"Hi… good morning,” sapa perempuan yang kutaksir setinggi 168 sentimeter itu, kemarin (24 November). Ia memasuki ruang “belt” untuk pelatihan bahasa Inggris secara intensif di Pusat Bahasa Universitas Syiah Kuala. Sebelumnya, di serambi gedung Pusat Bahasa tersebut, kami sempat bertegur sapa juga sekadar ‘say hello’. Ia memang bekerja di lembaga tersebut sejak dua tahun terakhir bersama seorang teman kebangsaan Amerika Serikat, Sarah Willis. Perempuan yang kumaksud ini juga berasal dari Negeri Paman Sam. Seperti biasa, setiap kali tatap muka di kelas, ia selalu menawarkan senyum mungilnya terlebih dahulu sebelum membuka suara. Aku dan enam temanku dari berbagai jurusan dan fakultas menjawab salam darinya seperti yang sudah-sudah pula, yakni sambil tertawa riang. Hanya saja keriangan kami kemarin tidak seperti hari-hari sebelumnya. Hari itu, seolah ada tirai pada senyum yang kami paksa lepas. Lama kutatap perempuan berkulit putih dan hidung mancung sekira 15 mili itu. Kuamati wajahnya sedikit pucat. Kali ini pun tidak seperti biasanya, teman-temanku dalam ruangan itu, dosen dan sebagian besar adalah asisten dosen di Unsyiah, itu menyodorkan pertanyaan kepada si perempuan. “Bagaimana keadaanmu, Michelle?” kata salah seorang dari kami dengan bahasa Inggris, yang ditimpali rasa ingin tahu dari teman-teman lainnya. Hari-hari pertemuan sebelumnya, perempuan yang disapa Michelle itu lebih banyak bertanya tentang keadaan kami, tentang ‘home work’ yang diberikannya, tentang tidur kami semalam, dan sebagainya. Kali ini, kami yang bertanya semua itu padanya hingga ia pun bercerita. Dalam berkisahnya, sesekali sempat kulihat matanya berkaca-kaca. Kupahami itu sebagai kesedihan apalagi ia seorang perempuan yang masih belia. “Saat rumah kami ditembaki oleh orang yang kami tidak kenal, kami masih tidur,” tutur Michelle menggunakan bahasa Inggris logat Amerika. Ia pun memulai kisah penembakan rumahnya. Michelle mengaku sangat terkejut saat mendengar dinding rumahnya dihujani peluru hingga beberapa kali. Bahkan, katanya, Sarah (teman Michelle) nyaris histeris di tempat tidur. Michelle menyatakan sebenarnya rumah yang mereka tempati itu adalah saran dari pihak Unsyiah. Bahkan, sudah dua tahun mereka tinggal di sana sehingga ia tidak menyangka kemarin subuh, Senin (23 November) akan terjadi sesuatu yang sangat mengagetkannya. Makanya ia mengaku heran, sebenarnya yang diiginkan ‘penembak’ tersebut menembaki rumah itu, dirinya, atau Sarah. “Tembakan itu ada enam kali, bukan tiga seperti yang diberitakan koran ini,” katanya, sembari menunjuk sebuah harian terbitan Banda Aceh. Michelle juga mengaku tidak tiarap walaupun nyaris semua media, cetak dan online, menyatakan dirinya dan Sarah tiarap saat mendengar suara tembakan. “Saya tetap di tempat tidur, Sarah juga. Saya menelungkupkan kepala saya di bantal,” ujar Michelle. Saat ditanya apakah ia sempat mengenali pelaku penembakan tersebut, Michelle menjawab, “Sama sekali tidak, saya hanya mendengar deru sepeda motor setelah suara tembakan berhenti.” Sarjana lulusan Prancis itu berpendapat bahwa yang menembaki rumahnya adalah orang yang tidak kenal pada dirinya dan Sarah seperti mereka yang juga tidak pernah mengenal si penembak. “Saya hanya heran, apa maksud mereka menembaki rumah kami. Apakah sasarannya rumah yang kami tempati itu atau memang diri kami langsung. Pasalnya, saya merasa tidak punya musuh. Apalagi di Aceh, masyarakatnya baik dan ramah-ramah,” papar Michelle sembari menambahkan, “I love Aceh!” “Mungkin kamu pernah punya masalah dengan seseorang?” celetuk Sirri, asisten dosen pada Jurusan Kimia FKIP Unsyiah, yang juga salah seorang peserta pelatihan bahasa Inggris di ruangan tersebut. Sirri berkata seperti itu sambil bercanda, berusaha membuat Michelle tersenyum. “Ya, saya punya masalah dengan kamu semua di ruangan ini karena kalian lambat sekali lancar bahasa Inggrisnya, hahaha…” balas Michelle tak mau kalah candanya. Kami pun kembali tertawa. Namun, keriangan itu hanya sesaat. Tiba-tiba seorang teman lainnya berujar, “Mungkin karena kamu orang asing.” Mimik wajah Michelle berubah seketika. “Apakah orang asing tidak boleh ke Aceh?” tanya Michelle dengan suara serak. Aku dan teman-temanku hanya diam. Ia lalu melanjutkan, “Saya memang bulek (orang asing), tapi di Aceh saya sebagai guru, bukan pekerja NGO!” tegasnya, yang menduga si penembak mengira dirinya orang asing yang bekerja sebagai NGO makanya jadi sasaran tembak. Tatkala ditanya tentang orangtuanya, Michelle juga berkisah bahwa ayahnya seorang muslim, asli Pakistan. “Ayah saya Pakistan, ibu saya yang Amerika. Saya di Aceh ini atas kontrak langsung dari pihak Unsyiah untuk mengajar anak-anak Aceh dan saya menyukai alam Aceh,” tuturnya lagi. Saat itu kuamati matanya kembali mulai berkaca-kaca. “Pagi saya ke Unsyiah, mengajar. Kalau tiba waktu pulang, saya langsung pulang ke rumah dengan Sarah. Sesekali memang kami keluar bersama teman. Kadang-kadang ngopi bareng di Stui, atau nonton ke rumah teman saya di Geuceue. Sama sekali saya tidak pernah merasa punya musuh atau mengganggu orang lain. Saya tidak tahu apakah kejadian ini sebagai tanda kami tidak boleh lagi tinggal di sini (Aceh),” paparnya sedih. Menyadari Michelle mulai miris, seorang teman, dosen Fakultas Hukum Unsyiah, Ansari, seketika menyahut dengan bahasa Inggrisnya yang sedikit patah-patah. “Michelle tak perlu khawatir. Itu hanya pekerjaan orang tak tahu apa-apa. Kami bersama kamu, bukan di belakangmu,” katanya memberi semangat. Peserta lainnya pun mengangguk. “Yes, we are with you, not behind you.” “Michelle, kamu masih tetap mengajar kami kan?” tambahku spontan. “Kontrak saya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Namun, kemungkinan saya akan menetap di sini untuk beberapa waktu lagi. Saya cinta Aceh dan orang-orangnya. Apa kamu punya usul?” katanya balik bertanya. Beberapa peserta pelatihan mengusulkan agar Michelle pindah rumah sementara waktu hingga keadaan benar-benar diyakini kondusif. Namun, Michelle hanya diam. Tanpa terasa waktu hari itu yang seyogianya belajar bahasa Inggris intensif bersama Michelle Ahmad, kami habiskan dengan cerita-cerita sekitar penembakan usai subuh Senin kemarin. Seperti diberitakan media, rumah yang didiami Michelle Ahmad dan Sarah Willis di komplek perumahan dosen Unysiah, Sektor Timur Darussalam, dihujani peluru, saat embun masih menetes di pucuk-pucuk daun. Kedua wanita yang mendiami rumah tersebut berasal dari Amerika Serikat. Mereka adalah dosen yang dikontrak oleh Unsyiah untuk mengajar di Pusat Bahasa perguruan tinggi jantong hate rakyat Aceh itu agar anak-anak Aceh menjadi lebih pintar. Akan tetapi, masih ada oknum yang melarang anak Aceh pintar. Makanya oknum itu menggertak para dosen tersebut dengan hujanan peluru. Michelle sendiri masih menyatakan komit akan tetap mengajar di Unsyiah hingga masa kontraknya habis. Dari nada bicaranya, terlihat bahwa ia pasrah jika harus mati karena membagi ilmu kepada anak-anak Aceh. Kendati ia sempat merasa sock dengan kejadian kemarin, Michelle tetap bertekad agar anak-anak Aceh, terutama yang diajarkannya, menjadi pintar bahkan semakin pintar. “Saya ingin kalian pintar dan lancar bahasa Inggris agar dapat melanjutkan pendidikan ke luar negeri dan hasilnya dapat kalian berikan kepada daerah kalian masing-masing,” tuturnya berkharisma. “I really want to you can master the English language spoken and written fluently.” Kalimat itu ia ucapkan sembari menatap mata kami satu per satu sebelum mengakhiri kelas pada Selasa (24 November) kemarin. Ia berujar begitu karena merasa dirinya guru, walaupun orang asing. “I was a foreghners, but I am teacher,” tegasnya.[oleh Herman RN, Mahasiswa Pascasarjana Unsyiah]
KEMBALI KE ARTIKEL