Perkenalan dengan Desi, begitu perempuan ini biasa disapa, terbilang kebetulan. Saat itu, saya sedang mengunjungi teman yang juga Direktris Yayasan Tanpa Batas (YTB) NTT, Lily Amalo. YTB merupakan salah satu LSM yang sangat concern terhadap penanggulangan HIV/AIDS di NTT. Dalam percakapan dengan Lily Amalo barulah saya memahami tugas dan kerja YTB. Salah satunya, memberikan advokasi maupun “perlindungan” terhadap Orang Dengan HIV Aids (ODHA) yang ada dan bermukim di NTT. Salah satu bentuk perlindungan, adalah memberikan konseling dan selalu melakukan kontrol terhadap proses pengobatan. Nah, kebetulan, Desi merupakan salah satu ODHA yang sedang dalam “pengawasan” YTB.
Setelah sedikit basa-basi, akhirnya saya bisa bercakap-cakap dengan Desi. Optimismisme hidup perempuan paruh baya ini sangat luar biasa. Walaupun mengidap HIV, Desi masih menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Oyaa.... Desi memperkenalkan dirinya sebagai seorang pendeta yang melayani umat/jemaat di Kabupaten TTS. TTS merupakan salah satu kabupaten di NTT yang berjarak kurang lebih 110 KM dari Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT. Namun demikian, Desi menjelaskan, pelayanan dan aktivitas kesehariannya bukan di dalam Kota Soe, Ibu Kota Kabupaten TTS, tapi dia mengabdi di salah satu daerah yang cukup jauh dari kebisingan kota. “Saya melayani di salah satu jemaat desa yang ada di TTS tapi bukan di Kota Soe,” jelas Desi seraya menambahkan masyarakat desa yang saya layani bari bisa menikmati listrik setelah pukul Jam 17.00 Wita.
Lalu bagaimana Desi bisa mengetahui dirinya mengidap HIV? Seakan menerawang ke masa lalu, Desi mulai bercerita. Keinginannya menjadi pelayan Tuhan, sudah ada di dalam hati sejak kecil. Karena itu, ketika menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA, dirinya memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Karena keinginan menjadi pendeta, masih begitu kuat, Desi akhirnya memutuskan kuliah di salah satu sekolah Teologia yang berada di Bandung. Beruntung, kedua orang tuanya menyetujui dan mendukung niatnya tersebut. Maka berangkatlah Desi ke Bandung untuk merangkai asa dan meramu niat menjadi salah satu Hamba Tuhan.
Di Bandung, cerita Desi, dirinya mulai berkenalan dengan banyak orang. Sebagai dara muda, keinginan berhubungan dengan lawan jenis tidak bisa diabaikan. Mulailah Desi berpacaran dengan salah satu temannya, yang juga sedang mengikuti pendidikan Teologia. Mikael, sebut saja begitu,merupakan salah satu sosok laki-laki yang bisa menggugah rasa cinta dalam diri Desi. Setelah melalui perkenalan yang cukup, akhirnya kedua memutuskan untuk berpacaran. Karena keinginannya menjadi Hamba Tuhan, walaupun kuliah sambil berpacaran, tapi Desi dan Mikael mampu menyelesaikan pendidikannya dan menyandang gelar sarjana Teologia. “Kami sama-sama tamat dan menyelsaikan kuliah,” tutur Desi sembari menatap langit-langit ruangan tempat kami bercengkarama berbagi cerita seakan menerawang jauh ke belakang.
Singkat cerita, Desi dan Mikael akhirnya menikah. Ketika memasuki dunia pernikahan itulah Desi bisa memahami betapa sulit dan kadang kecamnya kehidupan ini. Awalnya keluarga kecil ini, berada dalam suasana bahagia. Namun ternyata kebiasan lama Mikael, mengkonsumsi narkotika jenis suntik, kambuh kembali. Tidak hanya itu, Mikael akhirnya digelendang aparat keamanan, karena kedapatan mengkonsumsi narkoba. Awalnya, Desi tidak mengetahui kebiasaan buruk suaminya. “Saya baru tahu, setelah dia ditangkap polisi,” cerita Desi seakan menahan air mata dan menambahkan yang lebih parah, dirinya disalalahkan pihak keluarga Mikael seakan tidak bisa mengurus dan menjaga sang suami. “Inilah yang membuat hati saya sangat sakit,” tambah Desi.
Bukan hanya itu, ketika sang suami berada dalam tahanan aparat, ternyata Desi sedang mengandung buah hatinya hasil hubungan dengan sang suami. Pedih dan derita ini seakan tak berujung. Dalam masa kehamilah itu, gundah dan gulana seakan merayap pelan dalam bathin Desi. Betapa tidak, ketika dirinya memeriksa kehamilan ke dokter ahli kandungan, ternyata ditemukan kelainan dalam pertumbuhan calon bayinya. Ironisnya, kelainan ini tidak diberitahukan secara jelas kepada dirinya. Dan dalam perjalanan, akhirnya calon bayinya meninggal. Beruntung, dirinya masih selamat dan belum dipanggil Sang Empunya Napas Kehidupan. Peristiwa itu, sangat membekas. Walau demikian Desi hanya memendamnya dalam hati. “Mungkin sudah rencanaNya,” gumam Desi dalam hati kala itu.
Karena mengalami goncangan bathin yang cukup kuat, akhirnya Desi memutuskan untuk berlibur ke tempat kelahirannya di Kota Soe. Bertemu dengan kedua orang tua dan sanak famili serta kerabatnya. Ketika keinginan ini diutarakan kepada mertuanya, kedua orang tua Mikael tidak menyetujuinya. Alasannya, Mikael masih mendekam dalam tahanan aparat. Sebagai wujud ketaatan kepada mertua, Desi mengurung niatnya, kembali ke rumah orang tuanya. Hari berganti minggu. Dan bulan demi bulan berlalu tanpa sang suami. Terkadang Desi mengunjungi Sang Suami di tahanan. Hubungannya masih seperti yang dulu. Namun terasa hambar dan tak berisi. Suatu waktu, sang suami akhirnya bebas dan lepas. Berkumpul dengan sang suami dan keluarga suaminya, merupakan hal yang paling membahagiakan. Dan dalam kebersamaan tersebut, akhirnya Desi kembali hamil. Mengandung calon anak kedua. Gembira dan bahagia menghiasi hari-hari rumah tangga yang bergayut prahara ini.
Nyaris sama dengan peristiwa kehamilan pertama. Calon anak dalam kandungan Desi akhirnya meninggal dunia. Sedih itupun kembali datang. Pedih itu terus terukir dalam rasa dan rasio Desi. “Tuhan, mengapa derita ini harus saya alami. Apa yang salah dengan driku,” tanya Desi dalam hati dan pikiran saat itu. Walau kesedihan dan kepedihan itu seakan tidak beranjak, Desi masih tetap optimis dalam hidup ini. Namun dirinya semakin terpuruk, ketika suatu waktu, tanpa sepengetahuan suami dan keluarga sang suami. Desi memberanikan diri memeriksakan darahnya di salah satu klinik di Kota Bandung. Apa lacur yang terjadi, hasil pemeriksaan itu bagaikan bom bunuh diri yang meluluh lantakan obsesi masa depannya. “Saya divonis mengidap HIV,” tandas Desi seraya menambahkan, padahal secara pribadi dirinya mengaku bukan penganut faham seks bebas. Hanyalah sang Suami yang selama ini berhubungan intim dengan dirinya.
Tanpa berkompromi dengan sang suami maupun keluarga suaminya, Desi memutuskan kembali ke rumah orang tuanya. Membawa aib tidaklah mengapa. Yang penting, bisa berkumpul bersama orang tua dan keluarga serta sanak family. Maka kembalilah Desi ke Kota Soe dengan membawa sejuta kenangan pahit dan derita yang tak berujung. Beruntung, ketika di Kupang, Desi mengenal YTB dan akhirnya mendapat konseling. “Dengan konseling yang didapat, akhirnya saya menjadi kuat. HIV bukan akhir dari segalanya, walau saya tahu saya tertular HIV dari suami ,” ujar Desi yang diamini Lily Amalo. Berbekal informasi dari YTB akhirnya Desi memahami bahwa HIV bisa diatasi. Bahkan HIV tidak menggangu aktivitas sosialnya. Dengan semangat dan ketekunan serta keyakinan yang kokoh kuat atas penyelenggaraan Ilahi, Desi terus berkiprah. Melayani Tuhan melalui karya-karya kemanusiaan merupakan hal yang saat ini terus dilakukan Desi. Walau demikian, Desi tidak lupa untuk setia mengontrol dirinya dan meminum obat yang diperuntukan bagi pengidap HIV. Semoga Desi terus semangat dan selalu berkiprah bagi kemanusiaan manusia yang manusiawi.