Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Penyebab Lengsernya Sutan Bhatoegana dari DPR-RI

28 April 2014   13:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:07 3108 13

Sumber Gambar : fokusmetro.com

Sangat mudah mengenali politikus yang satu ini. Dengan kepandaian politiknya dan disertai wajah unik serta celotehnya yang ceplas-ceplos, Sutan Bathoegana menjadi salah satu selebritis politik di Tanah Air. Ungkapan khas yang keluar dari celotehannya, seperti ““ngeri-ngeri sedap”, “lucu-lucu ngeri”, “masuk barang tu”, “ikan salmon” menjadi ngetop, dan sering dipakai candaan dalam masyarakat.Bagi awak media, beliau selalu jadi target berita yang “ngeri-ngeri sedap”. Silat lidahnya saat diliput mampu membuat suasana politik menjadi segar.

Pemilu 9 April lalu Sutan Bathoegana berangkat dari daerah Pemilihan (dapil) Sumut I yang disebut dapil ‘neraka’ karena banyak diisi oleh kompetitor tangguh tingkat nasional. Sutan Bhatoegana harus bertarung dengan sesama petahana dari Demokrat, yaitu Ruhut Sitompul dan Ramadhan Pohan. Sedangkan dari partai lain di antaranya ada Tifatul Sembiring (PKS), dan Meutia Viada Hafid (Golkar). Pada suatu kesempatan dia mengatakan, "Saya hadapi saja. Toh saya sudah punya modal sosial yang cukup dan mesin politik yang terus berjalan dalam empat tahun ini." (lihat )

Modal sosial kepopuleran Sutan Bathoegana ternyata kini tak membuatnya terpilih kembali sebagai anggota DPR-RI untuk ketiga kalinya. Agak mengherankan, justru terjadi di saat namanya sedang melambung dan sudah sangat dikenal masyarakat luas. Ada apa dengan beliau?

Bila dilihat kiprah nasionalnya selama ini, tak banyak orang tahu bahwa dia dari Sumatera Utara dan orang Batak dengan marga Siregar. Banyak orang selama ini hanya mengenal dia adalah politikus Demokrat berwajah unik, serta ketua fraksi di DPR yang pandai debat dan suka bercanda.

Namun entah mengapa, tidak seperti orang Batak pada umumnya selalu mencantumlan nama marga, sebaliknya Sutan Bathoegana sama sekali tidak mencantumkan marga di belakang nama aslinya.Belum ditemukan alasan dia ‘menghilangkan’ identitas marganya itu.

Padalah sebuah identitas primodial sangat penting dalam politik di negara kita ini.Identitas kedaerahan, kesukuan-marga tersebut diperlukan untuk membangun rasa memiliki dari masyarakat sedaerah atau semarga. Mereka akan bangga dan merasa terwakili bila ada orang sedaerah, sesuku atau semarga yang ngetop di tingkat nasional. Lewat si tokoh itu, marwah daerah atau suku-marga akan terangkat.

Tidak kenal secara fisik langsung, bukan merupakan halangan terciptanya jalinan chemistry dengan pemilih satu marga karena hal itu bisa terbangun dari simbol-simbol yang sama dari suatu komunitas. Sisi psikologis dan emosional masyarakat pemilih lewat pencantuman marga sebagai identitas promodial adalah bahan dasar yang berharga di alam demokrasi kita yang banyak mengandalkan politik identitas sebagai kekuatan diri tokoh.Pada konteks ini, identitas marga harus dibawa si tokoh kemanapun dia berada dan berkiprah. Saat berkiprah di tingkat nasional, diliput di media televisi, koran, dan lain-lainnya yang tampak adalah sosok pribadi Sutan, tidak ada marga Siregar yang mengemuka.

Padahal, tampilnya sosok Sutan adalah sebuah prestasi yang tak semua orang bisa dan punya kesempatan seperti itu dengan segala dari kontroversi yang muncul dari semua kalangan atas gaya penampilannya itu.

Kepopuleran Sutan Bathoegana di tingkat nasional menyisakan ‘kekecewaan’ di alam bawah sadar marganya karena tidak turut terangkat. Mereka merasa tidak dianggap, tidak dibutuhkan dan tidak terwakili. Dan ketika dia membutuhkan mereka saat pemilu kemarin untuk meraih suara, masyarakat marga itu sudah kadung kecewa. Pilihan suara marga pun tidak masif kepada Sutan Bathoegana, terutama pemilih semarga yang tidak memiliki relasi fisik langsung dengan Sutan.

Hal ini berbeda dengan Ruhut Sitompul, rekan satu partainya dan satu dapil. Seorang Ruhut sangat jelas mencantumkan identitas marga di belakang namanya. Ruhut dan Sutan memiliki sepak terjang politis yang relatif sama di mata media. Keduanya seperti double sriker dalam berceloteh dan bergaya unik di kancah popularitas politik dan media. Namun di balik itu, keduanya ‘terpaksa’harus bersaing di dapil yang sama. Dan dalam persaingan itu, Ruhut tampil sebagai pemenang.

Tanpa mengesampingkan peran kerja tim suksesnya, Sutan telah kalah selangkah saat bertarung. Ketika dia berprestasi berkiprah di tingkat nasional dan meraup pesona media dan masyarakat dia seolah melupakan asal-muasalnya. Bisa jadi ketika kampanye, barulah dia sibuk mencantumkan nama marganya, yakni: Siregar. Namun itu sudah terlambat.

Pada situasi kritis di mana nama besar Partai Demokrat sedang ancur-ancuran, sebenarnya tinggal sisi ketokohan caleg saja yang bisa diandalkan di tingkat alam bawah sadar pemilih tradisonal-primodialnya. Dan, sialnya Sutan kehilangan hal itu semua.

Selamat jalan Sutan Bathoegana, politik identitas memang “ngeri-ngeri sedap”. Untuk anda pada pemilu kali ini “belum masuk barang tu !”.

salam kompasiana

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun