Upaya-upaya beberapa pemimpin parpol (SBY, Megawati, Amien Rais) yang secara strategis menampilkan anak-anaknya ke panggung politik adalah di luar kepatutan etika politik, bertindak bak aristokrat di hadapan para kader berkeringat dan konstituen parpolnya digambarkan oleh Yudi Latif sbb: Lebih menyedihkan, para pemimpin yang memiliki otoritas untuk melakukan pendalaman dan perluasan demokrasi justru berkomitmen untuk menikam demokrasi dengan mengobarkan nepotisme, mendorong anggota keluarganya untuk merebut posisi-posisi politik strategis di luar ambang kepatutan.
Pengalaman pedih Pakistan dengan puncak pembunuhan Benazir Bhutto yang kemudian digantikan oleh suaminya yang super korup Azif Ali Zardari adalah akibat jangka panjang dari praktek nepotisme politik di Pakistan. Kemampuan intelegensi Benazir ,anak Presiden terbunuh Zulfikar Ali Bhutto, hasil didikan Oxford Inggris tertutupi oleh tingkah laku korup suaminya, ke-korup-an insan-insan parpolnya yang kemudian juga secara KKN mengambil alih kekuasaan birokrasi Pakistan, telah menjatuhkannya dari kursi kekuasaan dan melemahkan negerinya hingga diambil alih oleh militer pimpinan Jenderal Pervez Musharraf. Tewasnya Benazir karena ditembak jarak dekat dalam kerumunan ketika sedang berkampanye untuk pemenangan Pemilu 2008 lalu. Pakistan saat ini sedang tercabik menuju negara gagal karena ulah brutal dan keji Taliban dan al Qaeda.
Atau contoh kegagalan yang patut diramalkan atas Singapore karena PM Lee Hsien Loong (anak PM senior Lee Kuan Yew, Bapak Singapore) membuat Singapore jadi pusat judi terbesar di Asia. Sementara kekayaan negara dikuasai kelompok Temasek Holdings milik keluarga Lee mereka.
Entah apa yang ada di benak para insan parpol yang Ketum-nya memperagakan dan mempraktekkan nepotisme atau aristokratisme. Mau-maunya mereka terus berkeringat menghabiskan energi untuk kemudian dihadapkan pada suatu titik nantinya: antara idealisme atau menghamba kepada kehendak titah Ratu Mega atau titah Puri Cikeas. Tetapi apabila paradigma yang ada di benak mereka hanyalah kepentingan materi, kedudukan, dan keistimewaan sebagaimana diiming-imingkan kepada mereka oleh para patron, maka tidaklah perlu diherankan.
Nasib bangsa ini memang riskan karena dipertaruhkan di tangan para pemimpin yang berakhlak seperti itu. Memang penguasa atau presiden suatu negeri adalah jantung negeri itu. Maka kewajiban kita selalu membuat jantung negeri kita tetap sehat, bersih, tidak terkontaminasi. Cara satu-satunya adalah membuat lingkungan politis yang lebih berakhlak dan berlandaskan meritokrasi sebagaimana disebutkan oleh artikel Yudi Latif di atas, yaitu: prinsip atas dasar pengetahuan, pengalaman, kreativitas, dan prestasinya.
Sebagai gambaran: Suatu departemen di kementrian manapun, jajaran birokrat aparat yang berjenjang hingga daerah kabupaten, dalam melakukan kegiatan rutin departemennya, setiap lima tahun sekali, serta merta pimpinan mereka diganti oleh orang-orang parpol hasil penunjukan entah dari pusat dengan restu-restu sakti atau dari kepala daerah usungan parpol pemenang pilkada. Atau Menteri-menteri yang diangkat SBY dari parpol-parpol peserta koalisi atas dasar simbiosis mutualisma antara SBY dengan para parpol tersebut, telah menafikan jenjang karier aparat-aparat di kementriannya. Tidak sedikit program kerja selalu dimulai dari nol yang akhirnya memboroskan APBN. Belum termasuk penjegalan atau bentuk apatisme aparat, yang mendorong pada praktik KKN baru dan sulitnya membongkar penyakit-penyakit lama karena keengganan bersikap terbuka. Sering disebabkan bahwa pimpinan titipan parpol tidak mampu atau menguasai bidang kerjanya, arogan, atau mengutamakan kepentingan parpol dalam hal berusaha men-sapi perah-kan suatu departemen.
Kepentingan negara untuk memiliki Menteri yang kapabel secara profesional telah dinafikan oleh SBY demi kekuasaan yang selalu khawatir. Mempertahankan mati-matian Sri Mulyani yang setia dan berorientasi AS, memilih menteri-menteri dari parpol yang bisa menjadi jembatan agar parpol terkait menurut dan tersandera, telah menjadikan SBY menomorduakan kepentingan negara untuk beroperasi secara efektif dan efisien bagi rakyatnya sesuai permintaan UUD: Pembukaan UUD dan pasal-pasalnya.
Boikot atas Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR untuk pengesahan APBN kemarin adalah salah satu bukti, sementara dugaan dan vonis DPR tentang pelanggaran atas kebijakan bail-out Century adalah bukti besar yang lain tentang kapabilitas Sri Mulyani walaupun lobi internasional yang dimotori IMF, Bank Dunia, AS telah menganugerahi Sri Mulyani sebagai Menkeu terbaik di dunia dua kali. Apabila nanti selesai pembuktian kebobrokan Direktorat Jendral Pajak atas segala bentuk penyelewengan Perpajakan Nasional akan semakin membenamkan kredibilitas Sri Mulyani ke dasar danau pencitraan SBY dan dunia nepotismenya.
Bangkit dan majunya negeri ini sangat bergantung pada prinsip meritokrasi, agar Pemerintah bisa berperan sebagai Lokomotif gerakan bangsa ini. Sementara yang sedang mereka lakukan adalah berhenti di tengah jalan dan sibuk makan minum menghirup menyedot kekayaan negeri hingga gendut-dut dan menginginkan anak-anaknya meneruskan pesta gendut ini. Mencontohkan hedonisme:materi, kedudukan,keistimewaan pribadi dan golongan bagi negeri Pancasila. Ganti nama parpol mereka jadi Partai Demokrat Fashion, PDI-Pencitraan, Partai Anak-anakku Nasional.
Seribu persen saya yakin kalau Bung Karno tidak akan mengijinkan putri sulungnya menjadi Presiden kalau sang putri tidak bisa mengendalikan kecenderungan dan perilaku korup yang mungkin ada di keluarga (suami atau putri)nya. Kecuali kalau sang putri berkampanye tanpa foto bapaknya.
Seperti kata keponakan saya suatu hari, ketika masa Pilpres 2009 lalu ditanya apakah yang pertama kali harus dilakukan oleh Presiden SBY (atau Mega) setelah dilantik kalau kelak terpilih; Jawabnya:Â DIET !