“Sangatlah tidak afdol apabila anak-anak di Sekolah Dasar tidak kita kenalkan dengan gambar kedua gunung lengkap beserta matahari di tengah, awan, sawah yang ada di sekitarnya; dan juga membuat tulisan tentang cita-citaku.” Begitulah kata rekan saya yang memerankan sebagai principal advisor di sebuah Art Centre.
Di tahun 2012 ini, ide tersebut memang sangat naïf. namun, jika kalimat ini dikatakan oleh seorang principal advisor yang berhasil menyabet gelar M.A. dari Amerika, tentu saja membuat kita bernostalgia. (*harap dimaklumi, sampai saat ini masyarakat di Indonesia masih mempercayai obrolan/statement yang keluar dari orang dengan latar belakang Budayawan, Professor, Kiai, Pendeta, Pastur atau yang sejenis, daripada bergabung dalam obrolan di angkringan yang kadang memiliki bobot tapi kita sendiri tak tau apa profesi dan asal-usul mereka).
Kembali ke nostalgia. Pengertian nostalgia yang saya maksudkan di sini adalah tentang kehebatan para guru di era 80-an atau sebelumnya yang telah membebaskan kita untuk berkreasi, meyakini tentang kekuatan gravitasi pikiran, dan mengajarkan esensi bahwa mimpi itu gratis, jauh sebelum Andrea Hirata mengarang Novel “Laskar Pelangi” dan buku the Secret difilmkan. Sebagai anak-anak yang lahir diera 80-an, meninggalkan permainan di jalan seperti gobak sodor,petak umpetdan menikmati video game untuk pertama kalinya(Nitendo dan Sega) adalah hal yang sangat menyenangkan. Begitu pula ketika mereka kembali ke bangku pendidikan. Pelajaran Bahasa Indonesia yang membebaskan siswa untuk mendeskripsikan cita-citaku sebanyak 1 atau 2 halaman, selalu menempatkan profesi Presiden sebagai pilihan utama. sedangkan profesi sebagai pilot dan dokter hanya berlomba untuk menempati urutan kedua atau ketiga.
Entah bagaimana cara mereka untuk merealisasi mimpi. namun anak-anak yang menuliskan angan-angan sebagai presiden ini selalu berkata: “gantungkanlah cita-citamu setinggi langit”. Sebagai anak-anak, jawaban itu sangat logis dan bisa diterima. Mengingat mereka adalah warga Negara Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban untuk mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Namun entah kenapa, belakangan ini seluruh warga Indonesia seperti melupakan arti mimpi yang gratis, melupakan tentang kekuatan gravitasi pikiran.
Issue pencalonan diri Rhoma Irama sebagai presiden, memang telah menuai banyak kritikan yang secara langsung berhasil mempopulerkan dirinya. Dan kendaraan tersebut bisa digunakan sebagai elektabilitasnya. Kiprah Rhoma Irama dalam dunia politik pada dasarnya sudah dijalani sejak tahun 70-an, yakni saat penguasa melarang group mereka untuk konser. dari pengalamannya itu, dia pun mengakui bahwa karir politiknya bak kutu loncat. Berpindah dari partai satu ke partai lain. Bahkan yang lebih tak disangka lagi, dia pernah dianugerahi gelar Professor Honoris Causa dari Universitas di Amerika.
Semenjak gelar itu lekat pada dirinya, banyak sekali Mahasiswa/i Asing yang sedang mengambil kuliah sisipan di Jogja berkeinginan untuk menulis Biografi Rhoma dari perspektif sosial-politik-agama-filsafat. Andai ungkapan: "WooooW sambil salto" udah beredar, saya yang mendengarnya pasti akan tertawa di atas pohon. Bagaimana tidak. Mahasiswa/i asing tersebut ternyata lebih memilih Rhoma Irama dibanding meneliti merk rokok Mozzart atau Warung Kopi kesukaan Beethoven. Ya... itulah tikungan iblis Rhoma Irama.
Tetapi maaf. :-(Sebenarnya sampai hari ini pun saya tidak mengenal Rhoma Irama, baik secara musikalitasnya maupun karya yang lain. Selain itu, faktor sang Calon Presiden RI yang tidak pernah menyuguhkan penyanyi dangdut dari Departemen Goyang Pinggul juga menjadi alasan saya untuk menutup telinga bila dia berkicau lewat TV/Radio.
Sejak pernyataan Rhoma Irama untuk mencalonkan diri sebagai Presiden RI, seluruh tayangan TV selalu mengontrak kacamata hitamnya. Statment BH, panggilan akrab Bang Haji Rhoma Irama yang menuai kritikan, bahkan ejekan yang beredar lewat BlackBerry Messeger, blog,danmedia lainnya telah menyilaukan seluruh warga Indonesia dan melupakan kalimat: “di atas langit masih ada langit”. Kecerdasan Najwa dan kritisnya media ternyata telah tersihir oleh ke_naïf_an sebuah mimpi. Rhoma Irama yang mengingatkan kita sebagai warga Indonesia dengan kesamaan hak untuk menjadi Presiden RI, sebenarnya adalah sikap seorang Iblis untuk mempersatukan bangsa. Tidak bisa dipungkiri, salah satu maksud dari Sang Pencipta meletakkan iblis di tengah-tengah kita adalah untuk menggoda kita menuju surga. Tempat indah yang kita impikan bersama. Iblis ini sama seperti pribadi Rhoma Irama; dan bilamana saya boleh bermimpi, keindahan surga-dunia bisa diidentikkan dengan keadaan Indonesia pasca PilPres mendatang. Dengan catatan kita teliti untuk memilih Presiden RI.
Sepertinya, dalam hal pencalonan ini Rhoma Irama paham benar tentang dialektika sosial politik. Dia sengaja menempatkan dirinya sebagai Iblis dan musuh bersama rakyat dengan harapan nasionalisme Pancasila bisa terwujud. Pernyataan yang dia buat dengan mempermasalahkan ras keturunan, menyinggung soal agama; memang sengaja dilakukannya untuk melukai kita. Demi keutuhan masyarakat Indonesia. Jikalau saja kekonyolan untuk menjadi presiden & issue SARA tidak diutarakan oleh Rhoma Irama, saya yakin perbedaan ras, suku, agama, dan golongan di Indonesia akan semakin luntur; bahkan menghilang bak tradisi dongeng sebelum tidur. Tetapi dengan munculnya iblis ini, Indonesia yang terdiri dari golongan Muslim, Tionghoa, Pribumi, non Muslim, dll semakin bersatu. Melaksanakan prinsip Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika nya.
Tentu saja sebagai manusia yang tak luput dari rasa salah+khilaf, kita harus berterima kasih atas tikungan Iblis dari pejabat eselon Dangdhut, yang kemungkinan akan membentuk Departemen Goyang Pinggul NKRI (*Negara Kesatuan Rhoma Irama) ini.
sumber foto: http://beritakawanua.com/berita/hiburan/bandingkan-dangdut-koplo-dengan-lady-gaga.html
*******