Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Ibu Bangga?

4 Februari 2010   11:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:05 73 0
Seorang ibu berkata kepada ibu yang duduk di sampingnya, "Wah ibu tentu bangga punya anak yang berani vokal. Hebat, bu. Hebat!"

"Apa yang hebat?" sahut ibu.

"Keberanian anak ibu ..."

"Saya justru sedih," kata ibu sambil tertunduk.

"Kok sedih?"

"Saya merasa gagal mendidik anak."

"Lho, malah bukan sebaliknya?"

"Saya malu. Benar-benar malu. Saya tidak tahu, apa yang akan saya katakan kepada Tuhan, melihat kelakuan anak saya seperti itu."

"Maksud ibu?"

"Saya mengajarnya untuk bersikap santun, terutama kalau berhadapan dengan orang tua. Tapi, apa yang terjadi? Dia bersikap sangat keras, sok, arogan, mendesakkan kemauannya sendiri. Suaranya menggelegar. Kata-katanya kasar dan tidak sopan. Seingat saya, tak pernah saya mengajarnya begitu," tutur ibu lirih.

"Jadi, ibu tidak bangga?"

"Sama sekali tidak."

"Ibu tidak menegurnya?"

"Percuma. Berkali saya coba, tidak ada hasilnya. Dia seperti tuli. Dia lebih mendengar ambisinya dan mendengar pujian teman-temannya dan mereka yang memujinya sebagai orang berani. Apalagi media sering mengundangnya, memuat wawancaranya. Makin bangga dia dan saya pun makin terpinggirkan. Dia tidak lagi mendengar saya, ibunya. Semoga Tuhan mengampuni saya."

"Amin."

"Selama ini saya sudah mencoba, semampu saya. Sayang, perubahan zaman menggilas semua aturan dan tata krama yang saya ajarkan. Zaman berhasil melambungkan egonya dengan nama vokal dan menghadiahkan label berani. Padahal dia kurang ajar. Saya malu punya anak seperti dia. Semoga Tuhan mengampuni saya dan saya yakin, Tuhan Maha Tahu, pastilah Tuhan melihat semua yang telah saya lakukan dan ketidakberdayaan saya menghadapi zaman yang semakin tak jelas arahnya ini."

"Saya ikut berdoa, Bu."

Di sudut lain ada beberapa ibu yang juga meneteskan air mata.

"Kenapa Bu?" tanya ibu yang mengira ada kebanggaan di hati ibu yang disapanya tadi.

"Saya adalah ibu dari anak-anak yang menginjak-injak, merobek-robek dan membakar foto ketika berdemo."

"Anak sayalah yang mengeluarkan makian kasar."

"Anak saya mencoreng wajah di foto sehingga tampak seperti drakula."

"Anak saya merusak mobil yang lewat. Mobil yang tidak punya urusana papun, hanya kebetulan lewat saja."

"Anak saya merusak toko dan restoran."

"Jadi, ibu-ibu tidak bangga?"

"Apa yang kami banggakan?" jawab mereka serempak.

"Kami justru sedih. Bingung. Tidak tahu lagi apa yang bisa kami lakukan karena mereka sudah dewasa."

Ruang sepi. Saya terdiam. Lonceng jam besar di ruang tamu menyadarkan saya dari lamunan saya yang menyuguhkan wawancara imajiner dengan para ibu yang saya sangka bangga tapi ternyata sangat bersedih.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun