Inilah kesedihan terdalam saya sebagai anak Aceh tatkala mendengar berita penembakan rumah yang ditempati Michelle Ahmad dan Sarah Willis di komplek perumahan dosen Unsyiah, Sektor Timur Darussalam. Saya tahu keduanya berkebangsaan Amerika, tetapi yang saya tidak pernah tahu adalah apakah anak-anak di negeri ini (baca: Aceh) dilarang menuntut ilmu kepada orang asing? Atau sebaliknya, apakah karena seseorang itu bukan berdarah Aceh, dilarang menyumbangkan ilmunya di Aceh? Jika asalannya perbedaan keyakinan, lantas apakah Islam melarang penganutnya menuntut ilmu kepada yang nonmuslim? Saya sebut demikian karena dugaan saya yang masih awam ini, rumah yang ditempati Michelle dan Sarah ditembaki atas prasangka tersebut. Seolah-olah keduanya hidup di Aceh sebagai pekerja kemanusian (NGO) seperti yang disebut Aryos Nivada dalam artikelnya (Serambi, 25 November) kemarin.
Bukan hendak membantah, sepengetahuan saya, kedua perempuan Amerika itu datang ke Aceh atas kontrak dari Unsyiah, terutama Pusat Bahasa Unsyiah untuk mendidik anak Aceh, bukan atasnama NGO tertentu. Kata ‘mendidik’ seyogianya dipahami agar generasi Aceh pintar, tidak dibodohi-bodohi kelak. Namun, yang terjadi oleh sejumlah orang-semoga bukan orang Aceh-malah menakut-nakuti perempuan Amerika itu dengan menembaki kediaman mereka. Hal ini sama saja menyatakan guru dilarang hidup di Aceh dan sama tegasnya dengan ungkapan “Aneuk Aceh dilarang pintar”. Sejatinya, prasangka buruk (negative tingking) sudah saatnya dihilangkan dari benak kita. Hadih maja Aceh saja mengungkapkan jak beuto kalon beudeuh. Semestinya lihat dan cermati dengan saksama siapa yang akan ditakuti-takuti tersebut, baru berbuat. Jangan sekedar membuat orang takut agar mereka kembali ke negerinya lalu kita akan memetik penyesalan kemudian.
Guru, di mana pun ia berada, sejatinya dilindungi, dihormati, bukan ditakut-takuti, meskipun ia berlainan kebangsaan dengan kita atau bahkan beda keyakinan-selama ia menjadi guru pendidikan, bukan guru keyakinan. Adapun Michelle, saya amati demikian. Ia hanya mengajarkan pendidikan bahasa Inggris, bukan pendidikan keyakinan (baca: agama). Ia sengaja mengambil tempat tinggal di Sektim Darussalam (ini pun atas saran dari pihak Unsyiah) di komplek perumahan dosen agar mendapat situasi yang aman, nyaman, dan tenteram. Sebagai seorang guru, ia membutuhkan situasi tersebut karena malamnya mesti berkutat dengan sejumlah diktat untuk mahasiswanya esok hari. Kalaupun menemukan ia sesekali di warung kopi Stui atau Geuceue, itu karena ia juga manusia normal yang membutuhkan udara luar, teman, dan masakan sekitar. Amatan saya, ia ke kampus jalan kaki, tidak memakai mobil mewah atau mobil NGO. Hal ini semakin menguatkan alasan mengapa ia memilih tinggal di Sektim, yakni demi tercapai jarak ke kampus dengan berjalan kaki.
Saya pernah bertanya langsung kepada Michelle pascakejadian penembakan. “Mungkin kamu dan Sarah sering pulang larut malam? Ini tidak baik dalam kultur Aceh bersesab kamu perempuan sehingga ada yang mencoba memberimu teguran dengan suara senjata.” Jawabannya, paling larut ia sampai ke rumah pukul 11.00 malam, itu pun sesekali, kalau bertemu dengan kawannya di luar. Jika tidak, lazimnya ia pulang ke kediamannya itu pukul 20.00 WIB, selepas makan malam. Lantas, apakah ini dianggap mengganggu keberlangsungan perdamaian di Aceh? Dulu dan sekarang
Berkaca pada lembaran sejarah, dulunya orang-orang belajar pada kita, pada Indonesia, pada Aceh. Malaysia mengirimkan pelajar-pelajarnya ke Indonesia. Sekarang mereka telah memetik hasilnya. Orang-orang Thailan dididik mengenai pertanian dan peternakan di Institut Pertanian Bogor (ITB), tetapi sekarang malah kita membeli hasilnya dari mereka, misalkan saja ayam bangkok, pohon-pohon dari Bankok, dll. Dalam skup yang lebih kecil, yakni Aceh, dulu orang-orang Medan belajar bertani di sini. Mereka membeli rempah-rempah di Aceh. Namun, sekarang kita kesulitan jika bawang medan, telur ayam medan, dan sejenisnya tidak sampai ke Aceh. Inilah beda kita dulu dan sekarang, terlalu cepat merasa kaya dan tidak membutuhkan orang lain. Padahal, kekayaan tanpa sumberdaya manusia yang beradab untuk mengelolanya, sama saja bohong. Jadi, kita tetap membutuhkan investor menanamkan modalnya di negeri ini, karena kita tidak memiliki SDM memadai.
Demikian guru, kita tetap membutuhkan guru dari luar karena tidak semua guru-guru kita paham segala hal, sedangkan kita dituntut tahu semua hal. Negeri Paman Sam pun, tempat asal Michelle dan Sarah, hingga saat ini masih memanfaatkan kelebihan Indonesia. Awal tahun lalu, Amerika belajar tentang dangdut agar permusikan mereka bisa masuk ke Indonesia, termasuk Aceh yang sebagian artisnya ‘gila dangdut’. Maka Amerika mengundang Rhoma Irama, si raja dangdut ke negerinya. Selanjutnya, saat ini salah seorang kritikus sastra Indonesia, Maman S. Mahayana, diminta mengajarkan sastra Indonesia (Melayu) ke Korea. Dari Aceh sendiri, Azhari (cerpenis Aceh) sering dikontrak sampai berbulan-bulan oleh Belanda, Prancis, Swiss, untuk mengajarkan sekitar sastra Aceh di luar negeri. Mereka, orang-orang kita yang menjadi guru di negeri orang itu mendapatkan pelayanan terhormat karena mereka adalah guru. Namun, belum sampai dua tahun dua guru Amerika dikontrak Unsyiah, malah ditembaki dengan tujuan ditakut-takuti.
Sungguh, tipologi manok agam puteh masih kental pada masyarakat kita. Selalu berpikir bagaimana memunculkan diri sendiri, tetapi melupakan yang lain di sekitarnya. Padahal, jika alasan keyakinan yang membuat kediaman Michelle ditembak, untuk diketahui, gadis itu keturunan muslim juga. Ayahnya asli Pakistan. Hemat saya, kalaupun ia beda agama, belajar tentang pengetahuan padanya adalah lumrah. Harapan kita tentunya anak Aceh tidak dilarang untuk pintar.
Penulis, peminat pendidikan dan pernah belajar pada Michelle Ahmad di Unsyiah.