Sebagai contoh, Prabowo yang merupakan calon presiden dari Partai Gerindra, sesumbar akan membagikan Rp 1 Miliar kepada tiap-tiap desa di tanah air jika kelak dirinya terpilih menggantikan Presiden SBY. Petinggi Partai Gerindra yang lain, Fadli Zon, juga mengklaim pengesahan UU tersebut adalah buah jerih payah partainya di parlemen. Politikus Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, berujar bahwa UU Desa merupakan salah satu prestasi pemerintahan SBY yang diakomodasi dan diperjuangkan Fraksi Demokrat di DPR.
Selain contoh-contoh yang disebutkan ini, tentu masih ada suara-suara lain yang juga mengedepankan peran mereka dalam memperjuangkan UU Desa. Kita semua pastinya tahu, penggodokan dan pengesahan undang-undang tersebut tentu saja dilakukan oleh panitia khusus di DPR yang terdiri atas berbagai elemen. Setiap fraksi yang terlibat, barangkali memang mengambil peran, sehingga UU Desa bukanlah prestasi satu fraksi atau satu partai politik saja. Hanya, klaim untuk menonjolkan peran masing-masing dan melunturkan peran yang lain tak dapat dimungkiri memang kita lihat pasca-pengesahan undang-undang tersebut.
Banyak pengamat dan khalayak awam, dengan mudah dapat membaca kecenderungan ini sebagai tabiat pencitraan. Setiap aktor ingin menampilkan dirinya sebagai pihak yang berjasa. Dan sebagai pencitraan, cara menggaungkannya pun tentu memberi harapan. Ambillah contoh pernyataan Prabowo tadi, bahwa jika dirinya menjadi presiden kelak, setiap desa akan mendapat kucuran dana Rp 1 Miliar! Ini bukan jumlah yang sedikit. Dan seorang tokoh yang telah memperjuangkannya tentulah telah berjuang maksimal.
Namun jika dicermati, UU Desa memang telah mengamanahkan anggaran sebesar 101 hingga 104 triliun rupiah untuk dikucurkan kepada 81.253 desa di seluruh tanah air. Dengan demikian, presiden kita kelak adalah Prabowo atau bukan, sesuai amanah undang-undang tersebut, setiap desa tetap akan menerima dana untuk pembangunan antara 1,2 hingga 1,4 miliar rupiah.
Dengan adanya UU Desa, kita melihat angka yang tentunya fantastis untuk disalurkan ke unit-unit pemerintahan terendah tersebut. Tak heran jika di saat pengesahannya akhir tahun lalu, para kepala dan perangkat dari berbagai desa hingar-bingar dalam kesuka-riaan. Namun undang-undang ini tentu tidak sekadar dilatarbelakangi motif membagi-bagikan uang. Ada nalar yang lebih dari itu di balik pembuatan dan pengesahan UU Desa. Salah satu yang paling jelas, nampaknya adalah adanya perubahan paradigma pembangunan.
Selama ini pembangunan di tanah air lebih banyak terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pemerintahan. Sementara daerah-daerah pedesaan cenderung “tertinggal”, atau setidaknya terbangun belakangan. Dengan menganggarkan dana yang lebih layak ke tiap-tiap pemerintah desa, diharapkan pembangunan yang terjadi akan lebih tersebar merata, sehingga pemerataan kesejahteraan pun akan semakin dekat realisasinya.
Nalar yang lebih lanjut adalah, adanya perubahan dari paradigma pembangunan yang top-down menjadi bottom-up. Di masa-masa mendatang, aspirasi dalam melakukan pembangunan sudah seharusnya lebih banyak datang dari masyarakat sendiri, bukan dari pemerintah. Sebagai unit pemerintahan terendah, pemerintah desa tentu saja lebih tahu soal kehidupan riil masyarakatnya. Dengan demikian, jika sumber daya untuk menjalankan pembangunan itu dikelola langsung oleh pemerintah desa, diharapkan pembangunan yang terjadi pun akan lebih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat kita.
Nah, sekarang persoalannya, apakah setidaknya dua hal krusial juga dipikirkan oleh elite-elite kita ketika mereka mengumbar UU Desa sebagai keberhasilan? Dua hal itu menyangkut penyaluran dana, apakah sudah dipikirkan juga jalur yang “aman” dari penyelewengan dan efisien dalam memangkas birokrasi; serta menyangkut pemberdayaan masyarakat, apakah sudah dipikirkan juga upaya untuk memampukan masyarakat mengorganisasi diri mereka sebagai agen pembangunan.
Paradigma pembangunan yang lebih memahami kebutuhan masyarakat dan berasal langsung dari aspirasi masyarakat sendiri tentu lebih kita harapkan ketimbang pembangunan yang melulu mendikte. Namun demikian, ini bukan semata soal membagi-bagikan dana. Persoalan-persoalan yang lebih dari itu, kita berharap, tentunya sudah juga dipikirkan oleh tokoh-tokoh yang mengklaim UU Desa. Jika ini hanya dimaknai sebagai memberikan Rp 1 Miliar ke tiap-tiap desa, apa jadinya nanti?
- “Mengkritisi UU Desa,” http://birokrasi.kompasiana.com/2013/12/20/mengkritisi-uu-desa-620183.html
- “Kejanggalan UU Desa,” http://birokrasi.kompasiana.com/2013/12/17/kejanggalan-uu-desa-bendahara-desa-adalah-kepala-desa--620231.html
- “Buah Simalakama Undang-Undang Desa,” http://politik.kompasiana.com/2013/12/22/buah-simalakama-undang-undang-desa-620800.html
- “Euphoria UU Desa: Peluang atau Ancaman?” http://politik.kompasiana.com/2014/01/09/euphoria-undang-undang-desa-peluang-atau-ancaman-625312.html