Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Antoni Antra Pardosi, Saya Menyebutnya Seniman Tulen

9 Februari 2019   22:58 Diperbarui: 10 Februari 2019   00:02 49 2
Mumpung belum lewat, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Pers kepada seorang suhu, dedengkot, senior, pokoknya yang wahid punya.

Dialah Antoni Antra Pardosi, wartawan senior juga seniman tulen. Ia asli putera Parsoburan, kemudian pindah ke Laguboti mengikuti jejak ayahanda tercinta. Nama Antra sendiri baru muncul belakangan, setelah ia menikah dengan pacarnya sejak SMP: Rani Hutapea. Antra merupakan gabungan dari Antoni dan Rani, bukti otentik betapa cinta Antoni kepada Rani sungguh tiada duanya. Nama Antra itu sendiri bahkan terselip di ketiga nama anak laki-lakinya.

Saya berani menggaransi, belum ada wartawan berdarah Batak yang mampu menandingi kehebatannya. Dari menulis berita, artikel, desain grafis, hingga karikatur dikuasainya dengan sangat baik. Sempurna. Betul-betul sempurna. Era 90-an merupakan periode keemasan seorang Antoni. Sebagai wartawan di Koran SIB (Sinar Indonesia Baru) terbitan Medan, ia pernah memenangi Festival Kritik Sastra Tingkat Nasional.

Sementara di Koran SIB, tempatnya mengabdi bahkan sejak duduk di bangku sekolah sebagai penulis remaja, nama Antoni cukup mentereng. Spesialisasinya, sejauh yang saya serap, adalah menulis artikel bergenre humaniora. Ia bisa menggambarkan sebuah suasana dengan sangat apik. Kalau mengutip istilah yang diperkenalkan Tempo, tulisan-tulisan Antoni selalu mengandalkan "jurnalisme sastrawi". Bertutur atau bercerita hingga membuat pembacanya larut untuk terus membaca. Tak semua wartawan menguasai gaya menulis seperti itu.

Soal bercerita, Antoni adalah jagonya. Sudah tak terhitung cerpen dan cerbung yang pernah ditulis kawan satu ini. Alur cerita Antoni memang bukan seperti kebanyakan, yang ending-nya mudah ditebak. Ceritanya penuh konflik hingga membuat pembaca tak ingin cepat-cepat menuntaskannya. Antoni memang tak menuntaskan kuliahnya dari Fakultas Sastra USU, walau ia tebus dengan menggondol gelar Sarjana Hukum dari Universitas Borobudur, Jakarta, puluhan tahun kemudian.

Salah satu cerbung Antoni yang saya ingat adalah "Cinta Birong", yang terbit rutin di Majalah HORAS, sekitar 12 tahun lalu. Ia menulisnya dengan sangat santai, ditemani segelas kopi, dan rokok yang seperti gerbong kereta api yang kerap melintas di tengah malam. Tak putus-putus. Hehehe.

Naskah selesai, saatnya meracik karikatur. Antoni mengambil secarik kertas dan sebuah pensil. Dalam sekejap, sebuah karikatur yang nanti dijadikan sebagai sampul cerita langsung selesai. Kertas itu kemudian dipindai (scan) hingga masuk ke layar komputer. Selanjutnya, program photoshop (kala itu-sekarang mungkin Indesign) dibuka, memoles karikatur tadi hingga terlihat lebih cantik dan sempurna. Semasa di Koran SIB, kalau masih ada yang mengingat karikatur bertajuk "Nasib Si Suar-Sair", itu juga salah satu karya Antoni.

Kehebatan Antoni ini saya tahu persis sebab saya sendiri adalah mantan muridnya. Bermula di Majalah HORAS, waktu itu belum lulus kuliah. Saat itu, Antoni adalah Pemimpin Redaksi (Pemred) merangkap kartunis dan desainer grafis. Awal bergabung, saya hanya disuruh mengetik ulang setiap naskah berita yang dikirimkan wartawan dari daerah. Paling banyak dari Tapanuli Utara, sisanya Tobasa, Humbahas, Samosir, Siantar, Lampung, Bengkulu, hingga paling jauh Kalimantan. Naskah berita saat itu masih dikirimkan lewat pos sehingga mau tidak mau harus diketik ulang di layar komputer.

Naskah yang telah pindah ke layar komputer itu kemudian saya baca ulang. Tidak boleh ada salah ketik atau keliru tanda baca. Barulah kemudian Antoni mempraktekkan bagaimana cara menulis berita yang baik. Tetapi akan sangat gawat bila berita kiriman wartawan daerah terlalu didominasi berita seremonial seperti pelantikan pejabat atau pesta Batak yang dihadiri tokoh-tokoh. Antoni akan mengumpat, dan tak jarang langsung menelepon wartawan pengirim berita: memaki-makinya sampai puas.

Antoni paling suka dengan berita yang menyentuh langsung ke sosial-masyarakat. Pernah suatu waktu, berita kunjungan Bupati Taput ke sebuah dusun terpencil bernama Parmonangan, diangkatnya sebagai Laporan Utama. Judulnya, "Sepucuk Surat dari Parmonangan". Ceritanya, Pak Bupati menerima sepucuk surat dari warga yang daerahnya sekian lama tak disentuh pembangunan. Jadilah Pak Bupati berkunjung ke daerah itu, menembus lembah, jalanan berlumpur, hingga menginap di rumah warga.

Nah, kisah seperti itu sangat menarik perhatian Antoni. Ada "nilai" yang bisa dipetik dari berita itu, yakni tentang kepedulian seorang kepala daerah terhadap nasib warganya. Bukan berita yang di awal paragraf saja sudah menerangkan siapa saja yang hadir di acara. Misalnya, "tampak hadir dalam acara pelantikan tersebut, kepala dinas...bla..bla.". Bisa dipastikan, Antoni akan murka membaca berita seperti itu.

Usai bertugas hanya sebagai pengetik ulang kiriman berita, saya kemudian diajak untuk melakukan wawancara dengan narasumber yang berkaitan dengan Batak. Dari anggota DPR, pengusaha, pejabat, termasuk artis Batak. Berita hasil wawancara itu kemudian saya tulis dalam bentuk berita. Ia membacanya dengan sangat hati-hati, lalu mengoreksinya, hingga menjadi sebuah berita yang betul-betul berbeda kualitasnya. Lama-lama, saya semakin memahami gaya menulis Antoni, walau saya akui hingga kini belum sanggup menandinginya.

Karena ikut menyangkut artis Batak, tentu membawa kami juga kerap keluar-masuk cafe Batak yang bertebaran di Jakarta dan sekitarnya. Kalau sudah masuk cafe, jangan harap pulang dengan keadaan normal, pasti sudah "tenggen", usai menyanyikan lagu wajib "Willingly" dan "Don't Forget to Remember Me". Kafe bubar langsung menuju ke parkiran. Nyalakan motor, dan kami pun melambai-lambai di aspal Jakarta menuju Jatibening, Bekasi, pulang ke rumah.

Hari ini, kami kembali bertemu di sebuah pesta, setelah tak lagi bersama. Penampilannya tetap parlente, berkumis dan berjambang yang sudah memutih. Saya sudah siap dengan masukannya, "Kau tampil rapi kek, penampilan itu penting," pesan yang selalu diajarkannya kepada saya. Tapi entah kenapa, saya memang tidak terlalu peduli soal penampilan. Apa adanya saja. Hehehe.

Antoni kini menekuni kebiasaan lamanya: betah di depan komputer (sekarang laptop), membaca buku hingga subuh, dan sesekali masuk Lapo. Antoni adalah seniman tulen, tak peduli berapa sisa uang di kantong, asalkan berita dan ulasan khasnya tersaji dengan sempurna di hadapan pembaca.

Selamat Hari Pers, Kakanda.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun