Mentari seolah tak mampu merasuk dalam wilayah itu. Awan kelabu terlalu tebal menggantung di atas sana. Tak ada keindahan di Luona. Hanya gelap dan kelabu. Ninda mengernyit heran. Ia tak dapat menahan rasa ingin tahunya.
"Kenapa di sini berbeda?" tanyanya. "Sangat buruk!" Ninda memandang sinis keadaan di sekelilingnya saat ini.
Felix mengulas senyum tipis sebelum menjawab Ninda. "Ini adalah tempat tinggalmu. Di sinilah kau akan tinggal."
Ninda membelalak tak percaya. "Aku akan tinggal di tempat seburuk ini?" pekiknya.
Felix mengangguk, mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke depan. "Itu rumahmu."
Sebuah rumah bertingkat dua berwarna abu-abu. Bentuknya aneh. Bagai batang pohon besar yang terpotong setengah dengan duah buah jendela terlihat dan sebuah pintu berwarna hitam kelam.
"Haruskah aku tinggal di situ?" tanya Ninda masih tak percaya.
"Ya, itu tempat tinggal Daren. Dan sekarang menjadi rumahmu."
Mengetahui kenyataan mengecewakan membuat Ninda lemas. Rumah yang ditunjuk Felix terlihat tidak layak huni menurut Ninda. Tapi ia tidak bisa protes. Ini konsekuensi atas pilihannya.
***
Pagi pertama Ninda di Luona. Tak ada sinar mentari yang menyapanya seperti ketika ia bangun pagi hari di kamarnya. Hanya pekik suara burung mirip suara gagak yang menjadi tanda pagi telah datang.
Ninda mengerjap beberapa kali. Kelopak bawah matanya membengkak dengan garis hitam menyertai. Ia memang tidak bisa tidur dengan baik. Suasana Luona ketika malam sungguh mencekap. Suara-suara binatang aneh berkumandang silih berganti membuat Ninda tak mampu memejamkan mata.
“Tidurmu nyenyak?”
Ninda memutar kepalanya. Seorang pria berdiri di ambang pintu. Senyum khas milik pria itu terlukis. Berbanding terbalik dengan Ninda yang menatapnya muram.
“Apa aku terlihat seperti orang yang tidur dalam waktu delapan jam?” Ninda memberi penekanan diakhir kalimatnya. Pria di ambang pintu terkekeh.
“Ya, cukup buruk sepertinya. Tapi aku yakin beberapa hari lagi tidurmu akan nyenyak…” Pria itu berjalan menghampiri Ninda. Jemari kekarnya menari di bawah pelupuk mata Ninda. “Well, ketika kau sudah dapat beradaptasi tentunya,” lanjut pria itu.
“Tentu, Felix.” Ninda menepis tangan Felix dan berjalan keluar.
^^^
“Apa yang akan kita kerjakan hari ini?” tanya Ninda menengadah memandang Felix yang mengiringi langkah kecilnya.
“Bekerja,” jawab Felix singkat.
Ninda mengernyit heran. “Bagaimana?”
“Akan aku tunjukkan!” Felix meraih tangan Ninda. Ia membimbing gadis itu untuk mengikutinya. Kali ini tidak dengan berjalan. Sayap-sayap di punggung mereka perlu digerakkan sepertinya. Jadi, Felik memutuskan untuk membiarkan benda mirip kelopak bunga itu bergerak-gerak. Tubuh Felix dan Ninda terangkat, melayang di udara.
***
Ninda terpaku ditempat, tercengang dan tak mampu berucap apa pun. Ini mimpi buruk untuknya. Mungkin. "Apa kau serius dengan ini, Felix?" Ninda menoleh pada lelaki berambut coklat tua di sampingnya dan berharap mendapat jawaban ketidakbenaran. Sayangnya, kenyataan berkata lain. Felix mengangguk mengiyakan.
"Inilah tugas peri kehancuran. Saat masa perang dulu peri kehancuran menjadi penjaga bagi Anora. Tapi kini hanya ini yg bisa dilakukan," jelas Felix.
"Haruskah aku menjadi pembunuh?"
"Ya, mereka para Oxeks pantas mendapatkannya. Jika didiamkan mereka yg akan menghabisi kita." Ninda dapat melihat kebencian yang begitu dalam dari nada suara dan tatapan tajam Felix terhadap para makhluk menyeramkan yg berada di dalam ruang beterali besi di depan mereka.
"Lalu bagaimana caranya?"
"Kau punya kekuatan Ninda... karena kini kau adalah peri kehancuran. Kau pasti mampu memusnahkan mereka."
Ninda menghela napas panjang. "Baik akan aku coba."
"Pelan-pelan saja."
Ninda mengangguk mengiyakan. Dan Felix berlalu dari sisinya.
***
Sejauh yang Ninda bisa. Dia sudah berusaha tapi tak satu pun Oxeks yang musnah oleh kekuatannya. Padahal Ninda sudah mencoba seperti yang Felix anjurkan. Frustasi dan kesal dengan diri sendiri. Ninda mengeram, membanting benda tak berdosa di sekitarnya. Sementara itu, para Oxeks yang lemah tanpa daya dengan beberapa bagian tubuh terlilit lantai meledakan tawa kepuasannya. Keterpurukan Ninda menjadi hiburan tersendiri untuk mereka.
Mendapat hinaan dari musuhnya, amarah mengalir naik ke ubun-ubun. Kedua tangan Ninda mengepal. Wajah memerah dan mata melotot tajam. "DIAAAMMM!"
Blash! Satu Oxeks lenyap tak bersisa. Mendaratkan keterkejutan pada setiap makhluk yang menatap kejadian itu. Begitu pula dengan Ninda. Dia terperanjat tak percaya. Mata indah miliknya membulat memandangi tangan kanan yang tadinya terjulur ke depan.
"Apa tadi?" Ninda bergumam pada diri sendiri. "A...aku bisa?" Ninda kembali mengamati para Oxeks dalam kurungan. "Lihat! aku bisa!" teriaknya lantang. Ninda berjalan mendekat. Lebih berani dari sebelumnya. Tak kurang dari satu langkah berdiri di depan terali yang memenjara para Oxeks. Kepercayaan dirinya telah terbit. Tatapan mata evil hinggap dalam sorot yang terpancar. Ia menengadahkan tangan kanannya. Berkonsentrasi sekuat mungkin. Kembali mencoba. Mengumpulkan segenap kekuatan di atas telapak tangan kanan. Dan itu membuahkan hasil memuaskan. Sebuah bola cahaya berwarna hitam pekat seukuran bola pingpong melayang di atas telapak tangan kanan Ninda. Kecil memang. Para Oxeks tersenyum meremehkan.
"Itu tak akan cukup membunuh kita!" ucap salah satu Oxeks bersuara menyeramkan. Terang saja ucapan itu membuat amarah Ninda kembali memuncak.
"Kalian terlalu meremehkanku!" Blash. Ninda melempar bola hitam pekatnya ke dalam terali besi. Tepat mengenai sasarannya. Seorang Oxeks lenyap tak bersisa sekali lagi.
"Sialan!" umpat Oxeks bersuara menyeramkan tadi. Ia mundur ke belakang. Menjaga jarak dari Ninda.
Sedangkan Ninda tersenyum bangga akan kemampuan barunya itu. Ini akan menyenangkan, pikirnya.