Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

“Koq Lulusan SD Ngajar SD?”

15 Juni 2010   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:31 217 0
Perguruan Tinggi di Indonesia memproduksi Sarjana sekira …..orang per tahunnya. Negara Jepang kalah telak,jumlah produksi sarjananya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan produksi sarjana di Indonesia (datanya cari sendiri yah…). Bangganya diriku jadi orang Indonesia,bisa mengalahkan Negara Jepang di dua pertandingan bergengsi “Badminton dan Produksi Sarjana”

Sungguh sebuah industri yang mengagumkan, memproduksi sarjana dengan jumlah yang fantastis tanpa kenal lelah dan pantang menyerah. Sebuah peradaban baru yang positif. Perguruan Tinggi layaknya jamur di musim penghujan. Di tiap sudut kota dan pedesaan, dibangun pabrik penghasil sarjana, dengan iklan yang menjanjikan “lulusan perguruan tinggi kamisiap kerja dan siap membuka lapangan kerja”.

Suatu cita-cita yang luhur “peduli terhadap pendidikan masyarakat”,membuat masyarakat Indonesia setara dengan negara lain. Tapi betulkah kita akan setara dengan negara lain, bila produk yang dihasilkan hanya mengedepankan kuantitas dan bukan kualitas? Betulkah percepatan produksi sarjana terjadi secara alamiah, karena mahasiswanya pinter dan Perguruan Tingginya professional?

Percepatan produksi sarjana, pada awalnya dianggap sebagai buah keberhasilan mahasiswa yang rajin dan Perguruan Tinggi yang professional. Tapi realitas yang terjadi , percepatan produksi sarjana malah berdampak padarendahnya kualitas produk yang dihasilkan. Bagaimana mungkin, produk yang bagus dihasilkan oleh mesin bolot atau mesin uji coba? Apa yang terjadi jika Insinyur ngajar calon Insinyur? S1 ngajar calon S1? Itu sama dengan lulusan SD mengajar siswa SD? Realitas mang, porsi asisten ngajar, lebih banyak dibandingkan dengan porsi ngajarnya S2,S3 atau Sang Professor.

Tidak sedikit pasar lapangan kerja yang miris tentang sdm yang dihasilkan oleh pabrik Perguruan Tinggi. Sarjana yang mereka hasilkan sama sekali tidak siap pakai. Disiplin yang kurang, nalar yang dangkal, analisa yang mentah dan kemampuan aplikasi yang memilukan, membuat pasar lapangan kerja berpikir ulang membeli produk Perguruan Tinggi.

Produksi Sarjana masih mengedepankan symbol,slogan dan ceremony yang tak jelas. Wisuda dan Toganya, IPK dan SKSnya, KKN dan Jasnya masih menjadi kebanggaan yang salah kaprah.

Padahal drama teatrikal pun kerap disuguhi para mahasiswa kritis, tentang “tambahnya jumlah pengangguran baru di negeri ini”, bentangan spanduk “Selamat Datang Pengangguran Baru”, saat wisuda dilaksanakan, tak mengusik haru biru, keceriaan, dan isak tangis wisudawan/ti.Spanduk dan aksi teatrikal tidak dimaknai sebagai warning! Mereka terlalu terbawa suasana keceriaan dan tertutupi make up norak nan ngejreng.

Senangnya berkumpul dengan ema, abah, nenek ,kakek, paman, bibi, keponakan dan kerabat dekat yang jauh2 datang dari pelosok, untuk turut menyaksikan sang kebanggaan keluarga berhasil menjadi sarjana, membuat mereka lupa diri. Dinina bobokan oleh gelar yang akan diraihnya.

Tak punya waktu untuk mendengarkan paparan profesornya, tentang siapa yang mendapat gelar summa cum laude, cum laude dan summa lumayan. Mereka sibuk menjadwal ulang acara, karena setelah acara wisuda, mereka akan berfoto ria di “Studio Foto”. Tak penting uang keluar banyak, tak masalah antrean panjang dan make up luntur,yang ada di benak mereka hanya sebuah slogan umum,“tak afdhol bila diwisuda tapi nggak berfoto

Dengan back round buku tebal yang berjajar dalam sebuah lemari besar, mereka berfose bak foto Prof. Habibie di ruangan kerjanya. Foto nan berharga… melebihi ijazah summa lumayannya. Foto untuk bekal di kampoeng, agar tetangga, kerabat dan sanak family melihat foto sarjana yang terpampang di ruang tamu. Mereka tidak akan pernah bertanya ijazah, mereka tak akan melihat nilai C berderet bagai pulau-pulau yang ada di nusantara , pokok’e sarjana yang difoto keren dan dibelakangnya berjejer buku tebal (tak penting dan jangan tanya, pernahkah mereka nyentuh/megang/ baca buku setebal itu?)

Sekitar tahun 90an berhembus wacana “sarjana tidak harus siap pakai, tapi sarjana cukup memiliki tingkat adaptasi yang tinggi”. Tahun itu mungkin sebuah perang opini yang disiapkan oleh para pemikir di Perguruan Tinggi, karena mereka mungkin sadar dan tahu persis, seperti apa kualitas produk yang akan mereka hasilkan.

Seperti cerita fenomena alam gaib yang menyuguhkan penampakan, lambat laun akan tercampakan karena fenomena yang dipaksakan dan dininabobokan oleh symbol,ketidakaslian, dan ketidak jelasan. Sesuatu yang simbolis akan dibuang, sesuatu yang tidak asli,tidak jelas atau mungkin bohong, akan dilecehkan dan ditertawakan, pada akkhirnya munculah “plesetan” penampakan hantu yang ironis.

Keberhasilan semu yang memilukan akan tersingkir tanpa ampun dan tanpa maaf di dunia nyata. DuniaNyata butuh kontribusi real seorang sarjanaDuniaNyata butuh sarjana siap pakai, bukan sarjana siap beradaptasi…. DuniaNyata butuh sarjana yang punya nalar, bukan sarjana yang sering berkelakar atau sarjana yang saling hajarDuniaNyata tidak butuh toga, foto atau symbol yang tak bermakna

Jepang tidak kalah mang! Mereka merubah paradigma sdm nya, menjadi sdm yang siap pakai, mereka sudah meninggalkan symbol “bushido”, dan mereka sudah meninggalkan slogan “harakiri”. Mereka sedang mewujudkan bushido dan hara-kiri menjadi ruh yang tertanam dalam jiwa bangsanya, bukan hanya sebatas symbol dan kata tak bermakna.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun