Saya ingin menulis Ken Dedes. Walau tak sedramatis Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya, tak seliris tulisan Goenawan Mohamad di catataan pinggirnya, atau tak seromantis bloger (perempuansore@blospot) sekalipun. Tapi saya tetap mau menulis Ken Dedes. Saya tak bisa mengelak cerita tentang dia, perempuan yang dari rahimnya melahirkan kelak trah penguasa-penguasa jawa.
Kita tahu, Ken Arok bekas 'brandal' yang kelak menjadi Raja Singosaro sekaligus perebut cinta Dedes hanyalah pengawal (yang tak loyal pada tuannya). Ia, Ken Arok tak memiliki sifat setia pada siapapun (GM), tapi tak berdaya diantara simpuh kaki-kaki Ken Dedes yang tak banyak mendapatkan cinta dari Ametung.
Konon, Ken Arok rela menikam Ametung dengan keris yang kelak menjadi 'tulah' baginya—Keris Empu Ganring—hanya karena Dedes, permaisuri cantik dari Tumapel itu. lantas apa yang membuat Arok kudeta?, Betis. Ya, dengan betis Dedes saja Arok sudah tak ingat lagi kebaikan Ametung. Dan salah satunya cara merebut permaisuri cantik itu hanyalah darah Tunggul Ametung dengan sebuah konspirasi, Kebo Ijo pun dikorbankannya.
Tapi apa betis, dan benar-benar betislah yang dilihat Arok? Tak tahu. Tapi dalam percakapan di seminar waktu itu dan percakapan lepas di kuliah, “betis” hanyalah sekedar metafor. Arok tak bisa mengalih pandang ketika melihat (maaf) “benda” diantara kaki Ken Dedes. Tapi inilah penafsiran, yang mendaur ulang cerita yang kemudian direduksi.
Tapi disini, dikisah Dedes dilihat betapa tubuh perempuan (jika tak mau disebut semua tubuh) hanyalah obyek pemuas hasrat laki-laki. Perempuan dijadikan obyek kuasa. Maka tak heran jika kisah Ken Arok-Ken Dedes tak bisa lepas dari wujud kuasa dan seksualitas.
(saya ingat Foucault dalam wacana kuasa seksualitas; tak pentinglah darimana sumber kuasa tapi kekuasaan yang menjadi pengetahuan, kuasalah yang mengatur segala sesuatu termasuk juga seks).
Kisah ini bisa dihubungkan dengan analisa tokoh psikoanalisa Freud yang menukil naluri seks manusia; hasrat libido. Ijinkan saya mengutipnya. “dengan menahan api dari gairah seksualnya sendiri ia mampu menalukkan api sebagai sebuah kekuatan alam...”
Saya bisa mengerti walau tak pasti, Ken Arok terperangkap dalam seks dan kuasa. Tak mampu menahan hasrat. tak mampu menahan 'api' gairah sekalipun hanya sepintas melihat betis Ken Dedes. Kaki-kaki Dedes membutakan mata-hati-nya.