Memang ada kekeliruan soal anggaran tersebut. Terdapat duplikasi anggaran yang diajukan oleh dua instansi berbeda. Namun mari kita asumsikan tidak ada masalah di sana. Kita sepakat honor penulis pidato Anies adalah sebesar Rp 8,2 juta per bulan. Angka ini naik dari sebelumnya yang hanya Rp 5 juta per bulan. Terus, masih merasa Rp 8,2 juta adalah angka yang bombastis untuk ukuran seorang penulis pidato?
Saya rasa berlebihan. Coba bandingkan dengan UMP DKI yang dipatok di angka Rp 4,2 juta per bulan. Itu berarti, honor penulis pidato Anies hanya dua kali lipat dari UMP. Padahal, pekerjaan menulis pidato bukanlah urusan gampang, yang bisa dikerjakan sambil lalu. Penulis pidato adalah mereka yang memiliki kompetensi unggul dalam dunia tulis-menulis.
Kendati bukan seorang penulis pidato, saya bisa memahami bagaimana rasanya menulis sebuah teks pidato. Pasti tidak mudah. Dibutuhkan referensi yang kuat dari berbagai macam sumber. Pidato, walau hanya urutan kata-kata, merupakan etalase yang pertama sekali dilihat publik. Kerumitan saat menyusun sebuah pidato pasti tidak mudah. Terutama soal bagaimana mencocokkan narasi yang tepat dengan pengguna pidato itu sendiri.
Misalnya saja, Gubernur Anies mungkin tak senang menggunakan kata 'reklamasi', maka penulis pidato wajib mencarikan padanan kata yang serupa makna. Contoh seperti ini bisa kita lihat dalam kesaksian Yusril Ihza Mahendra, mantan penulis pidato Presiden Soeharto. Saat berpidato dalam pengunduran dirinya sebagai Presiden, Soeharto memilih kata 'berhenti' ketimbang 'mengundurkan diri'.
Belum lagi soal frekuensi penulisan pidato. Sebagai Gubernur, Anies memiliki agenda yang padat sepanjang hari. Menghadiri banyak acara yang kerap mendapuknya sebagai pembicara. Artinya, penulis pidato Anies juga bekerja setiap hari. Menyiapkan naskah pidato, dari acara yang sifatnya santai, setengah serius, hingga sangat serius. Perlu dicatat pula, pidato tersebut wajib disiapkan dalam tempo yang relatif singkat. Bukan berhari-hari atau berminggu-minggu.
Memang tidak semua acara dihadiri Anies. Tetapi seperti banyak kita lihat, bila Gubernur berhalangan hadir, biasanya akan mengutus perwakilan seperti Asisten, Kepala Dinas, atau pejabat lainnya. Namun bukan berarti penulis pidato akhirnya boleh 'leyeh-leyeh' di kursi sofa empuknya. Sebab pidato yang seharusnya dibacakan Anies, tetap dibacakan oleh utusannya.
Sekarang mari lihat jumlah personilnya. Hanya 4 orang, dari sebelumnya 2 orang. Jumlah ini saya rasa masih terbilang sedikit untuk ukuran Gubernur DKI Jakarta. Isu yang perlu diketahui dan dicermati penulis pidato di Jakarta tentu saja sangat beragam dan kompleks. Sehingga sangat wajar bila merekrut penulis pidato dengan jumlah sebanyak itu. Malah, menurut saya, jumlah itu masih sangat ideal dengan kebutuhan seorang Gubernur.
Terakhir, marilah kita menghargai profesi penulis pidato. Seperti saya katakan, menulis pidato itu bukanlah pekerjaan mudah walau tugasnya hanya duduk di depan laptop dan menuliskan kalimat demi kalimat. Profesi tersebut membutuhkan ketekunan, kecermatan, dan kehati-hatian ekstra. Mereka memang tidak pernah terlihat karena hanya berperan di balik layar. Mereka bukan influencer yang bertugas cuit-cuit di media sosial, yang celakanya, malah mendapat honor satu miliar rupiah per tahun.
Soal anggaran pidato, saya bela Anies. Anggaran Aibon Cs? Ayo bombardir ramai-ramai.