Mohon tunggu...
KOMENTAR
Worklife Pilihan

Karena Bukan Pemilik Ladang, Seringkali Gagal Deal

17 November 2024   10:26 Diperbarui: 17 November 2024   10:41 88 5
Menyelami dunia kerja kreatif tanpa pendidikan formal di bidangnya selalu penuh liku-liku. Pengalaman bertahun-tahun saya sebagai pekerja visual, meskipun penuh dengan dedikasi tetap saja tidak selalu mulus. Salah satu hambatan besar yang sering saya hadapi adalah stigma terkait latar belakang pendidikan.

Bukan sekali dua kali, saya harus menelan pil pahit karena klien batal deal hanya karena saya bukan sarjana desain. Perjalanan ini memang tidak mudah, apalagi ketika bertemu dengan calon klien yang saklek dan memegang teguh bahwa pekerjaan ini harus dikerjakan oleh lulusan yang memiliki ijazah formal.

Beberapa kali saya harus berhadapan dengan klien yang lebih mempermasalahkan gelar daripada portofolio yang saya tawarkan.

Idealnya, kompetensi dan hasil kerja seharusnya menjadi tolok ukur utama. Namun, kenyataannya, ijazah masih menjadi standar penilaian yang dominan, terutama dalam lingkungan kerja yang formal dan birokratis.

Tantangan dari Klien Saklek
Salah satu pengalaman yang paling mengecewakan terjadi ketika saya sudah hampir deal dengan sebuah perusahaan besar di daerah Jambi. Perusahaan yang bergerak di bidang fashion dan terlihat sudah sangat tertarik dengan konsep yang saya tawarkan.

Semua akomodasi saya selama di Jambi seratus persen ditanggung oleh perusahaan tersebut, mulai dari tiket pesawat, penginapan, hingga konsumsi. Saya merasa sangat optimis dengan pertemuan ini.

Presentasi proposal penawaran saya berjalan lancar. Tim kreatif maupun jajaran direksi perusahaan tampak antusias dengan gagasan yang saya bawakan. Betapa saya sudah membayangkan kerja sama yang akan terjalin nanti.

Namun, seketika optimisme saya runtuh seiring masuknya sang direktur ke dalam ruang meeting kami dan mempertanyakan pendidikan formal saya. "Kalau boleh tahu, mas Dika lulusan mana, ya?" tanyanya dengan kening sedikit mengerut, yang menandakan keraguan.

Saya pun menjelaskan latar belakang saya, bahwa saya belajar secara mandiri alias otodidak dan memiliki pengalaman bertahun-tahun di bidang desain visual. Saya juga menunjukkan portofolio proyek-proyek sebelumnya yang bisa dibilang cukup sukses.

Tetapi, sayangnya, itu tidak cukup. Sang direktur bersikeras bahwa mereka hanya bekerja dengan profesional yang memiliki ijazah formal di bidang desain. Saya pulang dari Jambi dengan perasaan sedikit kecewa dan tentu frustasi.

Pengalaman dengan Lembaga Pemerintahan
Suatu kali, seorang teman yang bekerja di lembaga pemerintahan menghubungi saya. Mereka membutuhkan seorang profesional untuk pekerjaan besar-membuat Company Profile untuk beberapa perusahaan luar negeri yang berencana inverstasi ke Indonesia.

Dengan penuh antusias dan semangat, saya mengirimkan profil dan portofolio saya. Saya tahu kemampuan dan hasil kerja saya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Namun, setelah melalui beberapa tahap diskusi, teman saya harus menyampaikan kabar buruk. Proyek tersebut memerlukan penyedia jasa yang memiliki ijazah formal. Bukan karena mereka meragukan kemampuan saya, tetapi karena aturan birokrasi yang harus mereka patuhi. Situasi ini memaksa saya untuk mundur dari kesempatan yang menggiurkan tersebut.

Namun, tidak semua cerita berakhir pahit. Masih dengan teman yang sama, saat itu dia sedang ada kerja sama dengan salah satu perusahaan BUMN. Lagi-lagi, mereka menghubungi saya. Namun, sekali lagi, ijazah menjadi penghalang. Kali ini, teman saya tidak kehabisan akal. Dia menyarankan ide yang sedikit gila tapi brilian: menggunakan data diri istri saya.

Istri saya seorang perawat, dan ijazahnya tentu saja bukan ijazah desain. Tapi dalam situasi ini, kreatifitas teman saya mengambil alih. Kami memasukkan data diri istri saya dan mengirimkan berkas-berkas yang diperlukan. Tak disangka, proyek tersebut berhasil deal!

Cerita-cerita ini menggambarkan betapa seringnya saya harus berhadapan dengan hambatan yang tampak sepele namun signifikan-ijazah. Tidak jarang, kreatifitas dan sedikit keberanian menjadi kunci untuk mengatasi situasi yang sulit. Dalam kasus perusahaan BUMN tersebut, tanpa ide kreatif teman saya, mungkin proyek itu akan lepas.

Setiap kali berhadapan dengan klien yang saklek atau aturan birokrasi, saya selalu mencoba mencari solusi yang kreatif. Meskipun tidak selalu berhasil, pengalaman ini cukup memberikan pelajaran berharga.

Realitas ini memang pahit, namun saya tidak melihatnya sebagai akhir dari segalanya. Saya mengambil pelajaran dari setiap pengalaman tersebut dan terus mencari segmen pasar yang lebih terbuka dan menghargai kompetensi dan hasil kerja lebih dari sekadar ijazah. Meskipun beberapa kali gagal deal, sekali lagi itu bukan situasi final.

Dari pengalaman tersebut, saya menyadari bahwa perjalanan di dunia kreatif ini penuh dengan liku-liku yang tidak terduga. Setiap proyek yang gagal membawa pelajaran baru dan setiap kesuksesan kecil memberikan dorongan untuk terus maju.

Cerita tentang menggunakan ijazah istri saya tadi mungkin terdengar konyol, selain karena bukan atas nama saya, ijazahnya sendiri bukan bidang keilmuan yang diharapkan. Tetapi itulah realitanya, seolah Skill dan kompetensi adalah bagian yang bisa dinomor sekiankan.

Tapi okelah, anggap saja dalam konteks professionalisme ijazah dan sertifikat mungkin bagian dari bentuk pertanggungjawaban intelektual. Yang mana intinya, jika dikemudian hari ada persoalan, kitalah yang diminta untuk menyelesaikan.

Namun, saya juga punya pandangan lain, apakah kemudian itu berarti orang tanpa ijazah sepenuhnya tidak memiliki tanggung jawab intelektual? Saya rasa tidak.

Kalau itu masalahnya, bagaimana menuntut Airel Noah yang jelas suaranya bagus, lagu-lagunya enak, disukai banyak orang untuk menunjukkan sertifikat pelatihan vokal? atau bagaimana dengan seorang tukang cukur rambut-apakah kita harus meminta sertifikat tata rambut darinya sebelum membiarkan dia memotong rambut kita, padahal keterampilannya sudah dibuktikan dengan banyaknya kepala yang sudah dia plekotho.

Bagi saya, kompetensi itu seperti sebuah pohon. Ijazah dan sertifikat mungkin hanya seperti label yang ditempelkan pada pohon itu untuk memberitahukan jenisnya. Namun, buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut-rasa manisnya, manfaatnya-adalah yang benar-benar membuat pohon itu bernilai.

Apakah orang akan berhenti memetik buah hanya karena tidak ada labelnya? Tentu tidak, selama buah itu berkualitas, enak dan memberikan manfaat, orang akan terus memetiknya.

Pengalaman nyata dan jam terbang seringkali memberikan perspektif dan keahlian yang tidak selalu bisa diukur oleh selembar kertas. Tapi tentu saja, di mata beberapa pihak, formalitas tetap menjadi hal utama dalam mengambil keputusan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun