Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Mereka yang Kau Sebut Hantu

3 September 2019   11:35 Diperbarui: 3 September 2019   11:38 155 2
Namaku Anton, umurku 19 tahun. Dan aku punya seorang teman yang mengaku kalau dirinya itu indigo. Terlepas dari itu, aku adalah tipekal orang yang gak percaya sama yang begituan, entah  hantu ataupun hal mistis lainnya.

Namanya Reina,Reina Anggraeni lebih tepatnya. Teman sekelasku semasa SMA. Hingga saat ini kami masih berteman,namun sudah jarang sekali bertemu dikarenakan kami sudah menjalani kehidupan masing-masing.

Rumah kami pun sangat jauh,bahkan berbeda pulau. Dia di pulau Kalimantan, sedangkan aku berada di pulau jawa.

Kami masih bersama hingga menempuh dunia perkuliahan. Dan aku, masih tidak percaya akan apa yang Reina selalu katakan padaku, jika dia bisa melihat "hantu".

Sering kali aku melihat Reina bertingkah aneh, melirik kesana kesini,bahkan sampai pernah aku melihat Reina sedang berbicara sendiri, tanpa ada seorangpun di dekatnya.

Tetapi hal itu tidak membuatku langsung percaya, sebelum aku melihatnya langsung. Dan aku hanya menganggap jika Reina itu anak yang aneh, terobsesi pada hal-hal mistis.

Liburan semester tiba, Reina mengajakku untuk ikut dengannya ke kampung halamannya di salah satu kota di Kalimantan.  Tentu saja ajakannya itu ku tolak, karena belum tentu aku di izinkan oleh orang tuaku.

Meskipun aku sangat ingin pergi kesana, karena aku penasaran pada cerita yang pernah Reina ceritakan padaku tentang suatu hal di kampungnya.

Setelah meminta izin dari Ibuku, aku diperbolehkan untuk pergi dengan syarat bisa menjaga kesehatan disana. Aku mengiyakan, mengingat umurku yang bisa dibilang sudah dewasa jika dalam hal menjaga diri.

Malam itu aku bersiap-siap, semua barang yang mungkin aku butuhkan disana sudah aku kemas dalam koper yang baru aku beli kemarin. Dari sini sampai bandara cukup memakan waktu jika menggunakan mobil.

Travel yang kami pesan terasa berjalan lebih lambat, mungkin drivernya sedang tidak ingin mengebut.

Singkat cerita, aku dan Reina telah sampai di sebuah kampung,dengan jalan setapak yang sudah sedikit rusak. Suasananya dingin, masih banyak pepohonan di pinggir jalan.

Jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya sedikit memiliki jarak.
Sembari aku melihat-lihat, Reina tampak sedang menelpon, tidak tahu siapa yang dia hubungi, mungkin orangtua ataupun temannya.
Selesai menelpon,Reina menatapku dan tersenyum sembari berkata,

"ada yang sedang melihatmu."

Mendengar hal itu aku hanya terdiam, mengerutkan dahi seolah ingin mengatakan bahwa aku tidak tahu apa maksud dari perkataannya.

"Sudahlah,lupakan. Yuk kita masuk," kata Reina.

Kemudian Reina menepi di salah satu tiang gerbang,dan terlihat mengambil sesuatu disitu. Reina menghampiriku dan meletakkan sedikit "lumut hijau" yang dia ambil dari salah sati tiang gerbang nama kampung tersebut.

"Untuk apa ini Rei?"

"Menurut kepercayaan di kampungku ini, jika kamu pergi ataupun berada disuatu tempat yang belun pernah kamu datangi, carilah lumut,dan letakkan di kepalamu. Biarkan disana sampai jatuh atau menghilang dengan sendirinya."

Ku turuti perkataan Reina, entah untuk apa, aku tidak tahu.
Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Reina, yang katanya tidak jauh dari persimpangan jalan besar.

Di tengah perjalanan menuju rumah Reina, ada satu pohon yang terasa aneh ketika kulihat. Daunnya lebat serta batang pohonnya yang begitu besar, berbeda dari pohon-pohon di sekelilingnya.

Merinding,namun aku tetap berfikir positif. Saat ketika aku melewati pohon itu seakan-akan ada yang mengintip dati balik pohon. Aku memutarkan leherku 90, dan tak ada sesuatu disitu. Ingin aku menanyakan tentang pohon itu pada Reina, tetapi aku mengurungkan niatku.

Sesampainya dirumah aku dikenal dengan orang tuanya Reina, dan  lelaki tua yang ku tebak itu adalah kakeknya Reina. Tatapan tajam mengarah padaku, dan kakek tua itu berkata,

" tadi kamu lihat apa nak di pohon sana."

Dug, otakku seakan langsung terfokuskan pada pohon yang aku lihat di tepi jalan tadi.

"Tidak ada kek," jawabku.

Kakek menghampiri dan menepuk pundakku dan setengah berbisik berkata,

"Tadi ada yang mengikutimu," kata kakek dan melongos pergi.

Selesai berkenalan dengan orang tuanya Reina, aku di ajak ke kamar depan, dulunya itu adalah kamar milik kakak Reina yang telah meninggal 3 tahun yang lalu. Sedikit berdebu namun masih bisa aku tempati untuk merebahkan tubuhku sejenak.

Karena kelelahan,tak sadar aku ketiduran dan ketika bangun kulihat hari sudah malam. Ada yang tidak beres dalam tidurku, seakan ada yang aneh dalam mimpiku tadi.

Ada seorang perempuan cantik yang melambaikan tangannya kepadaku, aku tidak mengenalnya, tetapi perasaanku mengatakan jika aku pernah bertemu di suatu tempat entah dimana. Aku duduk terdiam sejenak memikirkan dan berusaha mengingat mimpiku barusan.

Aku keluar kamar untuk pergi ke toilet. Ku temui Reina sedang duduk santai di teras dengan gitar yang sesekali di petiknya, menyanyikan sebuah lagu yang tak ku mengerti artinya.

Kulanjutkan langkahku menuju toilet.
Setelah itu aku menemui Reina di teras. Reina menoleh, menyadari kedatanganku.

"Eh, udah bangun."

"Iya nih,barusan."

Aku pun duduk di samping Reina,ikut menghabiskan malamku di teras mendengarkan lantunan lagu yang di nyanyikan Reina.

Ke esokan harinya,ada tetangga yang datang ke rumah dan mengatakan jika ada yang meninggal dini hari tadi. Dan siang ini aku di ajak Reina beserta kedua orang tuanya pergi kerumah duka untuk berbela sungkawa.

Reina menarik sedikit kain yang menutupi wajah mayat,  dan aku yang masih berdiri terkejut saat kain itu di buka. Mayat itu memiliki wajah yang sama dengan perempuan cantik yang ada di mimpiku kemarin, terbesit tanya di pikiranku, ada pertanda apa ini?.

Aku hanya bisa berdiam diri disana sampai Reina menutup kembali kain itu dan mangajakku pulang ke rumah.
Besok siang adalah hari dimana mayat itu di makamkan, setelah sanak saudara yang ditinggalkan sudah datang ke rumah duka.

Jam menunjukan pukul 1 siang, warga yang hadir hari itu turut bersama-sama pergi mengantarkan mayat ke pemakaman yang ku dengar cukup jauh masuk kedalam hutan.

Hanya sebagian warga yang ikut, karena anak-anak tidak di perbolehkan. Anak-anak sudah di ajarkan untuk masuk ke dalam rumah serta menutup pintu rapat-rapat. Dan tidak diperbolehkan untuk melihat keranda mayat jika rombongan melewati rumah mereka.

Terik matahari begitu menyengat namun tertutupi dengan hawa dingin di dalam hutan, suara dedaunan saling bergesekan, diterpa angin semilir yang berhembus dari arah belakang.

Sesampainya disana upacara pemakaman di mulai, semuanya berbaris mengelilingi liang lahat dengan keranda diletakkan di sampingnya. Upacara itu di pandu oleh seorang Pendeta, doa-doa di panjatkan dan hal lain, berharap arwah yang meninggal bisa di terima disisi Tuhan.

Proses pemakaman di laksanakan, mayat di letakkan dalam peti yang sudah di siapkan. Lubang itu ditutupi kembali dengan tanah sampai menyerupai gundukan seperti kuburan pada umumnya.

Setelah itu, warga bergantian satu persatu meninggalkan pemakaman, namun tidak dengan Reina. Reina memintaku menemaninya untuk melihat makam kakak laki-lakinya yang sudah meninggal, tepat di ujung makam kami berhenti.

Reina mengeluarkan sebatang rokok dan sebuah korek api, entah punya siapa. Dan menyulutkan api pada ujung rokok. Reina kemudian meletakkan rokok itu tepat di atas batu nisan alm. Kakaknya.

Ada yang aneh, rokok itu sedikit demi sedikit memendek, seakan sedang di hisap. Tak sampai satu menit rokok itu habis. Jika di logikakan habis karena angin, mungkin akan memakan waktu yang lebih lama. Tapi sudahlah,aku tidak ingin memikirkan yang tidak-tidak.

Sudah tradisi disana, jika ada yang meninggal pemakaman itu harus di jaga sampai 3 hari ke depan. Ketika ku tanya, hal itu bertujuan agar tidak terjadi apa-apa dengan kuburan yang baru saja di buat. Karena pernah kejadian dimana salah satu makan terbongkar tanpa menyisakan sesuatu disana, bahkan sehelai benangpun tidak ada,yang menandakan mayat juga menghilang bersama terbongkarnya makam.

Malam itu aku sedikit takut untuk ikut ronda malam di pemakaman, namun aku memberanikan diri. Reina yang sedikit tomboy adalah salah satunya perempuan pada malam itu, dengan 3 temannya yang baru ku kenal namanya yaitu Dimas, Bayu dan Gilang.

Kami berlima berjaga di sebuah gubuk lumayan besar untuk 5 orang. Gubuk itu sedikit jauh dari pemakaman, namun setiap kuburan nampak jelas dari sana.

Waktu menunjukan pukul 23.00. Aku Reina,Dimas dan gilang masih tersadar, memainkan permainan kartu ditemani secangkir kopi pahit.

"Wahh, kamu jago banget Lang mainnya," kata Reina.

"Iya!!."

Sontak semuanya terdiam, suara itu bukan suara Gilang. Terdengar jelas bahwa itu adalah suara perempuan. Reina adalah satu-satunya perempuan disitu, lantas siapakah yang menjawab perkataan Reina barusan. Gilang yang hendak menjawab itupun ikut kaget, suara siapakah itu.

Mata kami saling bertatap-tatapan seolah mempertanyakan darimana asal suara itu. Sesaat kemudian Reina tampak terkejut, matanya tertuju pada serumpun bambu yang lumayan besar. Kami ikut menoleh, mencari objek yang di lihat oleh Reina. Tidak ada sesuatu disana.

"Rei, ada apa?" tanya Dimas.

"Kalian gak lihat?"

"Apa?"

"Ituuu, ada yang mengintip dari balik bambu."

"Siapa?" tanyaku penasaran.

"Kuntilanak..mukanya hancur sebelah,matanya keluar," jelas Reina.

Kami yang mendengar hal itu terkejut, penasaran bercampur takut. Kemudian Reina mencoba membangunkan Bayu yang masih tertidur pulas, namun tidak semudah itu. Bayu tidur layaknya orang yang sedang pingsan.

"Eh apa tuh?" tanya Dimas yang juga ikut kaget ketika mendengar sesuatu mendarat tepat di atas gubuk yang kami singgahi.

Gilang mencoba keluar untuk melihat. Tubuhnya terlihat membeku sejenak saat melihat sesuatu disana. Jari telunjuknya mengarah ke atas gubuk dengan mulut terbata-bata ingin mengucapkan sesuatu.

"Apa lang?" tanyaku.

"Hann...hann..hantuu..larii!!!!" teriak Gilang dan langsung pergi meninggalkan kami.

Reina masih saja menggoyangkan badan Bayu, namun Bayu tak kunjung bangun dari tidurnya. Karena ketakutan, kami pun meninggalkan Bayu sendirian di gubuk dan berlari menyusul Gilang.

Aku sekilas melihat ke atas gubuk. Sesosok perempuan berbaju putih yang dihiasi bercak darah di sekujur tubuhnya terlihat bergelantungan tanpa menyentuh apapun.

Baru kali ini aku percaya akan perkataan Reina yang mengatakan bahwa hantu itu ada.


Aku syok, memikirkan apa yang barusan terjadi.
Reina yang berada di depan tiba-tiba berhenti. Dimas yang sedang berlari dengan kencang menabrakku dari belakang.

"Ada apa Rei?" tanyaku.

"Entah ini peraaanku saja atau bagaimana, kalau tugu itu tadi sudah kita lewati sebelumnya," kata Reina sambil menunjuk ke arah sebuah tugu yang tak jauh dari tepi jalan.

"Iya yah," sambung Dimas.

Kami terdiam sejenak, dan tiba-tiba terdengar suara cekikikan, sebuah tawa khas dari kuntilanak, suaranya melengking, meskipun terdengar jauh,namun jelas sekali di telinga.

"Aaaaaargh," teriak Reina.

Sontak semuanya melihat ke arah yang di tunjuk oleh Reina. Sesosok kuntilanak begelantungan dengan posisi terbalik layaknya seekor kelelawar. Darahnya menetes ke bawah, seketika itu pula kepalanya terlepas dan mengejar kami.

Sekuat tenaga kami berlari, Reina berusaha menyamai langkah kami,namun dia tersandung akar pohon. Dia terjatuh dengan kepalanya membentur bebatuan, kepalanya mengeluarkan darah yang banyak sekali sampai menutupi wajahnya yang cantik.

Aku berhenti untuk menolong Reina,tapi naas nyawa Reina tak terselamatkan. Reina meninggal di pangkuanku sendiri, sedih bercampur takut. Aku meninggalkan Reina begitu saja dan berlari menyusul Gilang dan Dimas.

Kaki ku terasa perih, banyak goresan luka yang kudapati saat berlari di tengah ilalang, aku berlari tanpa tahu arah sama sekali, yang ku tahu hanyalah bahwa aku sedang berada di dalam hutan yang gelap. Jalan setapak yang sangat kecil itu sudah tak terlihat lagi.

Aku tersesat, terus ku berlari sambil memanggil nama kedua teman Reina. Tidak ada satupun dari mereka yang menjawab.

Suara cekikikan terus menghantuiku. Kulihat kiri dan kanan bergantian. Hanya pepohonan besar dan sesekali ku dapati sesosok bayangan dengan mata merah menyala mengintip dari balik sana.

Ku percepat langkahku hingga aku tersandung. Yang tadinya ku kira batang pohon tenyata bukan, kulihat kebelakang sambil memegang lututku yang sakit terkena benturan tanah.

Mulutku bungkam, inginku teriak namun tak bisa. Dimas yang baru ku kenal tergeletak disana, terbaring kaku dengan leher terputus. Matanya terbuka, serta darah yang terus mengalir dari kakinya.

Aku dengan cepat berdiri dan langsung berlari. Mencari jalan keluar yang aku sendiri tak tahu kemana arah yang aku tuju.

Lelah aku berlari, suara cekikikan itu sudah tak terdengar lagi. Aku berhenti dan duduk di bawah pohon tua, dengan daun yang lebat, kulihat juga akar pohon itu besar sekali sampai menembus keluar dari dalam tanah.

Ku pejamkan mata sejenak, mengistirahatkan mata serta badanku yang lelah berlari.

Ku lihat jam tanganku menunjukan pukul 3 pagi. Aku berencana untuk melanjutkan perjalanan saat subuh tiba. Ku lirik sekeliling, berharap hantu itu tidak lagi mengejarku.

Cahaya terang terlihat dari ujung sana,aku berpikir menemukan jalan keluar. Saat hendak berdiri kakiku terasa sakit, banyak luka, bahkan aku tak sadar jika lututku berdarah.

Kutahan rasa sakit itu, jalan keluar sudah dekat. Aku berjalan setengah pincang, menyusuri semak-semak menuju cahaya yang ada di depan sana.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun