakan padanya. Teman agen itu ternyata kecewa mendengar kata-kataku. "Bapak mau dikembalikan ongkosnya?" katanya.

"Dengan senang hati. Masih ada mobil lain," sengitku tak mau kalah.

Aku tak mau dikurangi nominalnya. Kuminta kembali sebesar yang sudah kubayar. Agen itu pun dengan kesal terpaksa mengembalikan uangku. (sadis aku ya? Hehehe....)

Setelah menerima uangku kembali, aku jalan kaki menuju simpang lampu empat merah Kota Bireuen. Berdiri sesaat di sana dan sadar tidak ada mobil yang lewat, aku kembali jalan kaki ke arah Takengon. Tepat di depan Mesjid Agung Bireuen, aku kembali berdiri, menanti tumpangan L.300.

Sesaat kemudian memang ada L.300 lewat, tapi tak kustop. Kupikir, ‘jangan-jangan ini L.300 milik orang yang sudah bertengkar dengan aku tadi'. Maka kubiarkan mobil itu lewat. Aku menyesal, ternyata itu bukan L.300 tadi. "Ah...sial..." gerutuku.

Sekitar tujuh menit kemudian, sebuah L.300 lewat lagi. Niat di hati akan menstop mobil ini. Namun, setelah dekat denganku, ‘ah, dari bunyinya mobil ini L.300 yang bertengkar dengan aku tadi,' begitu batinku. L.300 ini pun melaju dengan bebas dan aku lagi-lagi menyesal karena itu sama sekali bukan L.300 yang tadi.

Kali ini aku mulai pasang niat akan menstop L.300 yang lewat berikutnya. Setelah berdoa dalam hati, sebuah L.300 yang kuharapkan memang melintas. Ini L.300 yang ketiga. Aku tak mau menyesal seperti pada dua L.300 sebelumnya. Kustop mobil ketiga ini. Mobil pun berhenti sedikit ke depan dari tempatku berdiri. Ketika itulah aku menyadari bahwa L.300 yang berhenti ini adalah L.300 yang tadinya sempat kubatalkan tiketnya. (waduh.... hancur...salah stop mobil.)

Cepat-cepat kubuka topi dan jaketku agar Bang Supir tak tanda diriku. "Takengon, Bang?" katanya sembari membuka pintu paling belakang.

Aku tak menyahut, khawatir dia tanda suaraku. Langsung saja kuambil posisi paling belakang. ‘Walaupun hanya memperoleh bangku tempel, lumayan daripada tak dapat mobil lagi, kan sudah larut,' batinku sembari menertawakan diri sendiri. Pasalnya, mobil yang tadi sudah ‘kucap' takkan kunaiki ternyata malah kunikmati jasanya. hehehehe.....

Sambil menikmati hembusan dingin bayu malam yang menggelitik kudukku dari celah jendela mobil yang terbuka setengah, aku berbicara pada diri sendiri. "Tuhan, apakah pada uang di tanganku ini sudah tertulis bahwa pemilik berikutnya adalah supir L.300 ini sehingga ke mana pun aku pergi, uang ini tetap akan jatuh ke tangan supir itu?"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun