Namun seperti yang sudah ditengarai para akademisi dan juga pemerintah, peningkatan jumlah sumber daya manusia (SDM) dalam bentuk kalangan menengah dan usia produktif haruslah dijaga dengan peningkatan kualitas kelompok tersebut. Bila tidak maka yang terjadi kita hanya akan menjadi “tamu di negeri sendiri” atau bahkan lebih parah yaitu “budak di negeri sendiri”. Sebab tanpa peningkatan kualitas maka kita sebatas menjadi kumpulan banyak orang yang dipandang hanya bisa bekerja di posisi yang rendah. Contoh nyatanya adalah penolakan belakangan ini terhadap keberadaan dan perlakuan ‘anak emas’ yang diterima pekerja asing di Indosat. Terlebih lagi 77.300 tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia mendapatkan upah serta tunjangan yang lebih baik dari kebanyakan pekerja Indonesia, belum lagi posisi strategis yang ditempati para TKA tersebut.
Pentingnya peningkatan kualitas SDM Indonesia, baik itu dari segi kesehatan, pendidikan, keahlian, dll menunjukkan perlunya kebangkitan kelas baru di Indonesia, yaitu Kelas Kreatif. Tapi bukan seperti Kelas Kreatif dalam kategori ekonomi kreatif yang telah dicanangkan pemerintah. Ekonomi kreatif sendiri dikategorikan menjadi 14 sub-sektor oleh pemerintah yaitu periklanan, arsitektur, pasar seni & barang antik, kerajinan, desain, fashion, video & film & fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan & percetakan, layanan komputer & piranti lunak, televisi & radio, dan riset & pengembangan. Namun pengkategorian tersebut sekaligus membatasi ekonomi kreatif Indonesia pada bidang teknologi dan seni budaya.
Padahal jika kita mendalami definisi Kelas Kreatif yang pertama kali dimunculkan oleh akademisi Richard Florida di Amerika Serikat, maka kita akan mendapatkan jiwa yang sebenarnya dari pengkategorian kelas tersebut. Florida mendeskripsikan Kelas Kreatif sebagai “orang yang dibayar atau mendapat penghasilan dengan menggunakan pikiran mereka untuk menghasilkan ide-ide baru, teknologi baru dan konten kreatif yang baru” (2012). Terlebih lagi menurut Florida, Kelas Kreatif turut mencakup para profesional di bidang hukum, kesehatan, jasa keuangan atau bidang-bidang yang memerlukan penyelesaian masalah secara kreatif (creative problem solving) dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki para profesional. Jadi Kelas Kreatif yang dimaksud di sini adalah mereka yang mampu menyelesaikan masalah dalam bidangnya dengan berdasar pada pengetahuan yang mereka miliki (problem solver). Bukan terbatas pada bidang teknologi dan seni budaya.
Definisi ini memperluas makna dan dampak yang bisa dihasilkan Kelas Kreatif. Tidak hanya pada roda ekonomi Indonesia tapi juga kualitas hidup orang Indonesia secara menyeluruh. Ketika dipahami sebagai penyelesai masalah (problem solver) dengan modal pengetahuan, maka Kelas Kreatif menjadi kelompok kelas yang penting bagi perkembangan Indonesia. Terlebih lagi dengan persoalan multi-dimensi yang sedang dialami negeri ini. Kelas Kreatif dapat menjadi salah satu solusi agar Indonesia menjadi “tuan rumah di negeri sendiri”.
Akan tetapi kemunculan Kelas Kreatif dengan definisi tersebut membutuhkan keberpihakan kebijakan pada tiga hal. Pertama adalah peningkatan kualitas pendidikan sebagai fondasi pengembangan pengetahuan. Interaksi pertama seseorang dengan ilmu pengetahuan akan terjadi di rumah dan institusi pendidikan formal. Maka dari itu pendidikan yang diterima seorang anak sejak dini di rumah dan selama menempuh pendidikan formal perlu mencakup pola berpikir penyelesaian masalah (problem solving). Fondasi metode berpikir yang kuat akan menjadi modal yang kuat bagi para anak bangsa untuk kelak menjadi penyelesai masalah (problem solver).
Kedua adalah perluasan kesempatan kerja atau berusaha. Sebab pengetahuan tidaklah lengkap tanpa adanya pengalaman di dunia nyata. Kemampuuan kognitif seseorang membutuhkan pengetahuan tidak hanya dari buku tapi juga hasil interaksi dengan orang lain di kalangan profesional serta kebiasaan menyelesaikan masalah sehari-hari di bidangnya. Ada pepatah mengatakan “pengalaman adalah guru terbaik” dan untuk memunculkan Kelas Kreatif di Indonesia, kesempatan untuk memperoleh pengalaman ini perlu diperbanyak. Ini berarti perlu dipastikan bahwa investasi yang ada di Indonesia menjadi padat karya. Sekaligus memberikan insentif guna memicu pertumbuhan para wirausahawan anak bangsa.
Ketiga adalah penguatan kebijakan untuk mengutamakan profesional anak bangsa dibanding profesional asing dalam posisi yang strategis secara struktural maupun fungsional. Memang sudah ada Permenakertrans No. 40/2012 yang mengatur 19 posisi yang tidak dapat diisi pekerja asing. Tapi perlu pengaturan yang memperkuat berdasar jenis keahlian yang memang harus mengutamakan profesional lokal. Sebab kadang walaupun jabatan strategis struktural tidak dipegang oleh TKA namun jabatan strategis fungsional tetap menggunakan jasa pekerja asing. Artinya secara de yure memang anak bangsa yang ditempatkan namun secara de facto tetap TKA yang memegang kendali.
Bila Kelas Kreatif Indonesia bisa dibangkitan dengan tiga keberpihakan kebijakan tersebut maka Indonesia akan memperbesar peluangnya untuk menjadi “tuan rumah di negeri sendiri”. Bukan saja tentang peningkatan kualitas SDM kita dan pemberian peluang yang lebih baik, tapi kemampuan Kelas Kreatif untuk menyelesaikan masalah (problem solving) akan menjadi sangat berguna bagi Indonesia yang menghadapi krisis multi-dimensi di bidang bisnis, politik, budaya dan lainnya. Membangkitkan Kelas Kreatif Indonesia berarti meningkatkan daya saing kita di pentas dunia dan sekaligus memberdayakan anak bangsa untuk menyelesaikan berbagai masalah yang melilit Indonesia.