Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Antara Cinta dan Benci (22)

20 Juni 2012   19:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:43 336 1
Rando’s pov

Dimana dia sebenarnya? Tanganku memburu bergerak di atas tuts HP-ku. Sudah banyak orang yang kuhubungi tapi tak juga menemukan keberadaannya sekarang. Apa dia terlalu marah sampai harus menghindariku dengan cara seperti ini? Arrrgghh…aku bisa gila!

“Do, kamu bisa tenang tidak sih? aku pusing lihat kamu mondar-mandir tidak jelas seperti itu,” tegur Gerald. Temanku satu itu sedang memasang mimik wajah bingung. Ekspresinya tergolong menggelikan tapi tidak sedikit pun membuatku tertawa. Ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa.

Aku mengacuhkan teguran Gerald itu dan kembali sibuk dengan HP-ku. “Sudah deh, dia pasti baik-baik saja.” Gerald kembali berujar menenangkanku.

“Kamu yakin kalau Rika itu berkata jujur?” tanyaku. Gerald mengangguk pasti. Entah untuk keberapa kalinya aku menanyakan ini padanya. Bruk. Akhirnya aku menyerah, menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur Gerald. “Dia itu kemana ya?” gumamku seraya memandangi langit-langit kamar Gerald.

“Mungkin ke tempat saudaranya,” tebak Gerald.

“Tadi aku juga sudah menanyakan itu pada ibunya, katanya Aghni izin untuk tinggal dengan Toni selama liburan ini.” Setelah bertemu Toni, aku langsung menuju rumah Aghni dan hasilnya nihil. Gadis itu belum pulang. Itulah sebabnya sekarang ini aku kebingungan mencarinya.

“Sudahlah, aku yakin Aghni bisa menjaga dirinya dengan baik. Lebih baik sekarang kamu tenang saja, kita menunggu dia muncul, oke!” saran Gerald. Bagaimana aku bisa tenang dengan keadaan seperti ini? Aku hanya dapat menghela napas menanggapi saran Gerald. Sudah tidak ada lagi yang dapat kulakukan, memang Cuma bisa menunggu. Tunggu! Tiba-tiba aku mengingat tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan Aghni dan terlewatkan olehku. Satu-satunya orang yang belum aku hubungi dan memiliki kemungkinan bersama Aghni. Tanpa pikir panjang aku bangkit dan bergegas pergi. Gerald sempat memanggilku tapi tak kuhiraukan. Aku harus segera memastikan Aghni bersama orang itu atau tidak.

***

Tina turun dari mobil yang dikendarainya. Ia tengah berdiri di depan sebuah rumah sederhana. Ini kunjungan keduanya ke rumah itu. Helaan napas panjang menjadi awal langkahnya lebih dekat dengan rumah itu. Sesampainya di depan pintu, langkahnya terhenti. Tangan kanan ia angkat setinggi dada lalu ia benturkan ringan pada pintu kayu di depannya. Tok tok tok. Hening yang menjawab ketukan pintu Tina. Wanita paruh baya itu menunggu sang pemilik rumah. Tak ada jawaban cukup lama. Ia mengulang lagi ketukannya. Tok tok tok. Waktu berjalan terasa lambat. Satu, dua, tiga, empat, lima menit… dan berakhir pada menit kesepuluh, handel pintu bergerak. Ceklek. Pintu terbuka menampilkan sesosok gadis berusia belasan tahun dengan kemeja hitam pajang dan celana pendek di atas lutut yang menampilkan paha mulusnya. Gadis itu mengernyit melihat sosok wanita di depannya. “Calista?” seru Tina, terkejut dengan gadis di depannya.

“Tante Tina, ada apa kemari?” balas Calista sopan. Ia mencoba menebak-nebak kehadiran wanita itu di rumah kekasihnya.

“Tante… Tante…mau bertemu Deni,” jawab Tina sedikit gugup. Calista mengulas senyum manisnya. Tebakannya benar.

“Oh, mari masuk dulu, Tante. Saya panggilkan Deni.” Calista mempersilahkan Tina masuk, membawanya ke ruang tamu dan memintanya duduk menunggu. Calista beranjak dari hadapan Tina untuk memanggil Deni di kamarnya.

Tak beberapa lama Calista muncul di ruang tamu bersama seorang pemuda berambut spike di belakangnya. “Aku buatkan minum dulu,” ucapnya pada pemuda di belakangnya yang tak lain adalah Deni.

“Tidak perlu, dia hanya sebentar di sini,” sahut Deni tegas.

“Ta-tapi…”

“Kamu masuk saja!” perintah Deni.

Calista merasa lemah di hadapan pemuda itu. Sikap keras yang biasa ia tampilkan serasa luntur dan tak berdaya. Calista mengangguk pelan dan beranjak kembali ke kamarnya, memberikan privasi pada Deni dan Tina untuk saling bicara berdua.

Deni menghempaskan pantatnya, duduk di seberang sofa yang diduduki Tina. Punggungnya ia sandarkan santai pada sandaran sofa dengan tangan terlipat di dada. “Kalian tinggal bersama?” Belum sempat Deni mengutarakan pertanyaan yang bercokol di kepalanya, Tina lebih dulu bertanya. Deni tersenyum sinis.

“Ya, terkadang,” jawabnya enteng.

“Kalian kan masih terlalu muda… dan tidak sepatutnya…”

“Anda tidak punya hak berkomentar tentang hubungan yang aku jalin.” Deni memotong cepat. “Ada perlu apa kemari? Cepat katakan! Aku tidak suka berbasa-basi,” lanjut Deni sarkastis.

Tina menarik napas panjang, menahan emosi yang bergemuruh di hatinya. “Apa yang kamu inginkah sebenarnya? Kenapa kamu menyerang perusahaan suamiku? Kamu mau menghancurkan kami?” buru Tina.

Deni terkekeh pelan. “Begitu mudah menebaknya bukan? Sebentar lagi aku akan melihat kehancuran keluarga Hermawan. Pasti menyenangkan.”

Tina tercengang dengan ucapan Deni. Ternyata memang benar anak kandungnya itulah yang membuat perusahaan suaminya kacau. Ia tidak menyangka ini semua akan terjadi. “Kenapa… kenapa kamu lakukan ini?”

“Sudah pasti untuk melihat kalian menderita… aku ingin kalian ikut merasakan penderitaan yang pernah aku dan papa alami.”

Terasa ada yang retak dalam hati Tina. Anak kandungnya sendiri ingin membuat dia menderita. Kebencian yang Deni tujukan sebelumnya saja sudah membuatnya sedikit terpukul dan sekarang ia harus melihat anaknya itu membalas dendam padanya. “Tolong jangan lakukan itu… jangan membuat keluargaku menderita. Jika kamu ingin membalas dendam, balas saja aku. Cukup aku saja, jangan keluargaku,” mohon Tina. Ia sudah tidak punya cara lain untuk menghentikan Deni.

Deni bangkit dari duduknya seraya menatap Tina tajam. “Tak ada gunanya memohon, semua sudah terlambat!”

Tina bangkit menghampiri Deni. Tubuhnya langsung merosot turun, terduduk di lantai dengan bertumpu pada kedua lututnya. “Lebih baik kamu bunuh saja aku! Aku yang sudah bersalah menelantarkanmu.” Cairan bening merembes turun dari kelopak mata indah Tina.

Deni sama sekali tak memandangnya. Ia tetap teguh pada pendiriannya. “Membunuhmu hanya akan merugikanku. Sudahlah, tak ada gunanya kamu memohon. Aku akan tetap menghancurkan perusahaan suamimu itu,” balas Deni datar.

“Deni….”

“Jangan pernah memanggil namaku! Pergilah! Pembicaraan kita cukup sampai di sini,” usir Deni. Tina menunduk lemah. Air matanya masih bercucuran. Pedih sekali mendapat perlakuan kasar dari anaknya sendiri. Ia tahu telah bersalah dulu, tapi ia ingin menebus semua itu. Apakah tidak ada kesempatan baginya untuk menebus semua kesalahan masa lalunya?

“Pergilah! Aku harap aku tidak akan bertemu denganmu lagi!” ulang Deni. Mau tak mau Tina bangkit. Ia beranjak pergi meninggalkan rumah Deni, berjalan lemah tersaruk-saruk.

***

Rando’s PoV

Mataku membulat, seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Seorang wanita paruh baya yang kukenal keluar dari rumah yang sedang kutuju, rumah Deni. Aku menghentikan motorku dan segera turun. Kuhampiri wanita itu. Matanya basah, bahkan masih bercucuran air mata. “Mama?” panggilku. Suatu panggilan yang baru kali ini aku ucapkan untuknya. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku memanggilnya seperti itu sekarang. Ya, meskipun dia memang mama tiriku tapi aku sama sekali tidak bisa memanggilnya dengan sebutan mama. Aku masih belum bisa menerima dia sepenuhnya.

Wanita paruh baya itu mendongak memandangku. “Rando.” Ia cukup terkejut melihatku.

“Apa yang Mama lakukan?” tanyaku. Mama mengusap air mata di wajahnya.

“Tidak ada. Hanya ada sedikit keperluan,” jawab Tina. Seulas senyum coba diulasnya paksa. “Kamu sendiri?”

“Em… ada keperluan dengan Deni,” jawabku datar.

“Oh, ya sudah. Mama pulang dulu.” Mama berjalan melewatiku dengan wajah lesu. Aku penasaran dengan apa yang dilakukannya. Aku harus mencari tahu.

Kakiku kembali kujejakkan menuju rumah Deni. Pintu rumahnya masih terbuka. Aku masuk begitu saja. Terlihat Deni duduk melamun di ruang tamunya. “Ada hubungan apa kamu dengan ibu tiriku?” tanyaku membuyarkan lamunan Deni. Dia mendongak menatapku. Dalam detik berikutnya senyum mengejeknya terkembang.

“Lebih baik kamu minta penjelasan padanya,” jawab Deni ketus.

Aku menghela napas sejenak, menahan emosiku yang hampir memuncak. Baiklah, masalah ini akan aku tanyakan pada mama lebih lanjut, putusku dalam hati. Kembali pada niat awalku. “Dimana Aghni?”

Satu pertanyaanku itu membuat Deni terkejut. “Aghni?”

“Ya, kamu menyembunyikan dia dimana?” tuduhku.

Deni terkekeh pelan. “Apa kamu tidak salah tempat menanyakan hal itu padaku?”

“Tidak! Dia lebih sering bersamamu bukan?”

“Aku tidak bersamanya!” tegasnya seraya berdiri.

“Kamu bohong!” aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.

“Kamu bisa lihat sendiri kan, di sini tak ada dia.” Kuedarkan pandanganku menelusuri tiap sudut rumahnya. Benar, rumahnya tampak sepi. “Harusnya kamu bisa menjaganya dengan baik.” Deni kembali berkomentar.

Aku diam tak tertarik untuk menjawab ejekan Deni itu. Otakku berpikir cepat tentang kemungkinan yang terjadi pada Aghni dan dimana dia sekarang. Gadis itu membuatku gila! Melihat hasil yang nihil, aku keluar dari rumah Deni tanpa berpamitan pada sang pemilik rumah.

***

Ia membiarkan hembusan angin membelai kulit wajahnya. Mata indahnya sengaja ia pejamkan. Menenangkan diri dengan menyatu bersama alam. Ya, itulah yang dilakukan gadis berambut panjang itu. Merasakan hembusan angin yang melewati tubuhnya, mendengarkan bunyi desiran gemercik air sungai yang berada di bawah bukit tempat ia berdiri. Tak lupa pula menikmati alunan merdu dari kicau burung yang sesekali hinggap pada dahan pohon di sekitarnya. Sejenak perasaan dan pikiran yang tadinya kacau menjadi tenang kembali. Ini tempat favoritnya untuk menghilangkan kejenuhan dan stress. Tak aka nada orang yang mengganggunya.

Setelah cukup tenang, gadis itu membuka mata perlahan. Sudah lama aku tak ke sini, batinnya. “Sudah saatnya aku kesana. Bapak, Ibu… Nina datang,” gumamnya. Kakinya yang mungil mulai melangkah.

***

Banyak perubahan yang terjadi pada kota kelahirannya, Surabaya tak lagi seperti dulu saat ia tinggalkan. Meski begitu Aghni tak mengalami kesulitan mengunjungi beberapa tempat masa kecilnya dulu. Gadis itu melangkah memasuki sebuah area pemakaman umum di desa kelahirannya. Kali ini Aghni sedikit mengalami kesulitan mencari makam yang akan ia kunjungi. Tempat itu lebih penuh dari yang dulu Aghni lihat. Untungnya ingatan Aghni masih cukup jernih. Ia berjalan menyusuri jalan setapak hingga berhenti pada bagian sudut pemakaman. Di tempat itulah ia melihat dua pusara orang yang disayanginya. Kerinduan akan dua orang yang dikasihinya itu menyeruak seketika itu juga. Aghni berjongkok di depannya. Tangannya menyusup masuk dalam kantong plastik yang dibawanya, meraup kumpulan kelopak bunga mawar dan menaburkan pada kedua pusara itu secara bergantian. “Ibu… Bapak… Maaf, Nina baru bisa datang sekarang.” Gadis itu bergumam sendiri, berbicara pada dua pusara di depannya. Nina, nama itu telah lama tak pernah ia sebut. Sejak ibu dan ayah angkatnya mengadopsi Aghni, gadis itu sudah tidak memakai nama pemberian orang tua kandungnya. Tak ada lagi yang terucap dari bibir mungil gadis itu. Aghni memilih menuangkan kerinduannya dalam diam.

***

Seminggu berlalu dengan cepat. Rando masih gelisah memikirkan Aghni yang menghilang tanpa kabar. Ia sudah seperti orang gila. Gerald yang mendapat jatah menampung luapan kegelisahan Rando hanya bisa mengelengkan kepala. Sahabatnya itu memang sudah seminggu ini tinggal di rumahnya.

“Sudah deh, Do. Aku capek liat kamu kayak orang gila begini. Tenang saja, Aghni baik-baik saja kok,” ujar Gerald yang sedari tadi melihat Rando mondar-mandir tak jelas di ruang tengah.

“Sudah seminggu, Rald! Seminggu!” tekan Rando.

“Iya, tapi kamu tenang dong.”

“Kalau terjadi sesuatu sama dia bagaimana?”

Belum sempat Gerald menjawab pertanyaan Rando, HP-nya sudah berbunyi lebih dulu. Gerald meraih HP yang ia geletakkan di atas meja ruang tengah. Rika, sebuah nama tertera di layar HP-nya. Tanpa pikir panjang Gerald menekan tombol hijau dan menaruh di dekat telinganya. “Ada apa, Ka?” tanya Gerald. “Oh, begitu. Syukur deh. Oke….ya, kapan dia balik? Hmm…ya, makasih kabarnya. Aku sudah hampir ikutan gila karena kegelisahan Rando yang sudah akut ini.”

Mendengar namanya disebut Rando memelototkan mata. Tapi Gerald tak menghiraukan sahabatnya itu. Kabar yang baru saja ia terima dari Rika akan segera membuat cowok itu kegirangan.

“Oke, sekali lagi makasih ya, Ka.” Klik. Gerald mengakhiri pembicaraannya dengan Rika. Sementara itu, Rando sudah siap meminta kejelasan darinya.

“Tadi Rika,” ujar Gerald seolah tahu apa yang diinginkan sahabatnya. “Dia bilang Aghni baik-baik saja. Besok dia pulang, tenang saja.”

“Dimana dia?”

“Di rumah neneknya.”

Kelegaan merasuki Rando. Raut gelisah yang semenjak beberapa hari ini menaungi wajahnya sirna. Ia sedikit tenang sekarang.

“Mau kemana kamu?” tanya Gerald ketika melihat Rando beranjak meninggalkannya.

Rando menoleh dengan senyuman tipis. “Pulang!” jawabnya singkat dan kembali melangkah meninggalkan rumah Gerald.

***

Rando’s Pov

Akhirnya aku tahu dia dimana. Ya, besok aku bisa bertemu dengannya lagi. Rasanya aku sudah tidak sabar bertemu dengannya. Aku sangat merindukannya. Dia benar-benar membuatku gila selama seminggu ini.

“Kamu habis dari mana, Do? Keluyuran terus!” Tegur seseorang saat aku memasuki rumah. Aku amat kenal dengan suara berat itu. Aku membalikkan badan ke arah sumber suara. Papa duduk di sofa ruang tamu, memasang wajah sangar yang jauh dari kesan ramah. Aku tersenyum tipis padanya.

“Oh, Papa. Tumben jam segini di rumah,” ujarku tak menjawab pertanyaannya.

“Kamu tahu apa! Kerjaanmu Cuma keluyuran!” Suara papa meninggi. Keningku berkerut melihatnya. Tidak biasanya papa seperti ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi.

“Well, memang aku harus bagaimana?”

“Minggu depan kita pindah! Kemasi barang kamu.”

Mataku membelalak terkejut. Apa aku tidak salah dengar? Pindah? “Pindah? Kenapa tiba-tiba?” tanyaku.

“Rumah ini akan Papa jual. Perusahaan kita lagi krisis. Bahkan terancam bangkrut.” Ada getir kesedihan saat papa mengatakan itu. Ya, aku tahu jelas ini sungguh menyedihan untuknya. Perusahaan yang ia bangun mulai dari nol akan sirnah. Pasti menyakitkan untuknya.

“Kenapa bisa begitu? Apa yang terjadi?” Pasti ada kejelasan lebih kenapa ini bisa terjadi.

“Papa tidak tahu pasti. Beberapa proyek yang ditangani tiba-tiba dibatalkan. Bahkan beberapa klien menghilang. Para pekerja proyek berkurang, mereka tiba-tiba mengundurkan diri. Semua menjadi kacau,” jelas papa frustasi.

“Tapi kenapa harus pindah?”

“Rumah dan asset kita di sini akan Papa jual untuk memulihkan kondisi perusahaan. Kita akan menempati rumah kita di Jakarta dan mengurus masalah di sana.”

Seketika itu juga badanku lemas. Bagaimana ini? Pindah? Jika itu terjadi aku tidak akan pernah bisa bertemu dengannya lagi. Aku tidak mungkin meninggalkannya. Aku tidak mau.

“Aku tidak akan ikut,” putusku. Papa menaikkan sebelah alisnya.

“Apa maksudmu?”

“Aku akan tetap tinggal di sini. Aku bisa tinggal di rumah Gerald.” Aku berharap papa akan mengizinkanku. Jika tidak, aku akan melawannya.

“Tapi…”

“Sekolahku tinggal satu tahun lagi, aku tidak mau pindah. Biarkan aku menyelesaikan sekolahku di sini,” potongku. Papa diam sejenak, memikirkan usulanku.

“Papa akan memikirkannya lagi.” Dengan lemah papa bangkit dan beranjak pergi.

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun