Pendakian Gunung Karmel : Keinginan Jiwa yang Membawa Dua Kejahatan Serius (I-6)
26 Desember 2024 13:25Diperbarui: 27 Desember 2024 15:45371
Prolog
Inginku akan dunia, seperti anjing, aku duduk di bawah kolong meja perjamuan, menanti remah, dan tulang yang jatuh dalam perayaan Allah. Tak pernah terpuaskan lapar dan dahagaku dan aku melolong dalam letih, tersiksa, lemah serta terseret semakin jauh ke dalam kegelapan dan luka menodai ragaku.
Pagi ini mentari tiba lebih awal. Rasanya ingin segera menyapa kalian teman pendakianku. Sudahkan kalian bersiap untuk langkah pendakian kita ?Aku sudah mengepak semua kebutuhan pendakian, dan semalam cahaya terang mendatangi mimpiku, seperti aurora borealis, cahaya utara yang menakjubkan, seperti menyaksikan penyingkapan keindahan dan kekuatan ilahi yang besar. Rasanya kita harus segera melangkah, karena rute kali ini akan menyadarkan kita betapa berbahaya semua keinginan yang tidak teratur itu. Seperti lubang hitam yang memakan semua yang baik. Seperti dementor yang menelan semua kebahagiaan dan sukacita. Teman pendakianku, para musafir cinta, angkat tongkatmu dan mulai melangkah dan terus berjaga dengan cahaya cinta.
Dua Kejahatan Akibat Keinginan yang Tidak Terkendali : Kejahatan Privatif dan Kejahatan Positif
Pada jalur medan pendakian kali ini, kita dapat menemukan pengajaran yang mendalam Santo Yohanes dari Salib mengenai dampak dari keinginan yang tidak teratur dalam jiwa manusia. Salah satunya terdapat dalam penjelasan orang kudus ini mengenai dua kejahatan serius yang timbul akibat keinginan yang tidak terkendali, yang pertama adalah kehilangan Roh Allah, dan yang kedua adalah keletihan, penderitaan, kegelapan, kekotoran, dan kelemahan yang menguasai jiwa yang dikuasai oleh keinginan-keinginan tersebut. Santo Yohanes dari Salib mengutip Kitab Yeremia 2:13 yang berkata: “Dua mala fecit Populus meus: dereliquerunt fontem aquae vivae, ut foderunt sibi cisternas, dissipatas, quae continere non valent aquas,” yang artinya, “Mereka telah meninggalkan Aku, yang adalah sumber air hidup, dan mereka menggali kolam-kolam retak yang tidak dapat menampung air.” Ada dua hal yang digarisbawahi Santo Yohanes dari Salib terkait simbolisme kejahatan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak teratur dalam Kitab Nabi Yeremia ini, yaitu aksi meninggalkan Allah dan aksi menggali kolam retak. Ini adalah dua aksi jiwa yang menjadi simbolisme dua kejahatan yang disebabkan keinginan-keinginan yang tidak terkendali
Santo Yohanes dari Salib dalam refleksinya yang mendalam berdasarkan Kitab Yeremia kemudian menuliskan bahwa keinginan-keinginan yang tidak terkendali ini menyebabkan dua kejahatan utama yaitu (i) kejahatan privatif; yang bersifat privatif, yakni kehilangan hubungan dengan Allah, dan (ii) kejahatan positif; yang bersifat positif, yaitu dampak negatif yang muncul dalam kehidupan jiwa yang diliputi oleh keinginan. Kejahatan positif, dalam konteks teologi dan filsafat moral, merujuk pada tindakan atau kondisi yang secara aktif membawa penderitaan, kerusakan, atau kesalahan pada seseorang. Ini berbeda dengan kejahatan negatif, yang lebih mengacu pada ketiadaan atau kurangnya sesuatu yang baik. Kejahatan positif melibatkan adanya elemen yang nyata yang mengarah pada kerusakan atau penderitaan.
Lebih lanjut, Santo Yohanes dari Salib menjelaskan bahwa ketika jiwa terikat pada sesuatu yang bersifat ciptaan, semakin besar keinginan untuk hal tersebut, semakin kecil ruang bagi jiwa untuk menerima Allah. Seperti yang dikatakan oleh para filsuf, dua hal yang saling bertentangan tidak dapat ada dalam satu tempat yang sama. Oleh karena itu, keinginan duniawi yang berlebihan menghalangi kedalaman dan kesucian jiwa untuk menerima kasih Allah.
Lebih jauh lagi, Santo Yohanes dari Salib mengingatkan kita bahwa kasih kepada Allah dan kasih kepada ciptaan adalah hal yang bertentangan, dan oleh karena itu tidak mungkin dalam satu kehendak yang sama terdapat kasih kepada ciptaan dan kasih kepada Allah. Pertanyaan reflektif dalam tulisan Santo Yohanes dari Salib membawa kita pada permenungan akan betapa besar perbedaan antara kedua hal : apa hubungan ciptaan dengan Pencipta? Apa hubungan yang indrawi dengan yang rohani? Yang terlihat dengan yang tidak terlihat? Yang sementara dengan yang kekal? Makanan surgawi yang rohani dan murni dengan makanan yang hanya bersifat indrawi dan jasmani? Kemiskinan roh yang menyerupai Kristus dengan keterikatan pada segala sesuatu?
Terdapat suatu prinsip penting berkaitan dengan proses transformasi rohani dalam jiwa. Santo Yohanes dari Salib mengibaratkan proses ini sebagai kelahiran alami, di mana tidak ada bentuk baru yang dapat diterima oleh suatu subjek kecuali bentuk yang bertentangan sebelumnya dikeluarkan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa selama bentuk yang bertentangan masih ada, ia akan menghalangi masuknya bentuk yang baru. Begitu pula dalam perjalanan rohani, sebagaimana yang dikatakan oleh Santo Yohanes dari Salib, “selama jiwa dikuasai oleh roh yang bersifat indrawi, roh yang murni dan spiritual tidak dapat masuk ke dalamnya.”
Anjing yang Menunggu Remah di Bawah Meja Perjamuan Allah
Santo Yohanes dari Salib melanjutkan penjelasannya dengan merujuk pada sabda Tuhan yang tercatat dalam Injil Matius, yang mengilustrasikan hal ini dengan jelas. Dalam Matius 15:26, Yesus berkata, “Non est bonum sumere panem filiorum, et mittere canibus,” yang berarti, “Tidaklah patut mengambil roti anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Di sini, Tuhan mengajarkan bahwa roti — yang merupakan simbol dari rahmat dan kebenaran — hanya pantas diberikan kepada mereka yang siap dan layak untuk menerimanya, yakni mereka yang telah menyiapkan hati mereka untuk menerima kasih Allah. Ketika hati masih terikat pada keinginan-keinginan duniawi, jiwa tidak dapat menyambut sepenuhnya rahmat dan kebenaran yang datang dari Tuhan.
Memperkuat ilustrasi tersebut, Santo Yohanes dari Salib menjelaskan kisah dalam Matius 7:6, Tuhan juga berkata, “Nolite sanctum dare canibus,” yang artinya, “Jangan memberikan yang kudus kepada anjing.” Ini mengingatkan kita bahwa kasih dan rahmat yang mulia tidak dapat diberikan kepada mereka yang tidak siap atau tidak menghargainya, yang hanya akan mengotori dan meremehkan apa yang suci. Dalam konteks ini, Santo Yohanes dari Salib mengajarkan bahwa jiwa yang terikat pada keinginan duniawi (yang diibaratkan sebagai “anjing”) tidak dapat menerima apa yang kudus dan rohani dari Allah.
Jika kita melihat lebih dalam tentang pengajaran Santo Yohanes dari Salib ini, kita akan tercengang akan kedalaman pemahaman orang kudus ini dalam membuat sebuah perbandingan yang tajam antara mereka yang memilih untuk meninggalkan keinginan duniawi dan mempersiapkan diri untuk menerima Roh Allah, dengan mereka yang tetap terikat pada keinginan-keinginan terhadap ciptaan. Tuhan kita, dalam sabda-Nya, mengilustrasikan hal ini dengan membandingkan dua kelompok: anak-anak Allah yang murni yang berada di meja dan mereka yang terikat pada keinginan duniawi, yang digambarkan sebagai anjing. Anak-anak Allah, yang telah melepaskan diri dari keinginan duniawi, diberikan roti yang lebih dari sekadar remah-remah duniawi. Mereka menikmati makanan dari Roh-Nya, karena mereka mempersiapkan diri untuk menerima Roh yang tidak tercipta. Sebaliknya, mereka yang terikat pada ciptaan hanya diberi remah-remah yang jatuh dari meja, yang tidak dapat memuaskan rasa lapar jiwa mereka. Sungguh refleksi dan simbolisme mendalam tentang perjamuan yang mengibaratkan tempat sumber makanan bagi jiwa. Ya, suatu meja perjamuan jiwa, meja Allah.
Lebih lanjut disebutkan oleh Santo Yohanes dari Salib bahwa semua ciptaan pada hakikatnya adalah remah-remah yang jatuh dari meja Allah. Oleh karena itu, orang yang terus-menerus mencari pemuasan dalam ciptaan akan terus merasa lapar dan tidak puas, seperti anjing yang mengais-ngais remah-remah. Tak akan puas, ia akan terus mencari dan menunggu remah di bawah meja. “Mereka akan menderita kelaparan seperti anjing,” seperti yang dikatakan dalam Mazmur 59:14–15, “dan berkeliling kota, dan jika mereka tidak menemukan cukup untuk memuaskan mereka, mereka akan menggerutu.” Ini adalah gambaran yang jelas tentang jiwa yang terperangkap dalam keinginan duniawi: selalu merasa lapar, selalu menginginkan lebih, tetapi tidak pernah merasa puas.
Di sini jelas terlihat bahwa keinginan duniawi tidak pernah dapat memuaskan jiwa yang pada hakikatnya diciptakan untuk menemukan kepenuhan hanya dalam Roh Allah. Sama seperti seseorang yang kelaparan, jiwa yang terikat pada ciptaan selalu mencari lebih, tetapi tidak pernah mencapai kepuasan yang sejati. Santo Yohanes dari Salib menekankan bahwa kepenuhan yang sejati, yang hanya dapat diberikan oleh Roh Allah, tidak dapat memasuki jiwa yang dipenuhi dengan keinginan duniawi. Untuk menerima kepenuhan ini, jiwa harus terlebih dahulu melepaskan keinginan-keinginan tersebut, karena dua hal yang bertentangan — rasa lapar yang disebabkan oleh keinginan duniawi dan kepenuhan yang datang dari Roh Allah — tidak dapat hidup bersama dalam satu pribadi. Hanya dengan pengosongan keinginan, pemuasan oleh Roh Allah akan diberikan.
Dalam tulisan Santo Yohanes dari Salib, kita diajak untuk memahami betapa besar karya Allah dalam membersihkan dan memurnikan jiwa yang terikat pada keinginan-keinginan duniawi. Sebagaimana dijelaskan oleh oleh orang kudus ini, karya Allah dalam membebaskan jiwa dari pertentangan-pertentangan yang muncul akibat keinginan-keinginan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan karya-Nya dalam menciptakan jiwa dari ketiadaan. Keinginan dan afeksi yang bertentangan dalam jiwa bukan hanya menentang Allah, tetapi juga memberikan perlawanan yang jauh lebih besar kepada-Nya dibandingkan dengan ketiadaan. Ketiadaan itu sendiri pada hakikatnya sama sekali tidak dapat melawan. Hal ini menegaskan betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan oleh keinginan terhadap jiwa kita. Yang pertama-tama adalah perlawanan terhadap Roh Allah itu sendiri.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.