Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sayap-sayap tanpa kita*

2 Juni 2011   13:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:56 236 2
[caption id="attachment_111718" align="alignright" width="300" caption="ilustrasi : google.com"][/caption] Ie...ie...ie bele wea seru molo mesa...a..a..a Ie...ie...ie bele wea seru molo mesa...a..a..a Seru kai nonge, nebu ola kobe one, ie nonge, ola baje wole..a..a..a.. Sepotong lirik lagu tradisional flores (flores island folksong) itu mengalun indah lewat Dira Sugandhi. Dengan suaranya yang khas- jazzy diiringi piano Dwiki Darmawan membuat diri terbawa nuansa. Saya terbawa harmoni lagu tradisional pulau flores itu. Dalam ketakmengertian lagu tersebut, saya kemudian bertanya pada teman yang berasal dari Flores-Nusa Tenggara Timur. Sedikit informasi tentang lagu itu, hanya mendapat beberapa informasi. tapi cukup membuat saya tau bahwa IE... adalah salah satu stradisi orang flores dalam memanggil burung-burung. Semacam panggilan ‘sahabat’ untuk kawanan burung. Lagu IE... hadir sebagai penanda kerinduan akan sayap-sayap yang merapat di ranting pohon, walau lagu itu jarang lagi terdengar sebab burung-burung di flores menjadi langka. Saya pun teringat tulisan Alan Weisman dalam bukunya the world without us (dunia tanpa kita). Pada bagian ‘sayap-sayap tanpa kita’ Weisman secara alegoris membawa pembaca pada kenyataan bahwa burung-burung (perlahan-lahan) menjelang kepunahan di belahan bumi akibat perubahan iklim dan aktifitas manusia.

“Dalam dunia tanpa manusia, apa yang akan tersisa untuk burung-burung ? apa yang akan tersisa dari burung-burung ? di antara lebih dari 10.000 spesias yang telah hidup bersama-sama dengan kita, dari kolibri dengan berat kurang dari uang logam paling murah hingga burung moa tak bersayap yang memiliki berat 270 kilogram, sekitar 130 telah menghilang.”
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun