Bila dihubungkan 'posisi' Jokowi- di satu sisi sebagai Presiden yang tengah disorot tajam karena berbagai kebijakannya 'tidak berpihak kepada keinginan PDIP' sedangkan di sisi lain sebagai kader PDI- maka pernyataan keramat Megawati seolah-olah 'memperingatkan' Jokowi untuk tunduk kepada kebijakan partai. Jokowi 'dikasitahu ulang' jangan melupakan PDIP. Jangan macam-macam dengan Partai. Jokowi memang Presiden Republik Indonesia tapi dia 'tak lebih' seorang petugas partai.
Untuk menimbulkan kesan 'demokratis dan egaliter' serta perlakuan yang sama di Partai, Megawati pun 'mengakui' dirinya juga 'petugas partai. Yang berarti dia sama dengan Jokowi dan para kader partai lainnya.
Sebagai petugas partai kedua tokoh itu punya perbedaan hirarkis. Megawati sebagai ketua (atasan) bisa 'memarahi' Jokowi yang ' cuma bawahan'. Megawati berhak mengatur-ngatur Jokowi atas nama kepentingan partai. Kalau Jokowi melawan atau marah kepada pimpinan partai bisa-bisa dapat 'kualat partai'. Inilah -yang di sisi lain-sering bikin publik geram dan 'tidak terima'.
Kepada seluruh kader PDIP termasuk Jokowi yang diluar partai (nyata-nyata) seorang presiden RI, pernyataan keramat Megawati tersebut telah mempertegas kembali siapa dirinya ; bahwa seorang Megawati bukanlah petugas partai biasa. Ini merupakan kenyataan yang tak terbantahkan.
Megawati seolah tak ingin ada kader yang merasa hebat sendiri melebihi dirinya, walau dalam realitas di publik kader tersebut bisa jadi memang lebih hebat.
Saat ini PDIP sangat unik. Didalamnya ada dua orang 'Presiden'. Satu presiden yang sudah jadi mantan, sedangkan satu lagi masih menjabat. Kedua orang Presiden itu adalah Megawati dan Jokowi. Walau sudah mantan presiden Megawati dicitrakan lebih hebat dan berkuasa daripada Jokowi presiden aktif. Tidak ada partai lain yang unik seperti ini.
Menurut keyakinan keramat politis para kader, keunikan tersebut bisa meruntuhkan mereka bila tidak dikelola ala partai PDIP. Maka walaupun sama-sama petugas partai, Megawati dan Jokowi punya 'nasib kekinian' yang berbeda di dalam partai dan di luar partai. Nasib 'kehebatan Jokowi' di publik 'terpaksa' harus dilenyapkan saat dia berada di partai. Kalau tidak mau, keluar !
Begitukan, bu?