[caption id="attachment_111718" align="alignright" width="300" caption="ilustrasi : google.com"][/caption] Ie...ie...ie bele wea seru molo mesa...a..a..a Ie...ie...ie bele wea seru molo mesa...a..a..a Seru kai nonge, nebu ola kobe one, ie nonge, ola baje wole..a..a..a.. Sepotong lirik lagu tradisional flores (
flores island folksong) itu mengalun indah lewat Dira Sugandhi. Dengan suaranya yang khas- jazzy diiringi piano Dwiki Darmawan membuat diri terbawa nuansa. Saya terbawa harmoni lagu tradisional pulau flores itu. Dalam ketakmengertian lagu tersebut, saya kemudian bertanya pada teman yang berasal dari Flores-Nusa Tenggara Timur. Sedikit informasi tentang lagu itu, hanya mendapat beberapa informasi. tapi cukup membuat saya tau bahwa IE... adalah salah satu stradisi orang flores dalam memanggil burung-burung. Semacam panggilan ‘sahabat’ untuk kawanan burung. Lagu IE... hadir sebagai penanda kerinduan akan sayap-sayap yang merapat di ranting pohon, walau lagu itu jarang lagi terdengar sebab burung-burung di flores menjadi langka. Saya pun teringat tulisan Alan Weisman dalam bukunya the world without us (dunia tanpa kita). Pada bagian ‘sayap-sayap tanpa kita’ Weisman secara alegoris membawa pembaca pada kenyataan bahwa burung-burung (perlahan-lahan) menjelang kepunahan di belahan bumi akibat perubahan iklim dan aktifitas manusia.
“Dalam dunia tanpa manusia, apa yang akan tersisa untuk burung-burung ? apa yang akan tersisa dari burung-burung ? di antara lebih dari 10.000 spesias yang telah hidup bersama-sama dengan kita, dari kolibri dengan berat kurang dari uang logam paling murah hingga burung moa tak bersayap yang memiliki berat 270 kilogram, sekitar 130 telah menghilang.”
KEMBALI KE ARTIKEL