Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kisah Miranda dan Acuhnya Pemerintah

8 Maret 2014   09:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:09 33 0
Bebepara hari yang lalu di media cetak dan elektronik ramai-ramai memberitakan kehidupan Miranda yang merawat ayahnya yang sakit di rumahnya yang terletak di ujung barat kota Kendari. Miranda, bocah yang kekurangan mental itu harus keluar dari sekolah demi merawat ayahnya yang lumpuh. Pilihannya sederhana lebih memilih merawat orang tua walaupun putus sekolah sebagai taruhannya. gadis kecil itu—selayaknya bermain dan membaca di sekolah—harus menanggung beratnya beban keluarga. Cerita tentang Miranda menjadi inspirasi sekaligus tragedi kehidupan bagi masyarakat kecil.
Rumah keluarga Miranda hanya beberapa kilo meter dari pusat pemerintahan baik provinsi maupun kota. Tapi yang lebih banyak bersuara adalah media. Lalu kita bertanya di mana pemerintah selama ini? Idealnya pemerintahlah yang harus lebih dulu tanggap dan menyuarakan permasalahan sekaligus mencari solusi. Alih-alih memerankan sebagai penjaga rasa aman masyarakat, pemerintah kadang tak pernah terasa keberadaanya. Dari sini kita bertanya buat apa mengamanahkan mereka jika abai terhadap rakyatnya? Saya jadi ingat dalam sebuah tulisan sebuah kolom bahwa jika berhubungan dengan pemerintah maka yang banyak adalah pertanyaan dan sedikit mendapat jawaban. Demikian pula kisah ‘pembiaran’ kehidupan Miranda dan ayahnya. Kita hanya lebih banyak pertanyaan dari pada mendapat jawaban.
Mirisnya kiranya ketika pemerintah kita hidup di atas kemewahan dan previlese lainnya dari fasilitas negara membiarkan rakyatnya hidup dalam penderitaan. Tapi ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu. Pemerintah kita tak mau ambil pusing. Kita telah banyak menonton teve, membaca koran, dan informasi dari tetangga tentang orang miskin yang mati kelaparan di antara bangunan megah milik orang kaya. Kita juga sering menonton keluarga busung lapar di tengah lingkungan orang kaya dan kita menyaksikan banyak golongan minoritas dirampas haknya.
Namun penderitaan rakyat kecil tak membuat pemimpin iba. Lalu kita merindukan sosok yang dirindukan rakyat. Agaknya kita bisa berpaling ke walikota terbaik dunia 2014 Risma yang ikut membagikan masker kepada warga yang terkena musibah gunung Kelud, menangis melihat perempuan PSK yang berusia 60-an di lokalisasi Dolly yang masih ‘melayani’ usia remaja atau bahkan risma ikut memikul kayu bersama stafnya yang sedang kerja bakti. Sekarang kita dapat menemukan pemimpin yang bisa empati terhadap masalah rakyatnya. Ada tapi sedikit.

Kondisi inipun berbeda dalam kehidupan keluarga Miranda bantuan lebih banyak mengalir dari donator (masyarakat sipil) dan pemerintah kita malah lempar tanggung jawab dengan alasan dana operasional relative kecil (kendari pos 1/3/2014). Itulah kiranya mengharapkan lebih banyak pada pemerintah ibarat punguk merindukan bulan. Jauh dari harapan. Kalaupun ada bantuan akan dipolitisir.
Kisah Miranda adalah puncak gunung es. Masih banyak banyak kasus serupa yang tidak tertangani dengan baik oleh pemerintah tetapi mendapat perhatian dari masyarakat sipil. Kiranya pemerintah kita mawas diri tentang perannya selama ini.
Jaman sekarang bukan lagi sistem feodal di mana pemerintah (penguasa) di junjung dan di gugu seperti dewa yang dilayani. Tapi pemerintah yang turun melayani dan merasakan pahit getirnya kehidupan masyarakat kecil seperti kisah hidup Miranda.

Miranda adalah kondisi kita hari ini di Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun