Dominasi turis Malaysia sejauh ini menandakan bahwa Danau Toba memang sudah ramah terhadap wisatawan non-Kristen. Pemprov sendiri juga mengakui sudah ada fasilitas untuk wisatawan Muslim di Danau Toba. Namun fasilitas itu dinilai masih kurang jika mengacu pada pemerintah pusat yang menargetkan 1 juta pengunjung. Target 1 juta pengunjung inilah yang dijadikan dasar oleh Pemprov untuk menambah fasilitas tempat ibadah.
Sederhananya, Pemprov Sumut berpandangan bahwa dengan menyediakan fasilitas tempat ibadah akan otomatis menambah jumlah pengunjung. Hal inilah yang perlu diluruskan. Menurut saya, justru di situlah nilai tambah Danau Toba. Selain menawarkan keindahan alam yang indah, ada keunikan tersendiri di dalamnya. Yakni, tradisi dan kearifan lokal yang sudah berlangsung selama ribuan tahun.
Bayangkan, turis mancanegara akan disuguhi pemandangan ternak babi, masyarakat bernyanyi di 'Lapo Tuak', bicara keras-keras, menenun ulos, dan sebagainya. Di situlah keunikan Danau Toba yang tidak ada di tempat wisata lain. Turis nantinya tidak hanya takjub terhadap keindahan Danau Toba tetapi juga karena ikut menambah pengalaman ragam budaya.
Lagipula, yakinlah masyarakat Danau Toba tidak akan pernah memaksa atau bahkan sekadar menggoda wisatawan non-Kristen untuk menikmati makanan khas Tapanuli. Masyarakat Tapanuli paham aturan itu, tanpa perlu dibuat aturan khusus.
Sekarang tantangannya terletak pada sejauh mana kreativitas Pemprov Sumut dalam mengemas segala keunikan itu. Bukan dengan gagasan berkategori simpel tetapi rawan menimbulkan perpecahan bangsa. Percayalah, Danau Toba justru makin unik karena punya label tidak 'halal'. Karena unik, maka akan semakin ramai dikunjungi.
Horas...Horas...Horas...